“Bagaimana kami tahu? Ta-tapi kenapa Bapak dan Ibu bertanya seperti itu?” Lisa menoleh dan menatap bergantian pada pak Ishak dan bu Ishak.“Ada kaitan apa Aruna dengan perusahaan besar itu?” lanjutnya.“Anak tiri kamu itu penyebab kebangkrutan kami!” Bukannya menjawab pertanyaan Lisa, bu Ishak kembali menyalahkan dengan berapi-api.“Hah? Ba-bangkrut? Siapa?” Lisa kian tidak mengerti.“Kami menyinggung Aruna lalu seseorang membelanya. Kami tidak tahu bahwa orang yang membela Aruna itu ternyata ada hubungannya dengan Dananjaya Group. Sepertinya orang yang berkuasa.” Pak Ishak mengambil alih dalam menjelaskan.“Apa?!”“Keesokan harinya semua investor menarik dana investasinya dari kami. Lalu buruh-buruh melakukan mogok kerja dan menuntut gaji dan tunjangan mereka. Harga saham anjlok..”“Kami habis!” Bu Ishak menyela suaminya. Kedua tangannya m
Itu adalah pagi berikutnya ketika Aruna telah berada di kediaman Brahmana jauh lebih awal. Aruna telah mengetahui jadwal sarapan Brahmana dari bu Ima dan kini ia ada di pantri membuatkan sarapan khusus untuk Brahmana sebagai permintaan maaf tulus darinya. Ia membuat chicken cream soup dengan isi perpaduan yang imbang dan ia buat sebaik dan sehati-hati mungkin. Meskipun ia sadar, bahwa apa yang ia buat itu mungkin tidak berada dalam standar selera seorang Brahmana, namun ia berusaha mengungkapkan permintaan maaf tulusnya melalui makanan yang ia buat. Tepat setelah Aruna menata mangkuk beserta sendoknya ke atas meja makan, suara ketukan sepatu beradu lantai, terdengar memasuki ruang makan. Brahmana dengan setelan jas buatan tangan yang dipesan khusus dari luar, terlihat begitu gagah dan menawan. Aruna menatap sekian saat sebelum ia menunduk lalu mundur dari meja makan saat Brahmana melangkah mendekat. “Kamu datang pagi sekali?” tegur Brahmana mengagetkan Aruna. Semula ia berpikir
“Aku sungguh benci Aruna, Bu! Kenapa dia selalu mengalahkanku dalam segala hal!” “Diamlah, Fer. Ibu pusing!” sentak Lisa lalu memijat kepalanya yang terasa berat dan leher yang terasa kaku dan tegang. Tekanan darahnya naik dan membuat Lisa harus berbaring sejak kemarin. Jangankan berharap Ferliana mengurusi dirinya yang tengah tidak sehat ini, ia malah harus terus mendengar rengekan Ferliana yang sudah beberapa hari ini uring-uringan. Lisa menghela napas kesal. Ia hampir kehilangan mood atas segala hal. Otaknya pun serasa menolak bekerja sama, karena hingga saat ini, ia sungguh-sungguh tidak bisa berpikir dan menentukan harus melakukan apa. Sejak kedatangan keluarga Ishak yang membeberkan bahwa mereka telah bangkrut, Lisa langsung lemas dan seakan kehilangan arah. Ia sungguh-sungguh terkejut mendengar bahwa keluarga Ishak telah jatuh. Ia memang tidak mengikuti berita dan hanya terfokus menjual barang-barang berharga mereka untuk bertahan hidup dua minggu belakangan itu. Karena
“Fathan.” Suara dalam dan berwibawa khas milik Brahmana terdengar di ruangan kerja besar itu. Fathan menggeser pandangannya dari ipad di tangan, kini ke arah sang CEO dan menunggu Brahmana meneruskan kalimatnya. “Periksa sejak kapan perpindahan ini terjadi,” ujar Brahmana lalu menarik satu berkas dan menyodorkannya di hadapan Fathan. Dengan sigap, Fathan mengambil berkas itu dan memperhatikannya seksama. “Ini hanya selisih lima hari dari perpindahan terakhir. Meskipun dari pemilik yang berbeda, tapi saya temukan tiga kali dengan selang lebih dari tiga hari terjadi perpindahan saham.” “Semuanya ditujukan pada akun berbeda, Tuan,” jawab Fathan sesaat setelah ia mengecek data di dalam ipad di tangannya. “Periksa keterkaitan antar akun tersebut,” perintah Brahmana. “Apapun. Cari yang bisa dijadikan penghubung ketiganya.” “Baik, Tuan.” Fathan mengangguk. “Periksa juga ketiga pemilik yang melakukan pengalihan tersebut.” “Baik, Tuan.” Meski tanpa dijelaskan lebih detil oleh Brahmana,
Brahmana tertegun menangkap pemandangan tak sengaja di hadapannya, hingga ia terlupa untuk memutar tubuh. Jakunnya bergerak naik turun saat meneguk kasar saliva-nya. Ia mendapati dirinya tidak bisa untuk tidak mengagumi sosok indah dan menakjubkan yang tertangkap kedua netra miliknya itu. “Aah!!” pekik histeris Aruna saat berbalik dan menyadari bahwa seorang pria telah berdiri di ambang pintu kamar mandi. “Nga-ngapain Bapak di sini?!” Dengan panik Aruna melempar hairdryer di tangannya dan menyambar bathrobe yang tergantung tak jauh dari ia berdiri untuk menutupi tubuh atasnya. “Ngapain? Ini kamar mandi saya. Kamu yang ngapain di sini?” “A--” Aruna menoleh sekeliling lalu mengutuk dirinya sendiri yang terlupa. “Ber-berbalik Pak!” “Sudah,” jawab ringan Brahmana sambil memutar tubuhnya ke belakang. “Cepat kamu pakai dan keluar dari kamar mandi saya.” “I-iya Pak.” Tergesa-gesa Aruna mengenakan kemejanya yang masih setengah basah itu. Ia tak peduli lagi atas ketidaknyamanan tubuhny
“Kita langsung pulang, Pak?” tanya Fathan yang berada di sisi supir untuk mengawal sang Bos Besar. Meeting tadi merupakan penutup pekerjaan di hari ini. Jam telah menunjukkan angka sepuluh dengan jarum panjang di angka dua, malam hari. Mobil yang ditumpangi mereka meluncur dengan mulus dan tenang, melewati jalan raya yang masih terlihat cukup ramai. Lampu-lampu penerangan yang begitu terang dan tak pernah padam, mengesankan ketiadaan cahaya matahari bukanlah penghalang bagi penduduk metropolitan untuk tetap berkegiatan. Namun situasi itu tidak lagi tampak, saat mereka mulai memasuki kawasan komersial yang terbilang sepi. Mobil masih meluncur dengan mulus, ketika Brahmana menaikkan pandangan dan melemparnya ke jalan. Alisnya menurun, tatkala ia melihat satu sosok yang sangat familiar. Sosok yang sepanjang rapat tadi memenuhi pikirannya. “Hentikan mobilnya!” seru Brahmana. Supir dengan patuh menepikan mobil, sesuai perintah majikannya. Segera setelahnya, Brahmana gegas membuka
“Apa mereka melukaimu?” Aruna menggeleng lemah. Kepalanya tertunduk dalam. Setelah beberapa menit berlalu di dalam mobil itu, tubuh dan pikirannya mulai selaras. Kini ia tenggelam dalam rasa syukur atas dirinya yang selamat dan baik-baik saja, sekaligus merasa malu terlihat kacau oleh Brahmana. “Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Seharusnya kau serahkan saja tas itu,” ujar Brahmana. “Tidak sebanding dengan keselamatanmu.” Aruna menggelengkan kepalanya lagi. Kini, disertai jawaban. “Ada barang penting di dalam tas saya, Pak. Saya tidak bisa menyerahkannya begitu saja.” “Barang penting apa yang sebanding dengan nyawamu? KTP? ATM? Semua bisa dibuat ulang. Uang?” “Obat, Pak,” sergah Aruna cepat, namun dengan nada suara yang masih lemah. Sekilas ia menaikkan pandangannya pada sang Bos. “Obat?” Kedua alis Brahmana menurun. “Obat ayah saya Pak. Saya lalai tidak membelinya beberapa hari lalu, besok pagi ayah harus
“Ah, kau datang juga,” ujar Ferliana sedikit ketus.Matanya menatap wanita berambut sebahu dengan ikal menggantung. Wanita itu menarik kursi di depan Ferliana dan duduk dengan anggun.“Kamu yang butuh ketemu aku, kenapa kamu membuatku menunggu,” protes Ferliana lagi.Wanita itu tidak segera menjawab.Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala menyunggingkan senyum dan dengan gerakan gemulai, ia melepas kacamata hitamnya.“Bukan aku saja yang butuh. Aku tahu kamu pun butuh.”Kalimat jawaban wanita itu membuat Ferliana mengernyitkan kening tak suka.“Jangan kesal,” tukas wanita itu. Ia lalu melirik meja. “Kamu belum pesan apa-apa?” tanyanya.“Belumlah. Nunggu kamu. Aku ngga mau pesan apapun, memastikan kamu datang dulu. Kamu yang harus bayar semua tagihan di sini,” jawab Ferliana dengan gamblang.Tentu saja ia tidak akan buang-buang waktu, apalagi buang uang untuk kepentingan orang lain.“Gak masalah. Pesanlah yang kamu mau, aku yang bayar,” jawab wanita itu santai. Tangan kanannya ter