Setelah pertemuannya dengan Julian kemarin lusa, Ferliana telah mendapatkan alamat Aruna. Namun setelah pemikiran beberapa saat, ia tidak ingin gegabah melakukan sesuatu. Ia pun menghubungi Rani dan memintanya bertemu di suatu tempat. Tempat yang mereka sepakati adalah salah satu restoran mewah di kota. Ketika Rani menyerahkan soal lokasi pertemuan mereka pada Ferliana dan menyebutkan akan membayar tagihan mereka, Ferliana buru-buru menentukan restoran ini sebagai tempat pertemuan mereka. Ferliana melangkah ringan dengan senyum cerah di wajahnya ketika matanya menangkap sesuatu yang menarik di depan pintu masuk restoran. Seorang pria yang akhir-akhir ini menjadi pusat dari rencana dirinya dan ibunya, ada di depan sana. Pria menawan itu tengah menerima telepon. Wajahnya yang tanpa senyum, bisa diartikan ia tengah berbicara hal cukup penting dengan lawan bicara di ujung telepon sana. Namun Ferliana bukanlah wanita muda yang cukup peka terhadap hal-hal semacam itu. Ia hanya melihat
Beberapa hari berlalu dengan cukup tenang, namun tidak dengan hari ini. Hari Jumat yang membuat Aruna cukup gelisah. Sudah sejak beberapa jam lalu ia membolak-balik buku resep yang kemarin ia beli. Masih bingung menentukan masakan apa yang ingin ia sajikan malam ini untuk Maira dan Brahmana. Aruna sudah mengatakan akan melaksanakan permintaan Brahmana malam ini. “Kak Una, masih bingung ya?” Maira bertanya dengan kepala dimiringkan ke kanan. Pipi kanannya yang gembil sedikit tertekan oleh tangan yang menopang pipi itu, menimbulkan kesan yang benar-benar menggemaskan. “Emm… Ya.” Tanpa mengalihkan pandangannya pada lembar demi lembar buku resep itu, Aruna menjawab. “Kenapa kak Una gak bikin makanan kesukaan kak Una aja?” Aruna terhenti. Kepalanya terangkat dan menurunkan tatapannya pada gadis kecil di hadapannya. “Makanan kesukaan kak Una?” ucap Aruna membeo. “Iyaa.. Mai juga pengen tau makanan favorit kak Una.” Maira mengerjapkan kedua mata bulat dan besarnya. “Ayah juga pasti
Brahmana memandangi hidangan yang tersaji di atas meja makan. Satu wadah berisi potongan ayam dan irisan bawang bombay yang telah berwarna kecoklatan juga sedikit kuah berwarna sama. Aroma yang menguar dari hidangan itu benar-benar menggugah selera. Sementara satu wadah lain memuat potongan berwarna sayuran hijau dengan merah dan kuning yang ditata cantik dan juga menguarkan aroma harum. “Hanya dua macam?” Brahmana bergumam pelan. “Iya Pak. Tapi dua macam ini pun sudah memenuhi syarat kok,” jawab Aruna sambil tersenyum. “Ayam kecap itu sudah memenuhi kebutuhan untuk protein hewani. Lalu cah brokoli dan paprika itu, memenuhi vitamin dan mineral, juga protein nabati karena saya tambahkan potongan tofu di sana.” “Ini cantik Kak!” seru Maira tak henti mengagumi hidangan di depannya. Senyum Aruna kian terkembang saat mendengarnya. Aruna sungguh tahu, Maira bukan memuji karena hidangan itu terlihat benar-benar cantik. Aruna bukanlah koki profesional yang memang mendalami bidang k
“Berikan saya riwayat hidup Aruna,” ujar Brahmana sambil menggenggam ponsel yang menempel di telinga kanannya. ‘Riwayat hidup nona Aruna, Tuan?’ “Apa saya harus mengulang perkataan?” ‘Maaf Tuan. Baik. Tuan butuh segera?’ Fathan --di seberang telepon-- bertanya untuk memastikan. “Tidak terlalu mendesak. Tapi lebih cepat lebih baik,” kata Brahmana. “Dan Fathan, saya butuh yang detil dan jelas. Laporan kamu di awal waktu itu, hanya menyebutkan ibunya sebagai pelanggan Allioppe Co. Kamu tidak menyebutkan itu bukan ibu kandungnya.” Fathan di ujung telepon kesusahan menelan ludah. Ia tidak akan pernah mengira, bahwa informasi itu akan dibutuhkan Bos-nya. Saat itu Bos-nya itu hanya meminta Fathan menemukan wanita yang diinginkan Maira. Dan menekankan hanya fokus pada pencarian itu. ‘Akan segera saya lengkapi laporannya, Tuan.’ Fathan segera memberikan kalimat yang diinginkan sang Bos. Brahmana menutup sambungan sepihak, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang. Kedua alisnya sedikit
“Ju-Julian!” Aruna merasakan kedua tungkai kakinya yang lemas.Terseok ia bergerak mundur secara spontan, menjauhi Julian yang melangkah kian mendekat.“Apa ma-maksudmu! Kamu mau ngapain?!” Seruan Aruna sama sekali tidak digubris oleh Julian.Mata laki-laki itu menyala dengan amarah dan nafsu yang membuncah.“Apa salahnya, aku mencicipimu juga? Bertahun-tahun kita dulu pacaran, aku selalu menahan diri karena kupikir kamu wanita baik-baik yang juga menjaga diri!”“Julian!”“Apa?! Aku benar, kan? Kamu menjual dirimu dan memberi kepuasan untuk para lelaki hidung belang?!” Julian kini tepat berada di depan Aruna. “Dan itu dilakukan sejak kamu SMA!”PLAK!!Wajah Julian terpaling ke kanan oleh tamparan kuat tangan Aruna.“Tuduhanmu benar-benar keji! Setan apa yang merasukimu Jul?! Keluar kau dari tempatku!!” pekik Aruna.“Tuduhan k
Tangan Brahmana terkepal kuat hingga membuat buku-buku jarinya memutih, sementara dokter di depannya masih memberikan penjelasan.“Tidak ada luka sayatan atau robek, tapi benturan itu cukup kuat sehingga--”“Berapa kali tadi Anda katakan?” potong Brahmana dengan suara yang dingin.Dokter di depannya menelan ludah.Aura yang menguar dari diri Brahmana begitu mencekam, membuat sang dokter bahkan menjadi sedikit kesulitan bernapas.“Dilihat dari memar di punggungnya, kemungkinan dua hingga tiga kali Nona Aruna di benturkan ke benda keras.”Kedua kelopak mata Brahmana menutup sesaat. Rahangnya mengeras dengan gigi mengatup erat.Ada satu penyesalan bertengger pula dalam hatinya selain rasa panas yang membuatnya begitu geram.Ia menyesali kedatangannya yang cukup terlambat.Saat itu, saat mobilnya telah meluncur meninggalkan Aruna turun di dekat gang itu, Brahmana mendapat panggilan masuk d
“Bapak beneran CEO Dananjaya?” Jasmine tak menghiraukan pukulan Shanti dan tanpa sadar melangkah maju mendekati Brahmana.Jika dugaan dan apa yang dikatakan Shanti benar, bahwa pria di hadapannya ini adalah sang CEO Dananjaya, berarti ini adalah hari bersejarah bagi seorang Jasmine!Tak ada dalam mimpi terindah mana pun dalam hidup Jasmine, ia akan bisa bertemu muka dengan sosok legenda dunia bisnis, yang jarang sekali tertangkap kamera.Warga negara ini hanya tahu nama keluarga, jabatan, kecemerlangan prestasi dan deretan kekayaannya, namun sangat jarang yang bisa mengetahui nama apalagi rupanya.Karena itu, Jasmine termasuk satu dari sekian ratus juta warga negara ini yang serasa kejatuhan durian runtuh!Jackpot!! Bingo!! Horaay!! Eurekaa!!Dan entah apalagi ungkapan kegirangan yang bisa mewakili perasaannya saat ini.Jasmine menatap tanpa berkedip pria berpostur atletis dan berwangi maskulin serta jantan di depannya.
“Ada apa? Apa yang terjadi dengan Julian? Apa kamu tahu sesuatu, Fer?” Lisa bertanya bingung. Sejak beberapa saat lalu, ia mondar-mandir tak tenang dan beberapa kali tangan kanannya menjambak rambut untuk meringankan kepala yang terasa berat. Ferliana, hanya diam duduk mematung. Kerutan nampak begitu dalam di keningnya, menandakan ia pun tidak memiliki jawaban jelas atas hal yang ditanyakan sang ibu. “Bagaimana bisa dia masuk bui?! Kesalahan apa yang dilakukan Julian? Apa dia korupsi? Apa dia melakukan pelanggaran hukum lainnya? Atau apa?” Lisa berhenti di depan putrinya duduk. “Jawab dong Fer! Jangan diam saja!” “Ya aku gak tahu, Bu!!” Ferliana menyentak kesal. “Kalo aku tahu aku gak akan kebingungan kaya gini!” “Kamu beneran gak tahu apa-apa?” Kedua mata Lisa menyipit. “Beneran, Bu!” Lisa pun mengempas tubuhnya di sebelah Ferliana. “Bagaimana ini…” keluh Lisa. “Dia bahkan dipecat tidak hormat dari kantornya. Rumornya begitu menyebar sampe ke grup arisan.” Ferliana menoleh p