Brahmana melirik jam tangan Richard Mille yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Beberapa meeting yang ia lakukan dua hari ini telah berakhir beberapa jam lalu. Ia kini tengah dalam perjalanan pulang kembali di mobilnya dengan Fathan di sebelah yang membacakan beberapa laporan. Namun Brahmana tengah tenggelam pada hal lain dalam pikirannya. Beberapa waktu lalu, saat ia mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan Aruna dengan kelembutan pada Maira dan bagaimana wanita muda itu memberikan pengertian pada gadis kecil kesayangannya, itu merupakan hal yang belum pernah terjadi dari para pengasuh Maira sebelumnya. Semua pengasuh Maira sebelumnya, hanya menegakkan aturan pada Maira dari sudut pandang mereka selaku orang yang dipekerjakan oleh keluarga Dananjaya. Mereka sangat memperhatikan aturan yang telah ditetapkan. Sesungguhnya itu hal yang bagus. Namun entah mengapa, hati Brahmana lebih terasa nyaman saat melihat interaksi Maira dan Aruna. Ia merasakan kelegaan saat melih
“Apakah seharian ini Mai senang bersama kak Una?”Maira mendongak mendengar pertanyaan Brahmana.“Ayah pertanyaannya kok aneh sih? Iya dong Mai senang seharian ini,” jawab Maira sambil merengut.“Apa Ayah mau pecat kak Una?” Kedua bola mata Maira membesar menatap Brahmana dengan waspada.Brahmana terkekeh menanggapi pertanyaan itu. Tangannya bergerak mengelus rambut ikal Maira. “Ngga, Sayang. Ayah bukan mau memecat kak Una.”“Beneran?”“Iya, Mai.” Brahmana menganggukkan kepala. “Kenapa Mai berpikir seperti itu?”“Soalnya tadi ayah marahin kak Una…”Brahmana menaikkan alisnya. “Ayah marahin kak Una?”“Iya. Tadi Ayah bentak kak Una.”Tidak ada jawaban dari Brahmana. Ia hanya menarik Maira duduk di pangkuannya.“Ayah hanya mengingatkan kak Una untuk tetap fokus selama bersama Mai. Ayah tidak ingin Mai kenapa-kenapa.” Brahmana mencoba menjelaskan dengan tenang pada Maira.“Kak Una selalu menjaga Mai, Ayah…” ujar Maira dengan wajah merengut. “Mai ngga akan kenapa-kenapa kalau kak Una bersa
Entah untuk ke berapa kali Julian mengembus kasar napasnya. Rahangnya mengetat saat suara Aruna menggema dalam otaknya. Percakapan dirinya dengan Aruna dalam telepon tadi pagi mengulang di dalam pikiran Julian. “Aku ingin kita bertemu.” “Untuk apa? Apa kau lupa, kita tidak ada hubungannya lagi?” Dari seberang sana, Aruna menjawab kalimat Julian yang menyatakan maksudnya. “Banyak hal yang harus kita bicarakan, Run,” kejar Julian kemudian. Aruna terdengar menanggapi dengan tawa mengejek. “Apa yang harus kita bicarakan?” Terjadi keheningan sesaat. Julian tidak segera menjawab. Ia mengeratkan pegangan pada ponselnya. “Kau sedang berhubungan dengan siapa? Siapa pria yang waktu itu bersamamu?” tanyanya. “Kau menanyakan hal semacam itu padaku? Apa urusanmu, Julian?” Julian terlihat hening lagi. Namun itu tak lama. “Aku ini akan menjadi saudara iparmu,” katanya menjawab. “Lantas?” “Kau itu akan bertunangan dengan Anton. Tidak pantas kau berkeliaran dengan sembarang pria seperti itu
Itu adalah hari berikutnya, ketika Aruna dikejutkan oleh panggilan telepon masuk dari Fathan pada jam sepuluh pagi.Fathan mengatakan akan menjemput Aruna di kediaman Brahmana karena Brahmana meminta Aruna dan Fathan memilih dan membeli beberapa keperluan rumah.“Bukannya itu tugas bu Ima, ya?” tanya Aruna ketika dirinya telah berada dalam mobil SUV mewah dengan Fathan yang mengendarai sendiri. “Saya tidak tahu, Run. Tuan Brahmana menugaskan saya ini dan meminta saya membawamu serta. Ini daftar belanjaan kita.” Fathan lalu menyodorkan iPad miliknya pada Aruna.Sesaat ia membaca dan hanya mengangguk paham.“Ini memang diperlukan Maira untuk acara pentas bakat minggu depan. Barang-barang ini juga memang sepertinya habis.” Mata Aruna terhenti pada satu kelompok tulisan.“Tapi ini apa?” Aruna lalu menunjuk sederet tulisan itu pada Fathan.Fathan melirik sekian detik. “Oh, itu. Itu bonus untukmu, kata Tuan.”“Bonus?”“Yup. Kamu boleh pilih sesuai seleramu untuk itu.”“Dibelikan?”“Iya. Di
“Siapa yang mengizinkanmu ke sini?” Brahmana, berkata dengan suaranya yang dalam dan datar. Terasa nada dingin pada kalimat yang diucapkan tanpa ekspresi itu. Aruna tergagap. “Ma-maaf Pak. Saya mau menutup pintu.” Gegas Aruna menarik handel pintu dan menutupnya tergesa. Dengan cepat ia pun memutar tubuh lalu melebarkan langkah menuju pintu keluar. Sebelum mencapai pintu keluar, ia sempat terhenti dan berbalik untuk membungkuk sedikit dan meminta maaf lagi. “Maaf Pak.” Namun Brahmana hanya berdiri mematung di tempatnya. Tidak tampak tertarik untuk menanggapi dan membiarkan Aruna keluar dari ruangan itu. Kepalanya menoleh ke arah pintu di samping rak buku dan menatapnya sekian saat. Perlahan ia menuju pintu tersebut dan melangkah masuk setelah membukanya. Langkah Brahmana terhenti di depan lukisan besar yang tadi sempat menarik perhatian Aruna. Dengan kepala terangkat dan pandangan yang terlihat begitu intens menatap sosok dalam lukisan itu, Brahmana bergumam lirih. “Maira baik
“Pak, jangan berdiri saja. Ayo duduk,” tegur Aruna sambil melebarkan senyum. Ia lalu melangkah mendekat lalu tangannya menarik kursi untuk Brahmana dan meletakkan sendok serta garpu di sisi piring yang telah terisi spaghetti buatannya. “Ayah, ayo duduk.” Maira ikut mengingatkan Brahmana yang memang sedari masuk ke ruang makan, hanya menatap meja berikut piring-piring yang telah terisi makanan buatan Aruna. “Kak Una, baunya enak.” Kali ini Maira menatap Aruna yang tengah mengambil piring bagian milik Maira di meja pantri. “Ayo ayah!” serunya lagi ke sisi kanannya, di mana Brahmana mulai beranjak menuju tempat duduk. Brahmana menjatuhkan bobotnya ke kursi yang telah di tarik Aruna tadi dengan pandangan menurun ke arah piring. Matanya kini menangkap spaghetti yang melingkar ke atas dengan topping ayam dan jamur cincang dan daun peterseli yang disematkan di ujungnya. Sementara tomat ceri disusun begitu cantik di satu sudut dan terlihat pasta tomat yang di tuangkan secara cukup artis
Aruna tengah menatap langit-langit di salah satu ruangan di area servis. Pekerjaannya untuk hari ini hampir usai. Aruna duduk di sebuah bangku kayu dengan tiga paper bag berada di atas meja di belakangnya. Paper bag itu berisi barang-barang Aruna yang tadi ia beli atas perintah Brahmana melalui Fathan. Ia tengah menunggu mesin cuci mengeringkan kemeja miliknya yang tadi ia bersihkan karena sedikit terkena noda pasta tomat. Saat ini ia hanya mengenakan jaket dengan ritsleting yang ditarik ke atas untuk menutupi hingga ke leher, dengan pikiran yang tengah kembali berputar. Beberapa hal memang masih terasa mengganggu pikirannya. Ia ingin sekali mengabaikan semua itu, tapi tidak bisa. Ia harus segera mencari jalan keluar apabila ibu tiri serta Ferliana datang dan merongrong dirinya. Juga jika mereka membawa Anton atau keluarga Ishak untuk memaksanya melakukan pertunangan itu. “Kalau pindah kontrakan, jelas sulit. Uang gaji yang aku pakai di awal untuk membayar sewa kontrakan aja, b
“Ayolah, Run… Lu kagak bisa ingkar janji lu sendiri. Lu kan udah janji ama gue bakal datang ke reunian kita..” keluh Shanti di satu sore sebelum ia pamit pulang pada Aruna. Aruna memonyongkan bibirnya. “Jangan lupa ya, Besti. Gue waktu itu setuju gegara kamu nagih utang ke gue. Nah… berhubung perbaikan motor itu udah gue lunasin, gue kagak ada hubungan lagi dengan urusan reunian.” “Astaga Run! Lu perhitungan banget sama temen!” “Dih! Kamu yang perhitungan duluan ama gue. Pake ancem-ancem segala,” ketus Aruna. “Tega ah lu. Kagak kangen apa, sama Jasmine ama Najla?” Shanti mendekatkan tubuhnya pada Aruna lalu bertingkah seperti kucing merajuk. “Ayolah, Besti…” “Ih jauh-jauh! Gue geli!” usir Aruna sambil bergidik. “Yakin lu geli? Sangsi gue. Bukannya lu lagi merindukan kehangatan cowok, ya? Pasti demen deh di geli-geliin kek gini. Ye kan??” Shanti menaik-turunkan alisnya lalu menggelitiki pinggang Aruna. “Eh dasar mulut cabe gondol! Sembarangan aja ngomong! Sono jauh jauh!” Shanti
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m