Kata orang, jika ada laki-laki yang mengajakmu berkencan tanpa mengatakan cinta, hanya ada dua kemungkinan, pertama dia terlalu cinta padamu, kedua, dia laki-laki brengsek tak punyak hati. Sepertinya kata-kata ini cukup untuk menggambarkan sosok Ray yang terlalu arogan. Caranya yang cenderung memaksa tak jarang membawa Rahma pada situasi sulit. Meski terkadang di satu sisi bisa bersikap lembut, tetapi pergi dari jerat Rayhan adalah keinginan terbesar Rahma selama ini. Akankah ia benar-benar bisa lepas dari jerat laki-laki itu? Ataukah justru terjebak pada sikap ambigu Ray?
View More“Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah
Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s
“Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad
Two Stories, kafe bergaya terbuka itu ternyata menjadi tujuan akhir Lail. Adikku itu bahkan hampir lupa membayar ongkos taxi kalau-kalau tak pak sopir yang mengingatkannya, tubuhnya sudah setengah masuk saat pak sopir memanggilnya kembali.“Oh ya, maaf, Pak.” Ia tersenyum kalem, aku tidak tahu apa yang sudah membuatnya sedemikian tergesanya.Dengan pelan dan penuh perhitungan, aku memilih ikutan masuk. Aku bahkan sampai harus menggunakan sebagian hijab sebagai penutup wajah, sementara kacamata hitam sengaja kubawa dan kupakai guna menyamarkan diri.Lail kali ini tampak seperti kebingungan, bahkan adikku itu sampai memencet hp-nya berkali-kali dan seperti menghubungi orang yang bersangkutan, terlihat dari caranya yang kemudian celingak-celinguk dan beralih duduk di kursi agak sedikit memojok. Ada dua orang yang rupanya sudah menunggunya lebih dulu. Lelaki paruh baya dan wanita masih muda yang sesaat sudah membuatku membeliak sekaligus mengerutkan kening. Mereka … Flo dan Pak Andro? Sesa
Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab
"Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di
"Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men
"Astaga, apa lelaki itu benar-benar berniat menemuiku?"Aku mau tak mau merutuk kesal saat jam sudah menunjukkan sebelas malam, tetapi Ray masih juga tak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku bahkan harus ekstra sabar menghadapi beberapa lelaki yang datang merayu, sementara itu Mami Berta sebagai mucikari diam-diam mengawasi sembari sesekali melihat keluar dan memencet telepon."Sudahlah, Nona, lebih baik kau temani kami. Kau tau 'kan kami orang berduit juga, tak akan kukecewakan kau dengan bayaran."Mereka masih berusaha merayu, beberapa di antara mereka bahkan berjanji akan memberikanku perhiasan bila sekali aku berbagi ranjang dengan salah satu di antara mereka, tetapi aku hanya diam, melihat keluar. Perasaan ragu itu bahkan membuatku mendadak bangkit, mendekat pada Mami Berta setelah wanita itu mengisyaratkan padaku untuk maju."Ray sepertinya tak akan datang, Nona. Mungkin dia harus menyelesaikan pekerjaannya."Ia menatap padaku, menjeda sebentar."Kau akan menerima satu di a...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments