“Apa mereka melukaimu?”
Aruna menggeleng lemah. Kepalanya tertunduk dalam.
Setelah beberapa menit berlalu di dalam mobil itu, tubuh dan pikirannya mulai selaras.
Kini ia tenggelam dalam rasa syukur atas dirinya yang selamat dan baik-baik saja, sekaligus merasa malu terlihat kacau oleh Brahmana.
“Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Seharusnya kau serahkan saja tas itu,” ujar Brahmana. “Tidak sebanding dengan keselamatanmu.”
Aruna menggelengkan kepalanya lagi. Kini, disertai jawaban. “Ada barang penting di dalam tas saya, Pak. Saya tidak bisa menyerahkannya begitu saja.”
“Barang penting apa yang sebanding dengan nyawamu? KTP? ATM? Semua bisa dibuat ulang. Uang?”
“Obat, Pak,” sergah Aruna cepat, namun dengan nada suara yang masih lemah. Sekilas ia menaikkan pandangannya pada sang Bos.
“Obat?” Kedua alis Brahmana menurun.
“Obat ayah saya Pak. Saya lalai tidak membelinya beberapa hari lalu, besok pagi ayah harus
“Ah, kau datang juga,” ujar Ferliana sedikit ketus.Matanya menatap wanita berambut sebahu dengan ikal menggantung. Wanita itu menarik kursi di depan Ferliana dan duduk dengan anggun.“Kamu yang butuh ketemu aku, kenapa kamu membuatku menunggu,” protes Ferliana lagi.Wanita itu tidak segera menjawab.Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala menyunggingkan senyum dan dengan gerakan gemulai, ia melepas kacamata hitamnya.“Bukan aku saja yang butuh. Aku tahu kamu pun butuh.”Kalimat jawaban wanita itu membuat Ferliana mengernyitkan kening tak suka.“Jangan kesal,” tukas wanita itu. Ia lalu melirik meja. “Kamu belum pesan apa-apa?” tanyanya.“Belumlah. Nunggu kamu. Aku ngga mau pesan apapun, memastikan kamu datang dulu. Kamu yang harus bayar semua tagihan di sini,” jawab Ferliana dengan gamblang.Tentu saja ia tidak akan buang-buang waktu, apalagi buang uang untuk kepentingan orang lain.“Gak masalah. Pesanlah yang kamu mau, aku yang bayar,” jawab wanita itu santai. Tangan kanannya ter
“Ini… tidak salah, Mas?” Jemari tangan Aruna gemetar.Kedua matanya menatap lembaran yang ia genggam dengan erat.“Tidak salah,” jawab Fathan tenang. “Kau bisa membawa ayahmu segera ke sana.”“Aku… Tapi… Masa kerjaku bahkan belum sampai seperti yang disyaratkan dalam kontrak.. Aku.. aku belum merasa berhasil membuat Mai…” Aruna menghentikan kalimatnya yang diucapkan terbata.Ini hanya selang dua hari setelah insiden malam hari itu.Dimana Brahmana menyelamatkan dirinya dari gangguan dua berandal yang menghadang dan berniat merampok dirinya.Ia sudah cukup berterima kasih karena hal itu.Meskipun ia sempat merasa malu karena besar kepala menganggap ayah Maira itu mengkhawatirkan dirinya, namun rasa bersyukur karena terselamatkan, jelas ada.Tidak pernah terbayangkan oleh dirinya, bahwa ternyata Brahmana menyiapkan perawatan khusus bagi ayahnya, di sebuah
Bagaikan mimpi, Aruna kini berada di Rumah Sakit ditemani Shanti dan tentu saja Fathan yang mengawal untuk memastikan prosedur pemindahan Erwin ke Rumah Sakit berjalan dengan baik.Aruna yang juga telah memberitahukan sang ayah bahwa hari ini akan mendapatkan perawatan intensif, terus mendampingi dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.Shanti menepuk bahu Aruna dan ikut tersenyum senang berikut lega, karena melihat ayah sahabatnya akhirnya bisa mendapatkan perawatan medis yang benar.“Syukurlah Om, akhirnya om bisa dirawat di Rumah Sakit…” Shanti setengah bergumam memegangi tangan Erwin.Erwin menatap Shanti lalu beralih pada Aruna secara bergantian.“Errrhh…”“Kenapa Om?” tanya Shanti. Ia lalu mengikuti arah tatapan Erwin ke arah Aruna. “Oh, Aruna kenapa nangis, ya?” Shanti lalu menyenggol lengan Aruna dengan sikunya.“Ngga Yah, Runa gak nangis. Ini kelilipan debu ta
“Ya ampun, Diya!” Aruna memekik tertahan.“Lagi cari sesuatu?” Pria itu tak menghiraukan kekagetan Aruna dan tetap memasang senyum manisnya.Aruna mengangguk. “Yah, harusnya sih aku membeli sesuatu. Tapi… entahlah,” desahnya terdengar putus asa.“Buat siapa?”“Emm.. buat tanda terima kasih aja,” jawab Aruna ringan.Ia bukannya tidak mendengar dengan baik pertanyaan Ardiya yang bertanya “buat siapa” bukan “buat apa”. Tapi Aruna tidak merasa perlu untuk seterbuka itu pada pria ini.“Hm…” Ardiya memberi respon. Ia paham Aruna enggan memberinya keterangan lebih jelas.“Betewe, kamu tuh dah kaya hantu aja deh!” sungut Aruna. “Tiba-tiba muncul, tanpa tanda, tanpa peringatan. Bikin kaget aku aja.”Ardiya terkekeh. “Aku memang ingin menghantui kamu, Aruna. Nagih kopi.”Aruna menggeleng tak percaya. “Gigih bener.”“Itu nama tengahku.”“Oh ya?” Aruna mengetukkan telunjuk ke dagunya. “Jadi namamu Ardiya Gigih Bener? Nama belakangnya apa?”Kontan saja Ardiya tergelak. Ia merasa geli sendiri mende
“Maaf, Bu.. Saya tidak se--” “Kurang ajar! Wanita tidak tahu etika! Kamu pikir kamu siapa? Lancang memanggil saya Bu??” Aruna tertegun berhadapan dengan seorang wanita di pertengahan lima puluh berpostur tubuh cukup tinggi dengan kulit bersih terawat. Rambut keritingnya tertata rapi dengan bagian depan di sasak agak tinggi, khas ibu-ibu pejabat. Wajahnya juga cukup cantik, terpoles make-up dengan baik dan terbilang masih sangat kencang untuk ukuran usianya. Dari ujung atas hingga bawah kakinya, menyatakan dirinya ‘mahal’. Logo merek ternama tercetak jelas di tas tangan juga busana yang wanita itu gunakan. Mungkin jika wanita itu tidak membuka mulutnya, Aruna akan menyangka telah bertemu keturunan bangsawan. Sayang sekali, kalimat dan nada angkuh yang terlontar dari mulut wanita itu, memberikan bayangan pada Aruna bahwa wanita itu hanyalah satu dari sekian orang kaya baru. Atau tipe orang-orang tak siap kaya. Versi bu Ishak lainnya, hanya saja yang ini terkesan lebih elegan dari
“Duduk dulu Bi.” Brahmana jelas terlihat tidak terpengaruh dengan emosi meledak-ledak wanita itu. “Jangan berbasa basi! Aku tidak datang untuk itu! Buka kembali semua akses kartuku, atau--” “Atau apa, Bi?” Kilatan tajam dari netra kelam Brahmana menghentikan apapun itu yang akan dikatakan wanita di depannya. “Kamu tidak bisa melakukan ini! Itu adalah fasilitas yang diberikan Tuan Besar untukku! Jangan menjadi anak tidak tahu diri, Brahmana Agha Dananjaya!” Meskipun sempat terlihat merasa takut atas tatapan tajam Brahmana, wanita itu tidak menyerah. “Bibi benar. Itu fasilitas yang diberikan kakek untuk Bibi,” kata Brahmana. “Lalu kenapa--” “Atas persetujuan saya,” imbuh Brahmana memotong kalimat wanita itu. “Penggunaan semua fasilitas itu adalah atas persetujuan saya. Hanya mengingatkan kalau kau lupa, Bi.” “Kamu--” Suara wanita itu tercekat. Dadanya naik turun, berusaha menahan gejolak amarah yang masih meluap. Namun wanita itu menyadari, Brahmana tidak akan goyah hanya karena
Aruna bergerak gelisah di kamar kontrakan.Ia kini seorang diri dalam rumah yang semula dihuni oleh dirinya juga sang ayah.Rasa sepi itu memang menderanya.Aruna menarik napas dan mengembus kasar berulang kali.Setelah beberapa saat ia bangkit dari kasur berukuran kecil miliknya. Ia bersalin, membenahi sedikit dirinya, menyambar tas selempang, kemudian keluar rumah.Membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapai Rumah Sakit tempat ayahnya dirawat.Aruna langsung menuju kamar tempat ayahnya dirawat.Disaat seperti ini pula, ia mengagumi kekuasaan seorang Brahmana.Semua seakan diatur, agar dirinya bebas keluar masuk ke ruang perawatan, sementara Rumah Sakit ini terkenal dengan peraturannya yang ketat bagi para pengunjung.Tidak diberikannya keleluasaan bagi para pengunjung untuk membesuk pasien yang dirawat, menjadi hal yang diperhatikan pihak Rumah Sakit demi kenyamanan pasien mereka sendiri.Begitu p
Wanita muda itu, Ferliana, berdiri dengan kedua tangan mengepal erat. Matanya terhunus tajam pada Julian yang masih duduk, beberapa langkah dari Ferliana berdiri.“Kau tahu tempat tinggal Aruna?!” Ferliana bergerak mendekati Julian duduk. “Kau tahu dan kau tidak bilang pada kami?! Kenapa kak Jul?!!” pekik Ferliana.“Ferli! Tenanglah! Ini di kantor!” Julian menahan suaranya. Ia melihat ke kanan dan kiri, untung bagi Julian, jam makan siang telah lewat dan di kantin sudah tidak terlalu ramai.“Jawab aku, kak Jul! Kau tahu tempat cewek sialan itu tinggal?!” Wajah Ferliana terlihat memerah menahan amarah. Kedua matanya menatap tajam ke arah Julian dengan pandangan menuntut jawaban.“Dia kakakmu, bagaimana kau menyebutnya seperti itu?”“Kenapa? Kau masih punya perasaan padanya? Iya?!”“Ferliana, diamlah. Tenang! Kita bicara di kantorku,” ujar Julian sembari hendak