Aruna bergerak gelisah di kamar kontrakan.
Ia kini seorang diri dalam rumah yang semula dihuni oleh dirinya juga sang ayah.
Rasa sepi itu memang menderanya.
Aruna menarik napas dan mengembus kasar berulang kali.
Setelah beberapa saat ia bangkit dari kasur berukuran kecil miliknya. Ia bersalin, membenahi sedikit dirinya, menyambar tas selempang, kemudian keluar rumah.
Membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapai Rumah Sakit tempat ayahnya dirawat.
Aruna langsung menuju kamar tempat ayahnya dirawat.
Disaat seperti ini pula, ia mengagumi kekuasaan seorang Brahmana.
Semua seakan diatur, agar dirinya bebas keluar masuk ke ruang perawatan, sementara Rumah Sakit ini terkenal dengan peraturannya yang ketat bagi para pengunjung.
Tidak diberikannya keleluasaan bagi para pengunjung untuk membesuk pasien yang dirawat, menjadi hal yang diperhatikan pihak Rumah Sakit demi kenyamanan pasien mereka sendiri.
Begitu p
Wanita muda itu, Ferliana, berdiri dengan kedua tangan mengepal erat. Matanya terhunus tajam pada Julian yang masih duduk, beberapa langkah dari Ferliana berdiri.“Kau tahu tempat tinggal Aruna?!” Ferliana bergerak mendekati Julian duduk. “Kau tahu dan kau tidak bilang pada kami?! Kenapa kak Jul?!!” pekik Ferliana.“Ferli! Tenanglah! Ini di kantor!” Julian menahan suaranya. Ia melihat ke kanan dan kiri, untung bagi Julian, jam makan siang telah lewat dan di kantin sudah tidak terlalu ramai.“Jawab aku, kak Jul! Kau tahu tempat cewek sialan itu tinggal?!” Wajah Ferliana terlihat memerah menahan amarah. Kedua matanya menatap tajam ke arah Julian dengan pandangan menuntut jawaban.“Dia kakakmu, bagaimana kau menyebutnya seperti itu?”“Kenapa? Kau masih punya perasaan padanya? Iya?!”“Ferliana, diamlah. Tenang! Kita bicara di kantorku,” ujar Julian sembari hendak
“Kondisi Pak Erwin paralisis parsial, mengalami jenis kelumpuhan Paraplegia. Ini masih bisa ditangani dengan sejumlah operasi kemudian dilanjut dengan terapi-terapi secara rutin.” Fathan mengambil napas sejenak. Lalu ia melanjutkan. “Beliau tidak pernah mengalami gangguan syaraf sebelumnya, kelumpuhan ini besar diakibatkan dari trauma paska kecelakaan.” “Kelumpuhan ayah Aruna karena kecelakaan?” Brahmana menyipitkan matanya. Fathan mengangguk. “Betul, Tuan. Dalam laporan sudah tertera penyebab kelumpuhan itu. Tapi saya hanya menitikberatkan laporan rekam medis beliau saja. Apa Tuan ingin laporan mendetil tentang penyebab kelumpuhannya juga?” “Tidak. Tidak perlu,” tukas Brahmana. Ia meletakkan pena lalu memundurkan tubuh untuk bersandar. “Apa kondisinya bisa dipastikan normal kembali setelah operasi?” “Masalah itu, dokter sendiri belum bisa menjamin seratus persen. Pak Erwin harus menjalankan serangkaian tes lebih dahulu,” jawab Fathan cepat. “Aruna sudah tahu?” “Sudah Tuan. Say
Setelah pertemuannya dengan Julian kemarin lusa, Ferliana telah mendapatkan alamat Aruna. Namun setelah pemikiran beberapa saat, ia tidak ingin gegabah melakukan sesuatu. Ia pun menghubungi Rani dan memintanya bertemu di suatu tempat. Tempat yang mereka sepakati adalah salah satu restoran mewah di kota. Ketika Rani menyerahkan soal lokasi pertemuan mereka pada Ferliana dan menyebutkan akan membayar tagihan mereka, Ferliana buru-buru menentukan restoran ini sebagai tempat pertemuan mereka. Ferliana melangkah ringan dengan senyum cerah di wajahnya ketika matanya menangkap sesuatu yang menarik di depan pintu masuk restoran. Seorang pria yang akhir-akhir ini menjadi pusat dari rencana dirinya dan ibunya, ada di depan sana. Pria menawan itu tengah menerima telepon. Wajahnya yang tanpa senyum, bisa diartikan ia tengah berbicara hal cukup penting dengan lawan bicara di ujung telepon sana. Namun Ferliana bukanlah wanita muda yang cukup peka terhadap hal-hal semacam itu. Ia hanya melihat
Beberapa hari berlalu dengan cukup tenang, namun tidak dengan hari ini. Hari Jumat yang membuat Aruna cukup gelisah. Sudah sejak beberapa jam lalu ia membolak-balik buku resep yang kemarin ia beli. Masih bingung menentukan masakan apa yang ingin ia sajikan malam ini untuk Maira dan Brahmana. Aruna sudah mengatakan akan melaksanakan permintaan Brahmana malam ini. “Kak Una, masih bingung ya?” Maira bertanya dengan kepala dimiringkan ke kanan. Pipi kanannya yang gembil sedikit tertekan oleh tangan yang menopang pipi itu, menimbulkan kesan yang benar-benar menggemaskan. “Emm… Ya.” Tanpa mengalihkan pandangannya pada lembar demi lembar buku resep itu, Aruna menjawab. “Kenapa kak Una gak bikin makanan kesukaan kak Una aja?” Aruna terhenti. Kepalanya terangkat dan menurunkan tatapannya pada gadis kecil di hadapannya. “Makanan kesukaan kak Una?” ucap Aruna membeo. “Iyaa.. Mai juga pengen tau makanan favorit kak Una.” Maira mengerjapkan kedua mata bulat dan besarnya. “Ayah juga pasti
Brahmana memandangi hidangan yang tersaji di atas meja makan. Satu wadah berisi potongan ayam dan irisan bawang bombay yang telah berwarna kecoklatan juga sedikit kuah berwarna sama. Aroma yang menguar dari hidangan itu benar-benar menggugah selera. Sementara satu wadah lain memuat potongan berwarna sayuran hijau dengan merah dan kuning yang ditata cantik dan juga menguarkan aroma harum. “Hanya dua macam?” Brahmana bergumam pelan. “Iya Pak. Tapi dua macam ini pun sudah memenuhi syarat kok,” jawab Aruna sambil tersenyum. “Ayam kecap itu sudah memenuhi kebutuhan untuk protein hewani. Lalu cah brokoli dan paprika itu, memenuhi vitamin dan mineral, juga protein nabati karena saya tambahkan potongan tofu di sana.” “Ini cantik Kak!” seru Maira tak henti mengagumi hidangan di depannya. Senyum Aruna kian terkembang saat mendengarnya. Aruna sungguh tahu, Maira bukan memuji karena hidangan itu terlihat benar-benar cantik. Aruna bukanlah koki profesional yang memang mendalami bidang k
“Berikan saya riwayat hidup Aruna,” ujar Brahmana sambil menggenggam ponsel yang menempel di telinga kanannya. ‘Riwayat hidup nona Aruna, Tuan?’ “Apa saya harus mengulang perkataan?” ‘Maaf Tuan. Baik. Tuan butuh segera?’ Fathan --di seberang telepon-- bertanya untuk memastikan. “Tidak terlalu mendesak. Tapi lebih cepat lebih baik,” kata Brahmana. “Dan Fathan, saya butuh yang detil dan jelas. Laporan kamu di awal waktu itu, hanya menyebutkan ibunya sebagai pelanggan Allioppe Co. Kamu tidak menyebutkan itu bukan ibu kandungnya.” Fathan di ujung telepon kesusahan menelan ludah. Ia tidak akan pernah mengira, bahwa informasi itu akan dibutuhkan Bos-nya. Saat itu Bos-nya itu hanya meminta Fathan menemukan wanita yang diinginkan Maira. Dan menekankan hanya fokus pada pencarian itu. ‘Akan segera saya lengkapi laporannya, Tuan.’ Fathan segera memberikan kalimat yang diinginkan sang Bos. Brahmana menutup sambungan sepihak, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang. Kedua alisnya sedikit
“Ju-Julian!” Aruna merasakan kedua tungkai kakinya yang lemas.Terseok ia bergerak mundur secara spontan, menjauhi Julian yang melangkah kian mendekat.“Apa ma-maksudmu! Kamu mau ngapain?!” Seruan Aruna sama sekali tidak digubris oleh Julian.Mata laki-laki itu menyala dengan amarah dan nafsu yang membuncah.“Apa salahnya, aku mencicipimu juga? Bertahun-tahun kita dulu pacaran, aku selalu menahan diri karena kupikir kamu wanita baik-baik yang juga menjaga diri!”“Julian!”“Apa?! Aku benar, kan? Kamu menjual dirimu dan memberi kepuasan untuk para lelaki hidung belang?!” Julian kini tepat berada di depan Aruna. “Dan itu dilakukan sejak kamu SMA!”PLAK!!Wajah Julian terpaling ke kanan oleh tamparan kuat tangan Aruna.“Tuduhanmu benar-benar keji! Setan apa yang merasukimu Jul?! Keluar kau dari tempatku!!” pekik Aruna.“Tuduhan k
Tangan Brahmana terkepal kuat hingga membuat buku-buku jarinya memutih, sementara dokter di depannya masih memberikan penjelasan.“Tidak ada luka sayatan atau robek, tapi benturan itu cukup kuat sehingga--”“Berapa kali tadi Anda katakan?” potong Brahmana dengan suara yang dingin.Dokter di depannya menelan ludah.Aura yang menguar dari diri Brahmana begitu mencekam, membuat sang dokter bahkan menjadi sedikit kesulitan bernapas.“Dilihat dari memar di punggungnya, kemungkinan dua hingga tiga kali Nona Aruna di benturkan ke benda keras.”Kedua kelopak mata Brahmana menutup sesaat. Rahangnya mengeras dengan gigi mengatup erat.Ada satu penyesalan bertengger pula dalam hatinya selain rasa panas yang membuatnya begitu geram.Ia menyesali kedatangannya yang cukup terlambat.Saat itu, saat mobilnya telah meluncur meninggalkan Aruna turun di dekat gang itu, Brahmana mendapat panggilan masuk d
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m