Itu adalah pagi hari Minggu yang cerah dan seharusnya menjadi hari istirahat Aruna. Namun Ima menghubunginya semalam dan mengatakan agar Aruna bersiap menemani Maira dan Ima pergi ke satu tempat di hari Minggu. Ini memang akan dihitung sebagai lemburan. Tapi sesungguhnya Aruna ingin bersantai dan bersama ayahnya hari ini. Namun apa boleh buat, ia tahu hal ini bagian dari kontrak yang ia tanda tangani. Bahwa ketika dibutuhkan, Aruna bersedia datang dan melaksanakan tugas pengasuhannya untuk Maira. Aruna telah tiba di kediaman Dananjaya dan melihat Maira yang tengah duduk di ruang keluarga dengan kaki mengayun-ayun riang. “Kak Una!” pekiknya riang dan langsung lari menghambur Aruna. “Wah udah cantik aja ini Mai? Mau ke mana sih?” Aruna mengelus rambut Maira dengan lembut. “Mai kan ada tugas Kak, suruh nulis pengalaman berlibur bersama keluarga.” “Oh… Terus?” “Mai minta temenin sama Kak Una.” “Oke kalo gitu.. Apa kita berangkat sekarang?” Aruna lalu menoleh ke arah Ima yang ter
Meskipun itu adalah hari Minggu, suasana siang hari itu terbilang cukup tenang. Tidak terlihat suasana yang padat di lobby dan sekitarnya oleh pengunjung hotel. Bukan karena resor mewah tersebut kekurangan peminat sehingga tempat itu terkesan lengang. Resor ini memang hanya menyediakan jumlah kamar yang terbatas dengan harga yang sangat tinggi dan tidak sembarang orang dapat memesannya begitu saja. Hanya kalangan tertentu atau dengan koneksi tertentu lah yang bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan menginap di sana. Di lounge hotel, terlihat sepasang suami isteri paruh baya yang cukup montok tengah duduk di sofa. Sang suami berulang kali melihat pergelangan tangannya dan tampak tidak dapat duduk dengan tenang. Sementara sang isteri di sebelahnya, justru terlihat asyik melakukan selfie dan beberapa kali memutar posisi duduk demi mendapatkan angle yang bagus menurutnya. Seluruh yang melekat di tubuh sang isteri menyuarakan kata ‘mahal’, meskipun kesan yang timbul akibat padu
Suara itu terdengar begitu dingin dan menusuk, hingga terasa oleh Aruna dan juga wanita di hadapannya, suhu sekitar mereka yang seakan menurun drastis. Aruna menoleh dan mendapati pria bertubuh tinggi dengan jas hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, menampilkan fitur dan sosok penguasa yang begitu intimidatif. Pupil mata Aruna melebar demi melihat Brahmana yang berdiri d belakangnya, entah sejak kapan. Tanpa alasan, tubuh wanita berdandan menor yang berdiri dekat Aruna itu pun bergetar dan ia menelan ludah dengan gugup. “Si-siapa kamu? Beraninya menyela dan menghina putra saya?!” sentak bu Ishak. Sosok tinggi dan menawan pria itu diliputi aura yang menyudutkan. Wajah tampan miliknya terlihat tenang namun gelap tatapannya terasa menghimpit dan menyesakkan. Sementara di belakang Brahmana, berdiri dua pria paruh baya yang tidak Aruna kenal. Satu pria berjas hijau dan satu pria lainnya berjas hitam dengan pin logo hotel tempat mereka berada. Dilihat dari penampilan dan juga
“Maaf Pak.”“Kenapa kamu yang minta maaf?” Brahmana melempar balik pertanyaan dengan nada datar khas-nya.“Urusan pribadi saya, sampai menyeret Bapak,” sahut Aruna dengan kepala sedikit tertunduk.Sungguh, ia sangat malu. Melihat dan mendengar semua tindak tanduk dan perkataan bu Ishak pada dirinya saja, membuat darahnya mendidih.Namun karena adab dan kesopanan yang selalu dirinya jaga, ia tidak langsung menerkam wanita menor sok berkelas itu.“Saya tidak suka pembuat onar di tempat usaha saya.”“Hotel ini milik Bapak?”“Salah satu yang di bawah DG.”DG yang dimaksud Brahmana adalah Dananjaya Group. Aruna paham itu. Ia lalu menelan ludah hati-hati.Luar biasa sekali jangkauan usaha CEO satu itu. Demikian yang ia pikirkan.Kedua sudut bibir Aruna tertarik ke atas.“Kak Una senyumnya manis!” celutuk Maira dengan kepala mendongak melihat Aruna.Mereka masih berjalan di koridor hotel menuju kamar yang ditempati Maira dan Aruna.“Oh ya.. Emm…”“Apa kak Una tersenyum karena ayah Mai sangat
Dua minggu telah berlalu sejak Aruna menemani Maira pergi ke kota kembang. Aruna benar-benar merasakan perbedaan yang nyata dalam dirinya.Terasa begitu senang, ringan dan tanpa beban.Tentu saja.Kini ia tak perlu lagi merasa khawatir dan takut bahwa keluarga Ishak akan mengejar dirinya. Entah apa yang terjadi pada mereka, namun Shanti memberikan berita yang cukup mengejutkan.Dalam semalam, perusahaan milik keluarga Ishak dikabarkan berada di ambang kebangkrutan. Semua investor telah menarik dana investasinya dari perusahaan keluarga itu.Beberapa proyek penting menjadi terbengkalai dan mereka diserbu para pekerja yang menuntut pembayaran gaji mereka.“Ini berita sedih, tapi sekaligus jadi berita baik, kan Run?” ujar Shanti kala itu saat mengunjungi Aruna di rumah kontrakan. “Gua yakin, tu mak lampir kagak lagi berhasrat jodohin lu ama si Anton.”“Heem,” jawab singkat Aruna. Benaknya masih dipenuhi tentang bagaimana mungkin semua itu terjadi begitu saja hanya dalam waktu semalam?Ap
Di sebuah restoran berkonsep industrial dengan sentuhan moderen yang ditata dengan baik, terlihat selusin pengunjung yang duduk di area yang sama.Mereka terlihat tertawa dan bercengkerama karena setahun tidak berjumpa. Terlihat dua orang lagi datang, kemudian disambut dengan pelukan dan tepukan antar tangan.Percakapan terjadi begitu saja meski mereka tampak lama tidak saling menyapa.Di satu sudut, sekelompok wanita muda yang duduk mengelilingi meja panjang juga terlihat asyik bertukar cerita.Mereka yang hadir adalah teman-teman satu SMA dengan Aruna yang memang bersepakat mengadakan acara reuni di tempat itu. Reuni sederhana satu kelas, sebelum kelak merencanakan reuni formal satu angkatan.Shanti terlihat di antaranya, namun ia tidak membawa pasangan seperti teman-temannya yang lain. Ajang ini memang diadakan santai, karena itu banyak di antara mereka yang membawa serta pasangan mereka.“Lu beneran dah merit sama Andre, Pal?&rdquo
“Hem. Hanya baru punya waktu untuk bisa datang. Apa kabar Ran?” balas Aruna sambil tersenyum. Bukannya menjawab, Rani mendengkus. “Sibuk sekali rupanya. Kamu masih kerja? Jadi tulang punggung?” “Rani--” “Iya, aku memang jadi tulang punggung. Jadi memang sulit untuk menemukan waktu kumpul. Maaf ya,” sela Aruna cepat memotong Shanti yang hendak berkata. “Aruna magang di Niskala, lho…” Najla, yang berada di belakang Aruna membuka suara. “Wajar dia sedikit lebih sibuk daripada kita-kita,” celotehnya lagi sambil terkekeh. “Apa? Niskala?” sahut seseorang terkejut. “Niskala yang itu? PT Niskala Construction yang itu?” tanya seseorang sangsi. “Apa benar?” “Yup! Niskala yang itu. Aruna kita keren kan?” Kali ini Jasmine yang menjawab berondongan pertanyaan dari teman-teman yang lain. “Halah! Magang aja kok heboh sih?” Rista menyela. “Yaelah Ris! Masa iya lu kagak tau? Kalo bisa masuk Niskala, meskipun baru magang, itu hebat tau. Itu perusahaan bonafide! Seleksi masuknya aja 7 tahap. Gu
“Apa… bekerja di bawah CEO Dananjaya langsung?” gumam seseorang pelan. Namun karena suasana begitu hening, itu pun terdengar oleh semua orang yang duduk di area tersebut. “Mustahil… Gak mungkin…” gumam yang lainnya menimpali. “Omong kosong!” seru Rista. “Apa kamu tidak sedang nipu kami semua, Shan?” “Tapi ini Shanti yang bilang,” bisik Rianna pada Rista. Ia lalu beralih pada Rani. “Gimana menurut lu, Ran?” “Huh,” dengkus Rani sambil mengaitkan helaian rambutnya ke belakang telinga. “Entahlah. Gue kagak yakin. Bisa aja Shanti bohong, atau bisa aja Aruna yang bohongin Shanti. Kita semua tahu kan, Dananjaya itu apa dan siapa di negara ini? Apakah itu mungkin, dia kerja langsung di bawah Dananjaya Group? Yah.. kalian sendiri bisa mikir lah.” “Bener Ran!” sambar Rianna. “Jangankan untuk kerja di bawah langsung CEO, untuk masuk jadi pegawai biasa ke kantor pusat Dananjaya Group aja kebanyakan lulusan universitas luar negeri yang bergengsi!” “Sudahlah ya. Bukankah kita kumpul di sini un
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m