“Maaf, Bu.. Saya tidak se--” “Kurang ajar! Wanita tidak tahu etika! Kamu pikir kamu siapa? Lancang memanggil saya Bu??” Aruna tertegun berhadapan dengan seorang wanita di pertengahan lima puluh berpostur tubuh cukup tinggi dengan kulit bersih terawat. Rambut keritingnya tertata rapi dengan bagian depan di sasak agak tinggi, khas ibu-ibu pejabat. Wajahnya juga cukup cantik, terpoles make-up dengan baik dan terbilang masih sangat kencang untuk ukuran usianya. Dari ujung atas hingga bawah kakinya, menyatakan dirinya ‘mahal’. Logo merek ternama tercetak jelas di tas tangan juga busana yang wanita itu gunakan. Mungkin jika wanita itu tidak membuka mulutnya, Aruna akan menyangka telah bertemu keturunan bangsawan. Sayang sekali, kalimat dan nada angkuh yang terlontar dari mulut wanita itu, memberikan bayangan pada Aruna bahwa wanita itu hanyalah satu dari sekian orang kaya baru. Atau tipe orang-orang tak siap kaya. Versi bu Ishak lainnya, hanya saja yang ini terkesan lebih elegan dari
“Duduk dulu Bi.” Brahmana jelas terlihat tidak terpengaruh dengan emosi meledak-ledak wanita itu. “Jangan berbasa basi! Aku tidak datang untuk itu! Buka kembali semua akses kartuku, atau--” “Atau apa, Bi?” Kilatan tajam dari netra kelam Brahmana menghentikan apapun itu yang akan dikatakan wanita di depannya. “Kamu tidak bisa melakukan ini! Itu adalah fasilitas yang diberikan Tuan Besar untukku! Jangan menjadi anak tidak tahu diri, Brahmana Agha Dananjaya!” Meskipun sempat terlihat merasa takut atas tatapan tajam Brahmana, wanita itu tidak menyerah. “Bibi benar. Itu fasilitas yang diberikan kakek untuk Bibi,” kata Brahmana. “Lalu kenapa--” “Atas persetujuan saya,” imbuh Brahmana memotong kalimat wanita itu. “Penggunaan semua fasilitas itu adalah atas persetujuan saya. Hanya mengingatkan kalau kau lupa, Bi.” “Kamu--” Suara wanita itu tercekat. Dadanya naik turun, berusaha menahan gejolak amarah yang masih meluap. Namun wanita itu menyadari, Brahmana tidak akan goyah hanya karena
Aruna bergerak gelisah di kamar kontrakan.Ia kini seorang diri dalam rumah yang semula dihuni oleh dirinya juga sang ayah.Rasa sepi itu memang menderanya.Aruna menarik napas dan mengembus kasar berulang kali.Setelah beberapa saat ia bangkit dari kasur berukuran kecil miliknya. Ia bersalin, membenahi sedikit dirinya, menyambar tas selempang, kemudian keluar rumah.Membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapai Rumah Sakit tempat ayahnya dirawat.Aruna langsung menuju kamar tempat ayahnya dirawat.Disaat seperti ini pula, ia mengagumi kekuasaan seorang Brahmana.Semua seakan diatur, agar dirinya bebas keluar masuk ke ruang perawatan, sementara Rumah Sakit ini terkenal dengan peraturannya yang ketat bagi para pengunjung.Tidak diberikannya keleluasaan bagi para pengunjung untuk membesuk pasien yang dirawat, menjadi hal yang diperhatikan pihak Rumah Sakit demi kenyamanan pasien mereka sendiri.Begitu p
Wanita muda itu, Ferliana, berdiri dengan kedua tangan mengepal erat. Matanya terhunus tajam pada Julian yang masih duduk, beberapa langkah dari Ferliana berdiri.“Kau tahu tempat tinggal Aruna?!” Ferliana bergerak mendekati Julian duduk. “Kau tahu dan kau tidak bilang pada kami?! Kenapa kak Jul?!!” pekik Ferliana.“Ferli! Tenanglah! Ini di kantor!” Julian menahan suaranya. Ia melihat ke kanan dan kiri, untung bagi Julian, jam makan siang telah lewat dan di kantin sudah tidak terlalu ramai.“Jawab aku, kak Jul! Kau tahu tempat cewek sialan itu tinggal?!” Wajah Ferliana terlihat memerah menahan amarah. Kedua matanya menatap tajam ke arah Julian dengan pandangan menuntut jawaban.“Dia kakakmu, bagaimana kau menyebutnya seperti itu?”“Kenapa? Kau masih punya perasaan padanya? Iya?!”“Ferliana, diamlah. Tenang! Kita bicara di kantorku,” ujar Julian sembari hendak
“Kondisi Pak Erwin paralisis parsial, mengalami jenis kelumpuhan Paraplegia. Ini masih bisa ditangani dengan sejumlah operasi kemudian dilanjut dengan terapi-terapi secara rutin.” Fathan mengambil napas sejenak. Lalu ia melanjutkan. “Beliau tidak pernah mengalami gangguan syaraf sebelumnya, kelumpuhan ini besar diakibatkan dari trauma paska kecelakaan.” “Kelumpuhan ayah Aruna karena kecelakaan?” Brahmana menyipitkan matanya. Fathan mengangguk. “Betul, Tuan. Dalam laporan sudah tertera penyebab kelumpuhan itu. Tapi saya hanya menitikberatkan laporan rekam medis beliau saja. Apa Tuan ingin laporan mendetil tentang penyebab kelumpuhannya juga?” “Tidak. Tidak perlu,” tukas Brahmana. Ia meletakkan pena lalu memundurkan tubuh untuk bersandar. “Apa kondisinya bisa dipastikan normal kembali setelah operasi?” “Masalah itu, dokter sendiri belum bisa menjamin seratus persen. Pak Erwin harus menjalankan serangkaian tes lebih dahulu,” jawab Fathan cepat. “Aruna sudah tahu?” “Sudah Tuan. Say
Setelah pertemuannya dengan Julian kemarin lusa, Ferliana telah mendapatkan alamat Aruna. Namun setelah pemikiran beberapa saat, ia tidak ingin gegabah melakukan sesuatu. Ia pun menghubungi Rani dan memintanya bertemu di suatu tempat. Tempat yang mereka sepakati adalah salah satu restoran mewah di kota. Ketika Rani menyerahkan soal lokasi pertemuan mereka pada Ferliana dan menyebutkan akan membayar tagihan mereka, Ferliana buru-buru menentukan restoran ini sebagai tempat pertemuan mereka. Ferliana melangkah ringan dengan senyum cerah di wajahnya ketika matanya menangkap sesuatu yang menarik di depan pintu masuk restoran. Seorang pria yang akhir-akhir ini menjadi pusat dari rencana dirinya dan ibunya, ada di depan sana. Pria menawan itu tengah menerima telepon. Wajahnya yang tanpa senyum, bisa diartikan ia tengah berbicara hal cukup penting dengan lawan bicara di ujung telepon sana. Namun Ferliana bukanlah wanita muda yang cukup peka terhadap hal-hal semacam itu. Ia hanya melihat
Beberapa hari berlalu dengan cukup tenang, namun tidak dengan hari ini. Hari Jumat yang membuat Aruna cukup gelisah. Sudah sejak beberapa jam lalu ia membolak-balik buku resep yang kemarin ia beli. Masih bingung menentukan masakan apa yang ingin ia sajikan malam ini untuk Maira dan Brahmana. Aruna sudah mengatakan akan melaksanakan permintaan Brahmana malam ini. “Kak Una, masih bingung ya?” Maira bertanya dengan kepala dimiringkan ke kanan. Pipi kanannya yang gembil sedikit tertekan oleh tangan yang menopang pipi itu, menimbulkan kesan yang benar-benar menggemaskan. “Emm… Ya.” Tanpa mengalihkan pandangannya pada lembar demi lembar buku resep itu, Aruna menjawab. “Kenapa kak Una gak bikin makanan kesukaan kak Una aja?” Aruna terhenti. Kepalanya terangkat dan menurunkan tatapannya pada gadis kecil di hadapannya. “Makanan kesukaan kak Una?” ucap Aruna membeo. “Iyaa.. Mai juga pengen tau makanan favorit kak Una.” Maira mengerjapkan kedua mata bulat dan besarnya. “Ayah juga pasti
Brahmana memandangi hidangan yang tersaji di atas meja makan. Satu wadah berisi potongan ayam dan irisan bawang bombay yang telah berwarna kecoklatan juga sedikit kuah berwarna sama. Aroma yang menguar dari hidangan itu benar-benar menggugah selera. Sementara satu wadah lain memuat potongan berwarna sayuran hijau dengan merah dan kuning yang ditata cantik dan juga menguarkan aroma harum. “Hanya dua macam?” Brahmana bergumam pelan. “Iya Pak. Tapi dua macam ini pun sudah memenuhi syarat kok,” jawab Aruna sambil tersenyum. “Ayam kecap itu sudah memenuhi kebutuhan untuk protein hewani. Lalu cah brokoli dan paprika itu, memenuhi vitamin dan mineral, juga protein nabati karena saya tambahkan potongan tofu di sana.” “Ini cantik Kak!” seru Maira tak henti mengagumi hidangan di depannya. Senyum Aruna kian terkembang saat mendengarnya. Aruna sungguh tahu, Maira bukan memuji karena hidangan itu terlihat benar-benar cantik. Aruna bukanlah koki profesional yang memang mendalami bidang k