Aruna tengah menatap langit-langit di salah satu ruangan di area servis. Pekerjaannya untuk hari ini hampir usai. Aruna duduk di sebuah bangku kayu dengan tiga paper bag berada di atas meja di belakangnya. Paper bag itu berisi barang-barang Aruna yang tadi ia beli atas perintah Brahmana melalui Fathan. Ia tengah menunggu mesin cuci mengeringkan kemeja miliknya yang tadi ia bersihkan karena sedikit terkena noda pasta tomat. Saat ini ia hanya mengenakan jaket dengan ritsleting yang ditarik ke atas untuk menutupi hingga ke leher, dengan pikiran yang tengah kembali berputar. Beberapa hal memang masih terasa mengganggu pikirannya. Ia ingin sekali mengabaikan semua itu, tapi tidak bisa. Ia harus segera mencari jalan keluar apabila ibu tiri serta Ferliana datang dan merongrong dirinya. Juga jika mereka membawa Anton atau keluarga Ishak untuk memaksanya melakukan pertunangan itu. “Kalau pindah kontrakan, jelas sulit. Uang gaji yang aku pakai di awal untuk membayar sewa kontrakan aja, b
“Ayolah, Run… Lu kagak bisa ingkar janji lu sendiri. Lu kan udah janji ama gue bakal datang ke reunian kita..” keluh Shanti di satu sore sebelum ia pamit pulang pada Aruna. Aruna memonyongkan bibirnya. “Jangan lupa ya, Besti. Gue waktu itu setuju gegara kamu nagih utang ke gue. Nah… berhubung perbaikan motor itu udah gue lunasin, gue kagak ada hubungan lagi dengan urusan reunian.” “Astaga Run! Lu perhitungan banget sama temen!” “Dih! Kamu yang perhitungan duluan ama gue. Pake ancem-ancem segala,” ketus Aruna. “Tega ah lu. Kagak kangen apa, sama Jasmine ama Najla?” Shanti mendekatkan tubuhnya pada Aruna lalu bertingkah seperti kucing merajuk. “Ayolah, Besti…” “Ih jauh-jauh! Gue geli!” usir Aruna sambil bergidik. “Yakin lu geli? Sangsi gue. Bukannya lu lagi merindukan kehangatan cowok, ya? Pasti demen deh di geli-geliin kek gini. Ye kan??” Shanti menaik-turunkan alisnya lalu menggelitiki pinggang Aruna. “Eh dasar mulut cabe gondol! Sembarangan aja ngomong! Sono jauh jauh!” Shanti
Pagi ini tentu saja adalah pagi yang sangat menyenangkan bagi Aruna. Ia terbangun penuh dengan senyuman dan bergegas berbenah rumah lalu menunggu perawat yang menurut Fathan akan datang pagi itu. Perawat itu memang datang dan Aruna langsung mendapat kesan yang baik, ketika telah berbicara sebentar dengan perawat tersebut. Perawat pria itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan sangat terlihat cakap dan begitu paham akan tugas-tugasnya. Aruna bisa meninggalkan rumah dengan perasaan luar biasa lega. Pagi itu ia tiba tepat waktu di kediaman Dananjaya seperti biasa. Seperti biasa pula, Aruna melihat dua orang bodyguards di teras depan dengan mobil Bentley milik Brahmana yang masih terparkir manis di sampingnya menunggu sang pemilik keluar dari dalam. “Ah iya. Aku harus mengucapkan terima kasih pada pak bos dulu…” gumamnya. Dengan langkah yang terasa begitu ringan, alih-alih menuju bagian samping bangunan utama, Aruna mengarah ke teras depan dan ikut menunggu di dekat anak tangga
“Apa? Kenapa begitu, kak Jul??” Ferliana setengah berseru saat melihat selembar kertas yang disodorkan oleh Julian ke hadapannya.Demikian pula dengan Lisa yang duduk di samping Ferliana.Kedua matanya membesar dan menatap bergantian ke arah lembar kertas, Ferliana, lalu Julian yang ada di hadapan putri kesayangannya.“Iya, karena memang lebih baik dilakukan seperti ini. Biar sama-sama enak, Fer,” ujar Julian. Air mukanya terlihat tenang berbanding terbalik dengan Ferliana yang terlihat jelas begitu gusar dan menatap tak puas pada Julian.“Tapi ini kan ngga seberapa, Jul? Uang tiga puluh lima juta itu kecil jika dibandingkan resiko kita semua menanggung malu?” cerocos Ferliana dengan nada memelas.“Benar nak Julian.” Kali ini Lisa angkat bicara. “Apalagi Ferliana kan akan menjadi istrimu segera. Kita akan menjadi keluarga. Ibu rasa hal seperti ini tidak diperlukan.”Julian terlihat menarik napas.Ada raut kesal menampak di wajahnya. Terutama ketika Ferliana mengatakan bahwa uang tiga
Itu adalah pagi hari Minggu yang cerah dan seharusnya menjadi hari istirahat Aruna. Namun Ima menghubunginya semalam dan mengatakan agar Aruna bersiap menemani Maira dan Ima pergi ke satu tempat di hari Minggu. Ini memang akan dihitung sebagai lemburan. Tapi sesungguhnya Aruna ingin bersantai dan bersama ayahnya hari ini. Namun apa boleh buat, ia tahu hal ini bagian dari kontrak yang ia tanda tangani. Bahwa ketika dibutuhkan, Aruna bersedia datang dan melaksanakan tugas pengasuhannya untuk Maira. Aruna telah tiba di kediaman Dananjaya dan melihat Maira yang tengah duduk di ruang keluarga dengan kaki mengayun-ayun riang. “Kak Una!” pekiknya riang dan langsung lari menghambur Aruna. “Wah udah cantik aja ini Mai? Mau ke mana sih?” Aruna mengelus rambut Maira dengan lembut. “Mai kan ada tugas Kak, suruh nulis pengalaman berlibur bersama keluarga.” “Oh… Terus?” “Mai minta temenin sama Kak Una.” “Oke kalo gitu.. Apa kita berangkat sekarang?” Aruna lalu menoleh ke arah Ima yang ter
Meskipun itu adalah hari Minggu, suasana siang hari itu terbilang cukup tenang. Tidak terlihat suasana yang padat di lobby dan sekitarnya oleh pengunjung hotel. Bukan karena resor mewah tersebut kekurangan peminat sehingga tempat itu terkesan lengang. Resor ini memang hanya menyediakan jumlah kamar yang terbatas dengan harga yang sangat tinggi dan tidak sembarang orang dapat memesannya begitu saja. Hanya kalangan tertentu atau dengan koneksi tertentu lah yang bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan menginap di sana. Di lounge hotel, terlihat sepasang suami isteri paruh baya yang cukup montok tengah duduk di sofa. Sang suami berulang kali melihat pergelangan tangannya dan tampak tidak dapat duduk dengan tenang. Sementara sang isteri di sebelahnya, justru terlihat asyik melakukan selfie dan beberapa kali memutar posisi duduk demi mendapatkan angle yang bagus menurutnya. Seluruh yang melekat di tubuh sang isteri menyuarakan kata ‘mahal’, meskipun kesan yang timbul akibat padu
Suara itu terdengar begitu dingin dan menusuk, hingga terasa oleh Aruna dan juga wanita di hadapannya, suhu sekitar mereka yang seakan menurun drastis. Aruna menoleh dan mendapati pria bertubuh tinggi dengan jas hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, menampilkan fitur dan sosok penguasa yang begitu intimidatif. Pupil mata Aruna melebar demi melihat Brahmana yang berdiri d belakangnya, entah sejak kapan. Tanpa alasan, tubuh wanita berdandan menor yang berdiri dekat Aruna itu pun bergetar dan ia menelan ludah dengan gugup. “Si-siapa kamu? Beraninya menyela dan menghina putra saya?!” sentak bu Ishak. Sosok tinggi dan menawan pria itu diliputi aura yang menyudutkan. Wajah tampan miliknya terlihat tenang namun gelap tatapannya terasa menghimpit dan menyesakkan. Sementara di belakang Brahmana, berdiri dua pria paruh baya yang tidak Aruna kenal. Satu pria berjas hijau dan satu pria lainnya berjas hitam dengan pin logo hotel tempat mereka berada. Dilihat dari penampilan dan juga
“Maaf Pak.”“Kenapa kamu yang minta maaf?” Brahmana melempar balik pertanyaan dengan nada datar khas-nya.“Urusan pribadi saya, sampai menyeret Bapak,” sahut Aruna dengan kepala sedikit tertunduk.Sungguh, ia sangat malu. Melihat dan mendengar semua tindak tanduk dan perkataan bu Ishak pada dirinya saja, membuat darahnya mendidih.Namun karena adab dan kesopanan yang selalu dirinya jaga, ia tidak langsung menerkam wanita menor sok berkelas itu.“Saya tidak suka pembuat onar di tempat usaha saya.”“Hotel ini milik Bapak?”“Salah satu yang di bawah DG.”DG yang dimaksud Brahmana adalah Dananjaya Group. Aruna paham itu. Ia lalu menelan ludah hati-hati.Luar biasa sekali jangkauan usaha CEO satu itu. Demikian yang ia pikirkan.Kedua sudut bibir Aruna tertarik ke atas.“Kak Una senyumnya manis!” celutuk Maira dengan kepala mendongak melihat Aruna.Mereka masih berjalan di koridor hotel menuju kamar yang ditempati Maira dan Aruna.“Oh ya.. Emm…”“Apa kak Una tersenyum karena ayah Mai sangat