Hari berikutnya di kediaman Brahmana. Tidak ada yang khusus terjadi pada hari itu. Aruna --seperti biasanya-- menikmati waktunya bersama Maira. Di sela jadwal kosong Maira, Aruna bersama Maira membuat origami. Mereka tengah asyik bersenda gurau, tatkala ponsel milik Maira berbunyi. “Mai, hape Mai bunyi,” kata Aruna mengingatkan Maira. Maira mendongak dan melepaskan kertas warna di tangannya lalu berjalan menuju meja kecil miliknya. “Halo Yah? Kenapa?” sapa Maira begitu ponsel itu menempel di telinganya. “Hm? Ga tau Yah.” Maira terdiam mendengarkan. “Ada. Bentar.” Maira lalu menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan Aruna. “Ayah mau bicara sama kak Una.” Dengan bingung, Aruna mengambil ponsel Maira lalu menempelkannya di telinga kanan. “Ya Pak?” ‘Saya tidak bisa menghubungi Ima. Aruna, tolong siapkan pakaian untuk saya. Saya akan suruh Fathan mengambilnya dalam tiga puluh menit ini. Paham?’ “A-apa? Pakaian apa Pak?” ‘Tanya pada Ima.’ Tut. Sambungan ponsel pun terputus. ‘Had
Benar-benar hari yang melelahkan bagi Aruna. Setelah insiden celana dalam tadi, Aruna benar-benar menahan rasa malu sepanjang sisa hari di kediaman Brahmana. Ia berniat baik, menuntaskan tugas dadakan yang diberikan padanya; menyiapkan pakaian untuk Brahmana pergi. Namun tetap saja, kedapatan tengah memegang pakaian dalam pria itu apalagi dengan pose seolah Aruna mendekap benda itu erat-erat di dadanya, siapapun yang melihatnya akan berpikir bahwa ia adalah wanita mesum. Ia lalu menghela napas dan melihat pasrah ke arah tukang ojek online yang ada di sebelahnya. “Maaf ya Mbak. Saya benar-benar minta maaf.” Pengendara ojek online itu meminta maaf berulang kali pada Aruna karena harus menurunkan Aruna di tengah jalan, dikarenakan motor yang mogok. “Ya Mas. Ngga apa-apa. Saya cari ojol lain,” ujar Aruna. Meskipun bibirnya tersenyum, namun hatinya cukup dongkol. Hari ini ia juga pulang lebih lambat dari biasanya, karena menemani Maira mengerjakan PR nya yang sempat tertunda karena
“Ngapain kamu disini?” Kening Aruna melesak dalam. Sungguh ia tak percaya dan sama sekali tidak berharap melihat kehadiran Julian di teras rumah kontrakannya. “Apa?” Julian menatap dingin Aruna. “Kamu tidak menyangka aku bisa tahu tempat barumu?” “Pergilah. Jika tidak ada hal penting, lebih baik kamu segera pergi,” ujar Aruna datar, setelah ia berhasil meredam rasa terkejut dan khawatirnya. Julian tidak segera menjawab. Ia melirik Ardiya yang berdiri di belakang Aruna. Satu cibiran segera tercetak di wajahnya. “Ternyata seperti ini kelakuanmu, ya? Kau kabur dari rumah agar perbuatan gatalmu tidak terlihat keluargamu?” “Hei hei! Kalem Bung!” sergah Ardiya hendak maju ke arah Julian, namun tangan kiri Aruna terentang menghalanginya. “Gapapa, aku bisa hadapin orang ini sendiri.” Julian mendengkus kasar. “Huh! ‘Orang ini’? Hebat sekali kamu, Aruna! Lima tahun menjadi kekasihku dan memohon cintaku, lalu sekarang menyebutku ‘orang ini’? Apa karena kau menemukan sasaran tembak baru,
“Gimana ini Fer…” Lisa mengeluh sambil beberapa kali mengacak rambutnya. “Duuh! Jangan tanya aku, Bu! Mana aku tau harus gimana!” jawab Ferliana kesal. Matanya mengintip dari balik gorden. “Apa mereka sudah pergi?” tanya Lisa tanpa menutupi kecemasan dalam nada suaranya. Ferliana mengangguk. “Iya Bu. Mereka sudah keluar pagar.” Baru saja, Lisa dan Ferliana kedatangan tamu tiga orang lelaki bertubuh besar. Mereka bertiga bukan datang untuk bertamu, melainkan untuk memperingatkan Lisa. Ya. Memperingatkan Lisa. “Kok bu Ishak tega banget ngirim orang buat nakut-nakutin kita sih Bu?” Ferliana tidak bisa tidak kesal, meski bercampur rasa takut dan khawatir. “Memang keluarga itu terkenal menyebalkan. Berani-beraninya dia mengirimkan preman-preman seperti itu ke rumah kita? Apa kata tetangga nanti? Disangka kita disatroni debt collecter gara-gara nunggak hutang!” Lisa hampir murka. “Ya emang sama kaya hutang kan Bu? Lagian salah Ibu sendiri! Kenapa pake minta uang segala ke bu Ishak y
Brahmana melirik jam tangan Richard Mille yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Beberapa meeting yang ia lakukan dua hari ini telah berakhir beberapa jam lalu. Ia kini tengah dalam perjalanan pulang kembali di mobilnya dengan Fathan di sebelah yang membacakan beberapa laporan. Namun Brahmana tengah tenggelam pada hal lain dalam pikirannya. Beberapa waktu lalu, saat ia mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan Aruna dengan kelembutan pada Maira dan bagaimana wanita muda itu memberikan pengertian pada gadis kecil kesayangannya, itu merupakan hal yang belum pernah terjadi dari para pengasuh Maira sebelumnya. Semua pengasuh Maira sebelumnya, hanya menegakkan aturan pada Maira dari sudut pandang mereka selaku orang yang dipekerjakan oleh keluarga Dananjaya. Mereka sangat memperhatikan aturan yang telah ditetapkan. Sesungguhnya itu hal yang bagus. Namun entah mengapa, hati Brahmana lebih terasa nyaman saat melihat interaksi Maira dan Aruna. Ia merasakan kelegaan saat melih
“Apakah seharian ini Mai senang bersama kak Una?”Maira mendongak mendengar pertanyaan Brahmana.“Ayah pertanyaannya kok aneh sih? Iya dong Mai senang seharian ini,” jawab Maira sambil merengut.“Apa Ayah mau pecat kak Una?” Kedua bola mata Maira membesar menatap Brahmana dengan waspada.Brahmana terkekeh menanggapi pertanyaan itu. Tangannya bergerak mengelus rambut ikal Maira. “Ngga, Sayang. Ayah bukan mau memecat kak Una.”“Beneran?”“Iya, Mai.” Brahmana menganggukkan kepala. “Kenapa Mai berpikir seperti itu?”“Soalnya tadi ayah marahin kak Una…”Brahmana menaikkan alisnya. “Ayah marahin kak Una?”“Iya. Tadi Ayah bentak kak Una.”Tidak ada jawaban dari Brahmana. Ia hanya menarik Maira duduk di pangkuannya.“Ayah hanya mengingatkan kak Una untuk tetap fokus selama bersama Mai. Ayah tidak ingin Mai kenapa-kenapa.” Brahmana mencoba menjelaskan dengan tenang pada Maira.“Kak Una selalu menjaga Mai, Ayah…” ujar Maira dengan wajah merengut. “Mai ngga akan kenapa-kenapa kalau kak Una bersa
Entah untuk ke berapa kali Julian mengembus kasar napasnya. Rahangnya mengetat saat suara Aruna menggema dalam otaknya. Percakapan dirinya dengan Aruna dalam telepon tadi pagi mengulang di dalam pikiran Julian. “Aku ingin kita bertemu.” “Untuk apa? Apa kau lupa, kita tidak ada hubungannya lagi?” Dari seberang sana, Aruna menjawab kalimat Julian yang menyatakan maksudnya. “Banyak hal yang harus kita bicarakan, Run,” kejar Julian kemudian. Aruna terdengar menanggapi dengan tawa mengejek. “Apa yang harus kita bicarakan?” Terjadi keheningan sesaat. Julian tidak segera menjawab. Ia mengeratkan pegangan pada ponselnya. “Kau sedang berhubungan dengan siapa? Siapa pria yang waktu itu bersamamu?” tanyanya. “Kau menanyakan hal semacam itu padaku? Apa urusanmu, Julian?” Julian terlihat hening lagi. Namun itu tak lama. “Aku ini akan menjadi saudara iparmu,” katanya menjawab. “Lantas?” “Kau itu akan bertunangan dengan Anton. Tidak pantas kau berkeliaran dengan sembarang pria seperti itu
Itu adalah hari berikutnya, ketika Aruna dikejutkan oleh panggilan telepon masuk dari Fathan pada jam sepuluh pagi.Fathan mengatakan akan menjemput Aruna di kediaman Brahmana karena Brahmana meminta Aruna dan Fathan memilih dan membeli beberapa keperluan rumah.“Bukannya itu tugas bu Ima, ya?” tanya Aruna ketika dirinya telah berada dalam mobil SUV mewah dengan Fathan yang mengendarai sendiri. “Saya tidak tahu, Run. Tuan Brahmana menugaskan saya ini dan meminta saya membawamu serta. Ini daftar belanjaan kita.” Fathan lalu menyodorkan iPad miliknya pada Aruna.Sesaat ia membaca dan hanya mengangguk paham.“Ini memang diperlukan Maira untuk acara pentas bakat minggu depan. Barang-barang ini juga memang sepertinya habis.” Mata Aruna terhenti pada satu kelompok tulisan.“Tapi ini apa?” Aruna lalu menunjuk sederet tulisan itu pada Fathan.Fathan melirik sekian detik. “Oh, itu. Itu bonus untukmu, kata Tuan.”“Bonus?”“Yup. Kamu boleh pilih sesuai seleramu untuk itu.”“Dibelikan?”“Iya. Di