Telah sekitar satu jam Aruna menunggu Maira selesai belajar dengan seorang pengajar yang ia dengar bernama Miss Della. Kemudian dua jam berikutnya ia menemani Maira untuk mempersiapkan keperluan sang nona kecil untuk sekolah keesokan harinya. Dengan ceria, Maira menjelaskan apa saja yang ia lakukan setiap harinya di rumah. Ada rasa prihatin yang menyelinap di hati Aruna tatkala mendengar semua rutinitas Maira yang sangat berbeda dari anak seusia Maira pada umumnya. Jam di dinding menunjukkan angka dua dengan jarum panjang menuju angka delapan. Dua puluh menit lagi menuju jam tiga sore. Sore itu guru piano Maira berhalangan hadir dan Aruna berada di ruang santai untuk menemani Maira memakan camilan sehatnya. “Kak Una, nemenin Mai bobo kan?” Maira bertanya dengan mulut mengunyah snack yang dibuat khusus oleh koki kediaman di sana. Snack itu dibuat menyerupai beberapa bentuk hewan. Maira Gavaputri, adalah nama lengkap anak perempuan putri Brahmana. Perempuan kecil ini memiliki mata
Sepasang manik gelap pekat itu kemudian bersirobok dengan lingkar milik Aruna, tatkala ia menengadah. Aruna tertegun sekian detik. Rasa terkejut yang sewajarnya terjadi padanya, tengah digantikan dengan rasa asing yang terasa mengikatnya tanpa permisi. Pemilik wajah berahang siku itu begitu dekat untuk dinikmati oleh Aruna. Manik serupa kelam malam yang tengah menatapnya datar itu, seakan menyedotnya masuk untuk tenggelam pada pesona dingin nan misterius yang terpancar kuat darinya. Wajah tampan tanpa ekspresi itu begitu memikat Aruna dalam beberapa detik yang terasa berlalu demikian lambat, memenjara Aruna dengan napas yang tercekat. “Ayah!” pekikan riang Maira menarik paksa Aruna dalam kesadarannya yang sempat terhempas pada pria yang dipanggil ‘ayah’ oleh Maira. “Oh. Emm.. ma-maaf Pak,” Aruna tergagap dan langsung mundur cepat sembari melepas pegangannya pada lengan pria itu, setelah menepis getaran aneh yang mengusik di dalam rongga dadanya. Pria itu --Brahmana-- tidak mer
Hampir dua minggu Aruna bekerja dan menghabiskan waktunya di kediaman milik Brahmana. Jam kerja yang disepakati dirinya dan juga pihak Brahmana, dimulai dari pukul tujuh pagi hingga empat sore, mulai hari Senin hingga hari Sabtu. Khusus Sabtu, Aruna hanya perlu menemani Maira hingga jam dua siang. Namun dalam perjanjian juga disebutkan, Aruna wajib menyanggupi untuk bekerja dengan jam tambahan, jika Brahmana menganggap perlu. Hal itu akan terjadi jika Brahmana pulang lebih larut karena pekerjaan. Tentu saja penambahan jam kerja tersebut seiring dengan penambahan upah yang akan dibayarkan. Meskipun di awal Aruna merasa menyesali situasi dan kondisi dirinya yang mengharuskan ia keluar dari Niskala dan beralih menjadi seorang pengasuh, namun ia mendapati dirinya yang kemudian begitu asyik menghabiskan waktu dengan Maira. Anak berambut ikal dan berpipi tembam dengan bola mata bulat menggemaskan tersebut, tidak hanya seorang anak yang ceria dan pandai berceloteh. Namun Maira juga mer
“Bagaimana Maira hari ini?” Suara bariton Brahmana memecah kesunyian yang mengawang di ruang santai sore menuju petang itu. Aruna baru hendak bangkit dari duduknya untuk menengok bagian dapur, memastikan bahwa hidangan yang disiapkan koki meliputi satu lauk tambahan yang dipesan Maira siang tadi. Mereka memang mempekerjakan seorang koki khusus di kediaman besar itu yang membuat semua hidangan untuk Brahmana dan Maira. Aruna menelan ludah perlahan dan menjawab hati-hati. “Baik, Pak. Nona Maira mengikuti kegiatan hari ini dengan baik.” “Sesuai jadwal?” Brahmana bertanya tanpa mengarahkan pandangannya pada Aruna dan hanya berjalan menuju sofa panjang dan mengempaskan dirinya di sana. Netra Aruna mengikuti Brahmana sembari menenangkan jantungnya yang sempat berdentum kaget atas kedatangan Brahmana tiba-tiba di ruangan itu. Ia memang menunggu Maira selesai dengan guru piano-nya, di ruang santai yang bersebelahan dengan ruang musik tempat Maira tengah bersama gurunya, Miss Christine. A
“Apa sih, Buuu!” pekik Ferliana. “Ngapain harus aku yang nyapu dan ngepel rumah ini?!”“Ya trus apa harus Ibu? Kamu tuh masih muda, Ferli! Kamu harus gerakkan tubuh kamu biar tetap sehat!” Lisa berujar dongkol.“Ya kalo gitu, ibu dong yang kudu banyak gerak? Biar gak suka sakit-sakitan, karena ibu kan dah berumur.”“Ngomong apa kamu, Fer?!” bentak Lisa dongkol. Ia berbalik dengan mata yang mendelik ke arah putri kesayangannya itu.“Tau ah! Pokoknya aku ga mau nyapu-nyapu sama ngepel gini. Kalo kukuku rusak gimana, Bu?” Ferliana mengentak sebelah kakinya ke lantai dengan kesal. “Lagian kenapa ngga seret Aruna pulang aja sih Bu?!”“Kamu kalo ngomong tuh ga pake otak apa? Kita dah berapa kali ke kantor Aruna, tapi apa?! Orang di sana bilang Aruna sudah resign! Terus kemana Ibu harus nyari dia?!”Kedua ibu-anak itu telah berdebat sejak beberapa saat lalu.Lisa jelas merasa tidak mungkin dirinya yang harus berbenah isi rumah. Karena itu dia meminta Ferliana menggantikan tugas-tugas yang se
“Yup! It’s me,” jawab pria itu sambil melebarkan senyumnya.“Sedang apa kau di sini?”“Beli ini,” jawab pria itu lagi sembari mengangkat kedua tangannya yang memegang botol mineral.“Eh, iya maksudnya kok bisa ada di sekitar sini?” ralat Aruna sedikit memberikan cengiran kecil.“Pulang dari urusan kerjaan lalu mampir sebentar buat beli minum. Stok air di mobil habis, jadi ya.. melipir ke tempat yang kebetulan aku lewati,” ujar Ardiya menjelaskan. “Kamu mau kemana? Apa tinggal di sekitar sini?” tanyanya lagi.“Iya, saya tinggal sekitar sini.” Aruna lalu maju setelah gilirannya untuk membayar di meja kasir.Namun ketika tangannya hendak mengambil dompet dalam tas selempangnya, tangan Ardiya telah terulur ke meja dengan satu lembar uang seratus ribuan.“Gabungkan saja bayarnya, Mbak,” ujar Ardiya yang kini berdiri bersisian dengan Aruna.“Eh, ngga usah. Saya bayar sendiri saja,” tolak Aruna cepat.Tanpa memedulikan kalimat protes Aruna, Ardiya beralih pada karyawan mini market di balik m
“Maaf Shan, aku masih belum menemukan orang yang tepat untuk menemani ayahku selama aku kerja. Bersabar sebentar lagi ya?”Aruna memegang ponsel di kirinya sementara tangan kanan sibuk menenteng dua tas berukuran sedang. Ia melangkah cepat menuju ojek online yang ia pesan beberapa menit lalu.‘Oke, kalem aja say. Gue juga ini udah mau otewe kok ke tempat lu. Selama Om Erwin kagak bosen liat gue, gue yang bakal nemenin Om Erwin. Lagian gue emang lagi nganggur kan.’Jawaban Shanti dari seberang telepon membuat Aruna menghela napas lega.“Thanks banget, Shan. Gak tau deh hidup gue tanpa kamu…”‘Basi lo! Mending traktir gue di Edmund’s ntar pas lo dah gajian kalo lo ngerasa ngerepotin gue!’ sembur Shanti.“Ashiap, Boskuh! Gue traktir kamu sepuasnya makan di Edmund’s nanti. Ok Shan, gue jalan dulu ya. Gue hampir telat nih…” Aruna kemudian memutuskan sambungan teleponnya dengan Shanti setelah mengucapkan beberapa kata lagi.Ia gegas menghampiri tukang ojek online yang telah berhenti dan men
Aruna kini berada di sebuah restoran keluarga yang terlihat mewah dan elegan. Sepanjang jalan tadi ia tidak bisa menentukan di mana tempat makan yang tepat untuk mereka. Dia terlalu khawatir bahwa tempat makan yang ia pilih, tidak sesuai dengan selera Maira dan Brahmana. Sehingga kemudian Brahmana memerintahkan supirnya membawa mereka ke tempat yang tidak jauh dari sekolah Maira ini. Sebenarnya ini memang menjelang jam makan siang dan Maira pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Maira merengek pada Brahmana untuk makan bersama di luar, karena bagi anak itu, sungguh sangat jarang Brahmana bisa menghadiri satu acara di sekolah Maira. Aruna mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati seluruh ruangan terlihat terisi. “Sepertinya kita akan kesulitan mendapatkan meja, Mai,” bisik Aruna pelan. “Ngga kok. Serahkan saja pada ayah,” ujarnya lalu menarik ujung jas yang dikenakan sang ayah. “Mai pengen duduk yang pemandangannya bagus, Yah.” Aruna menarik napas dalam-dalam. Dari apa