Di sebuah restoran berkonsep industrial dengan sentuhan moderen yang ditata dengan baik, terlihat selusin pengunjung yang duduk di area yang sama.Mereka terlihat tertawa dan bercengkerama karena setahun tidak berjumpa. Terlihat dua orang lagi datang, kemudian disambut dengan pelukan dan tepukan antar tangan.Percakapan terjadi begitu saja meski mereka tampak lama tidak saling menyapa.Di satu sudut, sekelompok wanita muda yang duduk mengelilingi meja panjang juga terlihat asyik bertukar cerita.Mereka yang hadir adalah teman-teman satu SMA dengan Aruna yang memang bersepakat mengadakan acara reuni di tempat itu. Reuni sederhana satu kelas, sebelum kelak merencanakan reuni formal satu angkatan.Shanti terlihat di antaranya, namun ia tidak membawa pasangan seperti teman-temannya yang lain. Ajang ini memang diadakan santai, karena itu banyak di antara mereka yang membawa serta pasangan mereka.“Lu beneran dah merit sama Andre, Pal?&rdquo
“Hem. Hanya baru punya waktu untuk bisa datang. Apa kabar Ran?” balas Aruna sambil tersenyum. Bukannya menjawab, Rani mendengkus. “Sibuk sekali rupanya. Kamu masih kerja? Jadi tulang punggung?” “Rani--” “Iya, aku memang jadi tulang punggung. Jadi memang sulit untuk menemukan waktu kumpul. Maaf ya,” sela Aruna cepat memotong Shanti yang hendak berkata. “Aruna magang di Niskala, lho…” Najla, yang berada di belakang Aruna membuka suara. “Wajar dia sedikit lebih sibuk daripada kita-kita,” celotehnya lagi sambil terkekeh. “Apa? Niskala?” sahut seseorang terkejut. “Niskala yang itu? PT Niskala Construction yang itu?” tanya seseorang sangsi. “Apa benar?” “Yup! Niskala yang itu. Aruna kita keren kan?” Kali ini Jasmine yang menjawab berondongan pertanyaan dari teman-teman yang lain. “Halah! Magang aja kok heboh sih?” Rista menyela. “Yaelah Ris! Masa iya lu kagak tau? Kalo bisa masuk Niskala, meskipun baru magang, itu hebat tau. Itu perusahaan bonafide! Seleksi masuknya aja 7 tahap. Gu
“Apa… bekerja di bawah CEO Dananjaya langsung?” gumam seseorang pelan. Namun karena suasana begitu hening, itu pun terdengar oleh semua orang yang duduk di area tersebut. “Mustahil… Gak mungkin…” gumam yang lainnya menimpali. “Omong kosong!” seru Rista. “Apa kamu tidak sedang nipu kami semua, Shan?” “Tapi ini Shanti yang bilang,” bisik Rianna pada Rista. Ia lalu beralih pada Rani. “Gimana menurut lu, Ran?” “Huh,” dengkus Rani sambil mengaitkan helaian rambutnya ke belakang telinga. “Entahlah. Gue kagak yakin. Bisa aja Shanti bohong, atau bisa aja Aruna yang bohongin Shanti. Kita semua tahu kan, Dananjaya itu apa dan siapa di negara ini? Apakah itu mungkin, dia kerja langsung di bawah Dananjaya Group? Yah.. kalian sendiri bisa mikir lah.” “Bener Ran!” sambar Rianna. “Jangankan untuk kerja di bawah langsung CEO, untuk masuk jadi pegawai biasa ke kantor pusat Dananjaya Group aja kebanyakan lulusan universitas luar negeri yang bergengsi!” “Sudahlah ya. Bukankah kita kumpul di sini un
Semua sontak menoleh ke asal suara.Kini semua mata tertuju pada seorang pria dengan setelan kemeja dan celana jeans yang dengan santai menatap Aruna.Pria itu berpostur tinggi dan tegap. Garis rahang tegas membingkai wajah dengan jambang yang cukup tebal. Rambutnya tebal dan terlihat sedikit panjang, hingga memberikan kesan sedikit liar namun tetap memesona.“Saya yang akan bayar semuanya,” ulang pria itu lagi dengan nada tenang. Ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana dan berjalan mendekat ke arah meja Aruna.“Siapa dia?” bisik Rista pada Rianna yang dijawab dengan gelengan kepala.“Cakep sih,” bisik Rista lagi. Matanya tak berkedip melihat pria itu yang kini berdiri di samping Aruna duduk.Pria itu tampak setengah membungkuk dan berbisik di dekat telinga Aruna.“Aku sudah tinggalin deposit untuk bill di meja ini. Kalo ternyata kurang, nanti aku tambahin. Kau enjoy aja ya sama temen-t
Ada beberapa perempuan di dalam toilet itu.Ferliana melongok sebentar ke dalam dan memperhatikan tiga pintu bilik yang tertutup. Ia melangkah mendekat ke wastafel dan berpura memperbaiki riasannya.Dua pintu terbuka dan keluar dua perempuan. Ferliana melirik melalui cermin di hadapannya.Mereka bukan Aruna.Kedua perempuan itu secara bergantian mencuci tangan di wastafel, merapikan bedak dan rambut mereka, lalu keluar satu demi satu.Sudut bibir Ferliana terangkat.Ia yakin, di bilik yang masih tertutup itu, adalah Aruna.Benar saja, ketika pintu bilik itu terbuka, Aruna keluar dari dalamnya.BRAK!Aruna tersentak kaget dan tidak siap sama sekali, ketika Ferliana mendorong bahu kirinya hingga ia tersurut mundur dan membentur pintu toilet.“Apa yang--” Aruna tertegun ketika melihat si pelaku. “Ferli?”“Iya, ini aku! Kenapa?” Ferli kembali mendorong bahu Aruna dengan kasar
“Dia kemana sih?” Rianna terdengar mengeluh dengan mata sesekali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Kagak tau, tadi cuman bilang bentar, tapi ini udah lima belas menit,” imbuh Rista pada kalimat Rianna. “Temen-temen dah pada keluar duluan,” keluh Rianna lagi. “Lu telpon deh, Ris.” Rista mengikuti anjuran Rianna dan menelepon sahabat mereka yang sejak tadi meninggalkan mereka entah kemana. “Kagak diangkat,” cetus Rista, lalu mencoba mengulang panggilan. Ia terlihat menunggu. “Sama. Kagak diangkat,” ujarnya. “Duh, kemana sih Rani.” Perempuan yang tengah dibicarakan itu tampak berdiam di balik dinding di luar koridor menuju toilet. Dengan seksama telinganya menangkap ketukan sepatu hak tinggi seseorang di koridor menuju arahnya. “Hai,” sapa Rani --perempuan yang berdiam di balik dinding itu pada seorang perempuan yang keluar dari arah koridor, dengan langkah tergesa dan wajah terlihat gugup dan cemas. “Agh!” pekik tertahan si perempuan. Wajahnya pias
“Aku benci perempuan sialan itu! Aku benci dia, bu!!” raung Ferliana begitu masuk ke dalam rumah.Ia melemparkan tas selempangnya ke sembarang tempat lalu menaikkan kaki bergantian, mencopot sepatu bermerek miliknya lalu melemparkannya dengan kasar.“Ferli! Apa-apaan kamu!” pekik Lisa begitu ia datang ke ruang tamu dan mendapati putrinya mengacaukan ruang tamu yang baru saja ia bersihkan. “Aku benci jalang itu, Bu! Arrrgghh!!”Lisa mendekat ke arah putri kesayangannya yang menjatuhkan diri ke lantai dan mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil mengamuk karena tidak dituruti kemauannya.“Kamu itu kenapa?!” Meskipun Ferliana putri semata wayang dan kesayangannya, tetap saja ia betul-betul kesal, hasil kerja kerasnya menjadi berantakan kembali.“Arrrgghh!!” Ferliana berteriak lagi lalu menendang kaki kursi yang berada di dekatnya.“Ferli!!” bentak Lisa jengkel. “Jangan acak-acak lagi! Keluarga Ishak mau ke sini!”Ferliana kontan berhenti mengamuk. “Keluarga Ishak?? Mau apa mereka k
“Bagaimana kami tahu? Ta-tapi kenapa Bapak dan Ibu bertanya seperti itu?” Lisa menoleh dan menatap bergantian pada pak Ishak dan bu Ishak.“Ada kaitan apa Aruna dengan perusahaan besar itu?” lanjutnya.“Anak tiri kamu itu penyebab kebangkrutan kami!” Bukannya menjawab pertanyaan Lisa, bu Ishak kembali menyalahkan dengan berapi-api.“Hah? Ba-bangkrut? Siapa?” Lisa kian tidak mengerti.“Kami menyinggung Aruna lalu seseorang membelanya. Kami tidak tahu bahwa orang yang membela Aruna itu ternyata ada hubungannya dengan Dananjaya Group. Sepertinya orang yang berkuasa.” Pak Ishak mengambil alih dalam menjelaskan.“Apa?!”“Keesokan harinya semua investor menarik dana investasinya dari kami. Lalu buruh-buruh melakukan mogok kerja dan menuntut gaji dan tunjangan mereka. Harga saham anjlok..”“Kami habis!” Bu Ishak menyela suaminya. Kedua tangannya m
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m