Semua sontak menoleh ke asal suara.
Kini semua mata tertuju pada seorang pria dengan setelan kemeja dan celana jeans yang dengan santai menatap Aruna.
Pria itu berpostur tinggi dan tegap. Garis rahang tegas membingkai wajah dengan jambang yang cukup tebal. Rambutnya tebal dan terlihat sedikit panjang, hingga memberikan kesan sedikit liar namun tetap memesona.
“Saya yang akan bayar semuanya,” ulang pria itu lagi dengan nada tenang. Ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana dan berjalan mendekat ke arah meja Aruna.
“Siapa dia?” bisik Rista pada Rianna yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Cakep sih,” bisik Rista lagi. Matanya tak berkedip melihat pria itu yang kini berdiri di samping Aruna duduk.
Pria itu tampak setengah membungkuk dan berbisik di dekat telinga Aruna.
“Aku sudah tinggalin deposit untuk bill di meja ini. Kalo ternyata kurang, nanti aku tambahin. Kau enjoy aja ya sama temen-t
Ada beberapa perempuan di dalam toilet itu.Ferliana melongok sebentar ke dalam dan memperhatikan tiga pintu bilik yang tertutup. Ia melangkah mendekat ke wastafel dan berpura memperbaiki riasannya.Dua pintu terbuka dan keluar dua perempuan. Ferliana melirik melalui cermin di hadapannya.Mereka bukan Aruna.Kedua perempuan itu secara bergantian mencuci tangan di wastafel, merapikan bedak dan rambut mereka, lalu keluar satu demi satu.Sudut bibir Ferliana terangkat.Ia yakin, di bilik yang masih tertutup itu, adalah Aruna.Benar saja, ketika pintu bilik itu terbuka, Aruna keluar dari dalamnya.BRAK!Aruna tersentak kaget dan tidak siap sama sekali, ketika Ferliana mendorong bahu kirinya hingga ia tersurut mundur dan membentur pintu toilet.“Apa yang--” Aruna tertegun ketika melihat si pelaku. “Ferli?”“Iya, ini aku! Kenapa?” Ferli kembali mendorong bahu Aruna dengan kasar
“Dia kemana sih?” Rianna terdengar mengeluh dengan mata sesekali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Kagak tau, tadi cuman bilang bentar, tapi ini udah lima belas menit,” imbuh Rista pada kalimat Rianna. “Temen-temen dah pada keluar duluan,” keluh Rianna lagi. “Lu telpon deh, Ris.” Rista mengikuti anjuran Rianna dan menelepon sahabat mereka yang sejak tadi meninggalkan mereka entah kemana. “Kagak diangkat,” cetus Rista, lalu mencoba mengulang panggilan. Ia terlihat menunggu. “Sama. Kagak diangkat,” ujarnya. “Duh, kemana sih Rani.” Perempuan yang tengah dibicarakan itu tampak berdiam di balik dinding di luar koridor menuju toilet. Dengan seksama telinganya menangkap ketukan sepatu hak tinggi seseorang di koridor menuju arahnya. “Hai,” sapa Rani --perempuan yang berdiam di balik dinding itu pada seorang perempuan yang keluar dari arah koridor, dengan langkah tergesa dan wajah terlihat gugup dan cemas. “Agh!” pekik tertahan si perempuan. Wajahnya pias
“Aku benci perempuan sialan itu! Aku benci dia, bu!!” raung Ferliana begitu masuk ke dalam rumah.Ia melemparkan tas selempangnya ke sembarang tempat lalu menaikkan kaki bergantian, mencopot sepatu bermerek miliknya lalu melemparkannya dengan kasar.“Ferli! Apa-apaan kamu!” pekik Lisa begitu ia datang ke ruang tamu dan mendapati putrinya mengacaukan ruang tamu yang baru saja ia bersihkan. “Aku benci jalang itu, Bu! Arrrgghh!!”Lisa mendekat ke arah putri kesayangannya yang menjatuhkan diri ke lantai dan mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil mengamuk karena tidak dituruti kemauannya.“Kamu itu kenapa?!” Meskipun Ferliana putri semata wayang dan kesayangannya, tetap saja ia betul-betul kesal, hasil kerja kerasnya menjadi berantakan kembali.“Arrrgghh!!” Ferliana berteriak lagi lalu menendang kaki kursi yang berada di dekatnya.“Ferli!!” bentak Lisa jengkel. “Jangan acak-acak lagi! Keluarga Ishak mau ke sini!”Ferliana kontan berhenti mengamuk. “Keluarga Ishak?? Mau apa mereka k
“Bagaimana kami tahu? Ta-tapi kenapa Bapak dan Ibu bertanya seperti itu?” Lisa menoleh dan menatap bergantian pada pak Ishak dan bu Ishak.“Ada kaitan apa Aruna dengan perusahaan besar itu?” lanjutnya.“Anak tiri kamu itu penyebab kebangkrutan kami!” Bukannya menjawab pertanyaan Lisa, bu Ishak kembali menyalahkan dengan berapi-api.“Hah? Ba-bangkrut? Siapa?” Lisa kian tidak mengerti.“Kami menyinggung Aruna lalu seseorang membelanya. Kami tidak tahu bahwa orang yang membela Aruna itu ternyata ada hubungannya dengan Dananjaya Group. Sepertinya orang yang berkuasa.” Pak Ishak mengambil alih dalam menjelaskan.“Apa?!”“Keesokan harinya semua investor menarik dana investasinya dari kami. Lalu buruh-buruh melakukan mogok kerja dan menuntut gaji dan tunjangan mereka. Harga saham anjlok..”“Kami habis!” Bu Ishak menyela suaminya. Kedua tangannya m
Itu adalah pagi berikutnya ketika Aruna telah berada di kediaman Brahmana jauh lebih awal. Aruna telah mengetahui jadwal sarapan Brahmana dari bu Ima dan kini ia ada di pantri membuatkan sarapan khusus untuk Brahmana sebagai permintaan maaf tulus darinya. Ia membuat chicken cream soup dengan isi perpaduan yang imbang dan ia buat sebaik dan sehati-hati mungkin. Meskipun ia sadar, bahwa apa yang ia buat itu mungkin tidak berada dalam standar selera seorang Brahmana, namun ia berusaha mengungkapkan permintaan maaf tulusnya melalui makanan yang ia buat. Tepat setelah Aruna menata mangkuk beserta sendoknya ke atas meja makan, suara ketukan sepatu beradu lantai, terdengar memasuki ruang makan. Brahmana dengan setelan jas buatan tangan yang dipesan khusus dari luar, terlihat begitu gagah dan menawan. Aruna menatap sekian saat sebelum ia menunduk lalu mundur dari meja makan saat Brahmana melangkah mendekat. “Kamu datang pagi sekali?” tegur Brahmana mengagetkan Aruna. Semula ia berpikir
“Aku sungguh benci Aruna, Bu! Kenapa dia selalu mengalahkanku dalam segala hal!” “Diamlah, Fer. Ibu pusing!” sentak Lisa lalu memijat kepalanya yang terasa berat dan leher yang terasa kaku dan tegang. Tekanan darahnya naik dan membuat Lisa harus berbaring sejak kemarin. Jangankan berharap Ferliana mengurusi dirinya yang tengah tidak sehat ini, ia malah harus terus mendengar rengekan Ferliana yang sudah beberapa hari ini uring-uringan. Lisa menghela napas kesal. Ia hampir kehilangan mood atas segala hal. Otaknya pun serasa menolak bekerja sama, karena hingga saat ini, ia sungguh-sungguh tidak bisa berpikir dan menentukan harus melakukan apa. Sejak kedatangan keluarga Ishak yang membeberkan bahwa mereka telah bangkrut, Lisa langsung lemas dan seakan kehilangan arah. Ia sungguh-sungguh terkejut mendengar bahwa keluarga Ishak telah jatuh. Ia memang tidak mengikuti berita dan hanya terfokus menjual barang-barang berharga mereka untuk bertahan hidup dua minggu belakangan itu. Karena
“Fathan.” Suara dalam dan berwibawa khas milik Brahmana terdengar di ruangan kerja besar itu. Fathan menggeser pandangannya dari ipad di tangan, kini ke arah sang CEO dan menunggu Brahmana meneruskan kalimatnya. “Periksa sejak kapan perpindahan ini terjadi,” ujar Brahmana lalu menarik satu berkas dan menyodorkannya di hadapan Fathan. Dengan sigap, Fathan mengambil berkas itu dan memperhatikannya seksama. “Ini hanya selisih lima hari dari perpindahan terakhir. Meskipun dari pemilik yang berbeda, tapi saya temukan tiga kali dengan selang lebih dari tiga hari terjadi perpindahan saham.” “Semuanya ditujukan pada akun berbeda, Tuan,” jawab Fathan sesaat setelah ia mengecek data di dalam ipad di tangannya. “Periksa keterkaitan antar akun tersebut,” perintah Brahmana. “Apapun. Cari yang bisa dijadikan penghubung ketiganya.” “Baik, Tuan.” Fathan mengangguk. “Periksa juga ketiga pemilik yang melakukan pengalihan tersebut.” “Baik, Tuan.” Meski tanpa dijelaskan lebih detil oleh Brahmana,
Brahmana tertegun menangkap pemandangan tak sengaja di hadapannya, hingga ia terlupa untuk memutar tubuh. Jakunnya bergerak naik turun saat meneguk kasar saliva-nya. Ia mendapati dirinya tidak bisa untuk tidak mengagumi sosok indah dan menakjubkan yang tertangkap kedua netra miliknya itu. “Aah!!” pekik histeris Aruna saat berbalik dan menyadari bahwa seorang pria telah berdiri di ambang pintu kamar mandi. “Nga-ngapain Bapak di sini?!” Dengan panik Aruna melempar hairdryer di tangannya dan menyambar bathrobe yang tergantung tak jauh dari ia berdiri untuk menutupi tubuh atasnya. “Ngapain? Ini kamar mandi saya. Kamu yang ngapain di sini?” “A--” Aruna menoleh sekeliling lalu mengutuk dirinya sendiri yang terlupa. “Ber-berbalik Pak!” “Sudah,” jawab ringan Brahmana sambil memutar tubuhnya ke belakang. “Cepat kamu pakai dan keluar dari kamar mandi saya.” “I-iya Pak.” Tergesa-gesa Aruna mengenakan kemejanya yang masih setengah basah itu. Ia tak peduli lagi atas ketidaknyamanan tubuhny