Dua minggu telah berlalu sejak Aruna menemani Maira pergi ke kota kembang. Aruna benar-benar merasakan perbedaan yang nyata dalam dirinya.Terasa begitu senang, ringan dan tanpa beban.Tentu saja.Kini ia tak perlu lagi merasa khawatir dan takut bahwa keluarga Ishak akan mengejar dirinya. Entah apa yang terjadi pada mereka, namun Shanti memberikan berita yang cukup mengejutkan.Dalam semalam, perusahaan milik keluarga Ishak dikabarkan berada di ambang kebangkrutan. Semua investor telah menarik dana investasinya dari perusahaan keluarga itu.Beberapa proyek penting menjadi terbengkalai dan mereka diserbu para pekerja yang menuntut pembayaran gaji mereka.“Ini berita sedih, tapi sekaligus jadi berita baik, kan Run?” ujar Shanti kala itu saat mengunjungi Aruna di rumah kontrakan. “Gua yakin, tu mak lampir kagak lagi berhasrat jodohin lu ama si Anton.”“Heem,” jawab singkat Aruna. Benaknya masih dipenuhi tentang bagaimana mungkin semua itu terjadi begitu saja hanya dalam waktu semalam?Ap
Di sebuah restoran berkonsep industrial dengan sentuhan moderen yang ditata dengan baik, terlihat selusin pengunjung yang duduk di area yang sama.Mereka terlihat tertawa dan bercengkerama karena setahun tidak berjumpa. Terlihat dua orang lagi datang, kemudian disambut dengan pelukan dan tepukan antar tangan.Percakapan terjadi begitu saja meski mereka tampak lama tidak saling menyapa.Di satu sudut, sekelompok wanita muda yang duduk mengelilingi meja panjang juga terlihat asyik bertukar cerita.Mereka yang hadir adalah teman-teman satu SMA dengan Aruna yang memang bersepakat mengadakan acara reuni di tempat itu. Reuni sederhana satu kelas, sebelum kelak merencanakan reuni formal satu angkatan.Shanti terlihat di antaranya, namun ia tidak membawa pasangan seperti teman-temannya yang lain. Ajang ini memang diadakan santai, karena itu banyak di antara mereka yang membawa serta pasangan mereka.“Lu beneran dah merit sama Andre, Pal?&rdquo
“Hem. Hanya baru punya waktu untuk bisa datang. Apa kabar Ran?” balas Aruna sambil tersenyum. Bukannya menjawab, Rani mendengkus. “Sibuk sekali rupanya. Kamu masih kerja? Jadi tulang punggung?” “Rani--” “Iya, aku memang jadi tulang punggung. Jadi memang sulit untuk menemukan waktu kumpul. Maaf ya,” sela Aruna cepat memotong Shanti yang hendak berkata. “Aruna magang di Niskala, lho…” Najla, yang berada di belakang Aruna membuka suara. “Wajar dia sedikit lebih sibuk daripada kita-kita,” celotehnya lagi sambil terkekeh. “Apa? Niskala?” sahut seseorang terkejut. “Niskala yang itu? PT Niskala Construction yang itu?” tanya seseorang sangsi. “Apa benar?” “Yup! Niskala yang itu. Aruna kita keren kan?” Kali ini Jasmine yang menjawab berondongan pertanyaan dari teman-teman yang lain. “Halah! Magang aja kok heboh sih?” Rista menyela. “Yaelah Ris! Masa iya lu kagak tau? Kalo bisa masuk Niskala, meskipun baru magang, itu hebat tau. Itu perusahaan bonafide! Seleksi masuknya aja 7 tahap. Gu
“Apa… bekerja di bawah CEO Dananjaya langsung?” gumam seseorang pelan. Namun karena suasana begitu hening, itu pun terdengar oleh semua orang yang duduk di area tersebut. “Mustahil… Gak mungkin…” gumam yang lainnya menimpali. “Omong kosong!” seru Rista. “Apa kamu tidak sedang nipu kami semua, Shan?” “Tapi ini Shanti yang bilang,” bisik Rianna pada Rista. Ia lalu beralih pada Rani. “Gimana menurut lu, Ran?” “Huh,” dengkus Rani sambil mengaitkan helaian rambutnya ke belakang telinga. “Entahlah. Gue kagak yakin. Bisa aja Shanti bohong, atau bisa aja Aruna yang bohongin Shanti. Kita semua tahu kan, Dananjaya itu apa dan siapa di negara ini? Apakah itu mungkin, dia kerja langsung di bawah Dananjaya Group? Yah.. kalian sendiri bisa mikir lah.” “Bener Ran!” sambar Rianna. “Jangankan untuk kerja di bawah langsung CEO, untuk masuk jadi pegawai biasa ke kantor pusat Dananjaya Group aja kebanyakan lulusan universitas luar negeri yang bergengsi!” “Sudahlah ya. Bukankah kita kumpul di sini un
Semua sontak menoleh ke asal suara.Kini semua mata tertuju pada seorang pria dengan setelan kemeja dan celana jeans yang dengan santai menatap Aruna.Pria itu berpostur tinggi dan tegap. Garis rahang tegas membingkai wajah dengan jambang yang cukup tebal. Rambutnya tebal dan terlihat sedikit panjang, hingga memberikan kesan sedikit liar namun tetap memesona.“Saya yang akan bayar semuanya,” ulang pria itu lagi dengan nada tenang. Ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana dan berjalan mendekat ke arah meja Aruna.“Siapa dia?” bisik Rista pada Rianna yang dijawab dengan gelengan kepala.“Cakep sih,” bisik Rista lagi. Matanya tak berkedip melihat pria itu yang kini berdiri di samping Aruna duduk.Pria itu tampak setengah membungkuk dan berbisik di dekat telinga Aruna.“Aku sudah tinggalin deposit untuk bill di meja ini. Kalo ternyata kurang, nanti aku tambahin. Kau enjoy aja ya sama temen-t
Ada beberapa perempuan di dalam toilet itu.Ferliana melongok sebentar ke dalam dan memperhatikan tiga pintu bilik yang tertutup. Ia melangkah mendekat ke wastafel dan berpura memperbaiki riasannya.Dua pintu terbuka dan keluar dua perempuan. Ferliana melirik melalui cermin di hadapannya.Mereka bukan Aruna.Kedua perempuan itu secara bergantian mencuci tangan di wastafel, merapikan bedak dan rambut mereka, lalu keluar satu demi satu.Sudut bibir Ferliana terangkat.Ia yakin, di bilik yang masih tertutup itu, adalah Aruna.Benar saja, ketika pintu bilik itu terbuka, Aruna keluar dari dalamnya.BRAK!Aruna tersentak kaget dan tidak siap sama sekali, ketika Ferliana mendorong bahu kirinya hingga ia tersurut mundur dan membentur pintu toilet.“Apa yang--” Aruna tertegun ketika melihat si pelaku. “Ferli?”“Iya, ini aku! Kenapa?” Ferli kembali mendorong bahu Aruna dengan kasar
“Dia kemana sih?” Rianna terdengar mengeluh dengan mata sesekali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Kagak tau, tadi cuman bilang bentar, tapi ini udah lima belas menit,” imbuh Rista pada kalimat Rianna. “Temen-temen dah pada keluar duluan,” keluh Rianna lagi. “Lu telpon deh, Ris.” Rista mengikuti anjuran Rianna dan menelepon sahabat mereka yang sejak tadi meninggalkan mereka entah kemana. “Kagak diangkat,” cetus Rista, lalu mencoba mengulang panggilan. Ia terlihat menunggu. “Sama. Kagak diangkat,” ujarnya. “Duh, kemana sih Rani.” Perempuan yang tengah dibicarakan itu tampak berdiam di balik dinding di luar koridor menuju toilet. Dengan seksama telinganya menangkap ketukan sepatu hak tinggi seseorang di koridor menuju arahnya. “Hai,” sapa Rani --perempuan yang berdiam di balik dinding itu pada seorang perempuan yang keluar dari arah koridor, dengan langkah tergesa dan wajah terlihat gugup dan cemas. “Agh!” pekik tertahan si perempuan. Wajahnya pias
“Aku benci perempuan sialan itu! Aku benci dia, bu!!” raung Ferliana begitu masuk ke dalam rumah.Ia melemparkan tas selempangnya ke sembarang tempat lalu menaikkan kaki bergantian, mencopot sepatu bermerek miliknya lalu melemparkannya dengan kasar.“Ferli! Apa-apaan kamu!” pekik Lisa begitu ia datang ke ruang tamu dan mendapati putrinya mengacaukan ruang tamu yang baru saja ia bersihkan. “Aku benci jalang itu, Bu! Arrrgghh!!”Lisa mendekat ke arah putri kesayangannya yang menjatuhkan diri ke lantai dan mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil mengamuk karena tidak dituruti kemauannya.“Kamu itu kenapa?!” Meskipun Ferliana putri semata wayang dan kesayangannya, tetap saja ia betul-betul kesal, hasil kerja kerasnya menjadi berantakan kembali.“Arrrgghh!!” Ferliana berteriak lagi lalu menendang kaki kursi yang berada di dekatnya.“Ferli!!” bentak Lisa jengkel. “Jangan acak-acak lagi! Keluarga Ishak mau ke sini!”Ferliana kontan berhenti mengamuk. “Keluarga Ishak?? Mau apa mereka k