Home / Romansa / Wanita Penghibur / Dia mengetahuinya?

Share

Dia mengetahuinya?

Author: Hitam Putih
last update Huling Na-update: 2022-05-27 21:17:21

[Layani dia, lagi pun ini pertama kalinya Ray mengajakmu, Nona.]

Mami Berta sampai ikut campur, mau tidak mau aku akhirnya izin sama Ibu Helni dan segera pulang kos. Aku harus ganti pakaian. 

Wanita itu bosku dan yang berusaha melindungi identitasku saat bekerja. Menolaknya sama saja mencari masalah. Ini semuanya gara-gara Ray! Dia benar-benar kurang ajar, bagaimana mungkin dia memintaku menemuinya saat Nona Bintang tidak pernah ada jika belum malam? Aku masih Rahma!

[Assalamualaikum, Kak, jangan lupa sholat dhuhur. Sehat selalu]

Lail malah mengirimiku SMS itu, jilbabku sudah dilepas, pakaianku juga. Meski kesal aku balas juga.

[Ya, Laila, Kakak sudah tau, tak perlu kamu ingatkan terus]

Kuhapus lantas mengetik lagi.

[Kakak baru mau sholat,] ketikku akhirnya lalu menekan kata send dan menyegerakan sholat sebelum melipat mukena. 

Warnanya sudah agak kusut, ada bunga-bunga berwarnah hijau toskah di bagian samping dan sedikit ber-renda. Ini pemberian Ibu dulu, katanya aku diminta menjaganya. Aku tahu pasti, secara tak langsung wanita yang melahirkanku itu memintaku menjaga sholatku.

“Wanita itu ibaratkan perhiasan, Lek. Kamu harus bisa menjaga dirimu dengan baik, agar kamu makin tampak cantik.”

Ibu setengah mengusap lenganku. Mata meneduhkannya menatapku dengan binar-binar keceriaan.

“Bagaimana memangnya menjaga itu, Bu? Dengan apa bisa dikatakan baik?”

“Hem ....” Ibu tampak berpikir lalu tersenyum lagi.

“Salah satunya dengan ini.”

Ibu bangkit lalu mengeluarkan sekotak kado yang langsung ia sodorkan padaku. Bibirku kontan tersenyum sambil mengambilnya dan langsung membuka isinya, mukena berwarnah putih dikombinasi warnah hijau toskah pada bagian bunga. Aku suka, ini pasti secara tak langsung hadiah untukku juga, mengingat beberapa hari lalu aku baru saja memenangkan lomba menulis dongeng.

“Selamat, semoga kelak Rara bisa jadi penulis, yah,” katanya memanggil nama kesayanganku. Aku mengamini dalam hati. 

“Ibu suka aku jadi penulis?”

“Tentu, Ibu dukung selama itu baik.”

“Wah ... makasih, Bu. Rara makin sayang, deh. Hehe, kalo hadiah dari Bapak apa, ya, kira-kira, Bu?”

“Bapak ... em Bapak ....” 

Ibu tampak berpikir lagi, tetapi kali ini wajahnya terlihat kebingungan. Aku ingin Bapak juga sama, selalu memberi hadiah seperti Ibu. Aku suka hadiah karena dengan begitu aku seperti telah melakukan sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan. 

Tok-tok-tok ....

Ketukan dari luar membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru bangkit lantas melipat mukena, ganti pakaian lalu menyingkap tirai.

“Ray?”

 Mataku membulat mendapati lelaki itu berdiri tepat di sisi pintu. Itu tidak benar, bagaimana mungkin ia bisa sampai di sini? Untuk beberapa saat aku hanya berdiri tanpa membuka pintu, tirainya bahkan sudah memilih aku tutup.

“Na, buka. Aku lihat kamu. Jangan main-main lagi denganku, Nona, hey!”

Ia makin mengeraskan ketokannya, bahkan sudah setengah mirip gedoran. 

“Aku butuh kamu, Nona. Aku butuh kesenangan dan hanya kamu yang bisa memuaskanku. Nona, ayo, aku—”

Kalimat Ray terpotong gerakanku yang tiba-tiba membuka pintu, kutarik tubuh Ray untuk masuk. Ini bahaya, bagaimana mungkin ia bisa seumum itu mengatakannya? Banyak orang di tempat kosku, bagaimana kalau mereka tahu? 

“Kenapa lama sekali, sih, buka pintunya, Na?”

Ia malah mengeluh, tetapi tak kutanggapi apa-apa. Dadaku masih memanas. Riak-riak bening dari kelopak mataku bahkan dengan sendirinya berebutan ingin keluar. Ini menyebalkan! Bagaimana mungkin ia memaksaku menjadi Nona Bintang saat aku masih ingin menjadi Rahma? 

Kupilih selendang cream dengan blus dan blazer maroonku sebagai pakaian atas, lalu mengajaknya pergi. Aku tak mau berdebat di sini!

“Aku suka penampilanmu.”

Ia tersenyum sambil memperhatikanku yang baru saja melepas blazer panjang dan selendang yang sengaja aku samarkan untuk menutupi kepala. Posisi kami baru saja sampai di kamar hotel. 

Aku hanya menarik napas. Kesal sebenarnya. Jelas, aku sudah berusaha memilih klien yang berbeda tempat denganku, tetapi kenapa Ray bisa tahu? Apa mungkin karena Mami Berta? Dia tak setujuh karena aku berani menolak dan sampai menunda waktu? Meski kesal aku tetap memilih duduk di samping ranjang, ia pasti memintaku melayaninya lagi, tetapi biarkan saja, aku tak mau, biarkan malam menjemput pagi. Aku tak suka melayaninya dalam keadaan seperti ini.

“Apa maumu, Ray?”

Aku sudah memilih tetap bersikap santai meski mau tidak mau tetap mendelik saat ia sudah mendekat dengan tatapan lekatnya. 

“Aku ingin kita menikah!”

“Apa tidak ada keinginan lain?”

Aku tetap santai. Sudah bosan rasanya mendengar ucapan yang sama dari lelaki ini. Ray ternyata orang yang cukup melelahkan, apa hanya saat malam saja ia menjelma bak pangeran yang seolah siap melindungiku dengan layanan lembutnya? Dia ternyata serba mempermasalahkan segala hal.

“Maafkan aku, Rahma.”

Aku mendelik, menatapnya tajam.

“Aku Nona Bintang, bukan Rahma!”

“Tapi terakhir kamu mengaku Rahma padaku!”

Ia tersenyum tanpa mengalihkan perhatiannya dariku, tetapi buatku itu justru seperti ejekan. Apa sebegitu merendahkannya menjadi dua orang dalam satu tubuh? Atau apa karena salah satunya adalah pelacur? Serendah itukah? Lalu apakah ia bisa memastikan tak akan sepertiku bila berada di posisiku dulu?

“Aku tak pernah mengaku Rahma, siapa Rahma, Ray?”

Aku sudah memilih untuk bersikap lembut. Balas menatapnya bahkan menyunggingkan senyum. Oh ya, baiklah, ia mungkin butuh pelayanan itu sekarang. Setidaknya cukup menyembunyikan perkataannya yang kemudian bisa hilang dengan sendirinya.

Kuletakkan tangan di dada bidangnya, mengusap lembut tanpa melepas senyum, anehnya lelaki itu hanya balas tersenyum dengan tatapan kalem, aku tak menemukan kenakalan lagi dari tatapannya.

Apa aku kurang menarik, atau apa karena wajahku yang saat ini tanpa make up? Perlahan kulepaskan lagi lalu hendak ke depan cermin, tetapi Ray lebih dulu menarikku sampai terduduk, bahkan dengan kasarnya lelaki itu mendorongku. Aku mendelik dengan dada tiba-tiba memanas. Apa Ray akan memperlakukanku seperti yang lain? 

Bayang-bayang kejadian tiga tahun lalu itu dengan sendirinya menjelma, riak-riak bening dari kelopak mataku kembali menggenang, ia mendekatkan wajahnya. Ini pelayanan yang tidak aku suka, memaksa dan memperlakukanku seperti binatang layaknya si anjing buas yang dulu berkeliaran mengambil keperawananku. 

“Apa sebegitu menyakitkannya kenangan itu sampai harus menangis di hadapanku? Aku tak butuh air mata!”

Bisikannya sangat pelan tetapi sarat penekanan. Aku mendongak menatap wajahnya yang berada tepat di atasku, lelaki itu tengah tersenyum. Apa semuanya terlalu lucu? Kuusap pipi yang ternyata memang sudah basah oleh air mata. Oh ayolah, aku tak suka menangis, ini tanda kelemahan!

“Aku tak memiliki kenangan apa pun, Ray, buatku bila itu buruk bukan kenangan, tapi hanya mimpi buruk yang tidak perlu aku gubris. Aku hanya memiliki kenangan manis dan itu cukup alasan yang tepat untuk tak perlu terluka, bukan?”

“Kau tidak perlu bohong, Nona. Aku tau semuanya!”

"Tau apa? Tau kalau aku menangkapmu basah bersama istrimu yang kau bilang sibuk dan egois. Tau—”

“Diam!”

Ray menatapku tajam, ini pertama kalinya kulihat ia semarah itu membahas istrinya. Ia mendengkus kesal lantas melepaskan tindihannya dari tubuhku.

“Sampai kapan kau akan berhenti membahas dia? Hubungan kami sudah berakhir!”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan perempuan berjilbab waktu itu? Yang kau gandeng dengan mesra?”

Ray mendadak tertawa sumbang, lalu tanpa kumengerti mengambil kertas dari tasnya, dan melemparkan tepat di sampingku. Kontan kertas-kertas itu berserakan. 

Dengan was-was aku segera mengambilnya, mataku sedikit mendelik melihat kata cerai tertera di sana, bibirku seketika menarik senyum kecut. Apa dia hendak bersandiwara lagi? Jelas aku melihatnya bersama perempuan berjilbab waktu itu. Tak mungkin semuanya secepat itu, bukan? 

“Kau menyebut perempuan itu? Dari mana kau tau, hah?”

Rey tiba-tiba menarik tubuhku lagi dan menindihnya.

“Waktu itu orang yang kujumpai hanya Rahma, bukan?”

Mataku terbelalak. Menyadari kecerobohan yang tentunya bisa berakibat fatal. Sama saja secara tak langsung aku telah membongkar identitas sendiri.

“Aku di sana juga waktu itu. Menyaksikan kamu memaksa seseorang mengaku aku.”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan ini?”

Sedikit kesulitan Ray mengambil hp-nya dan menunjukkan video padaku. Itu ternyata hasil percakapanku dengannya saat di telepon tadi pagi. Jelas aku yang bahkan sembunyi ke kamar mandi. Jadi dia ….

“Kenapa, kau mau menyangkal lagi? Tidak mungkin sekalipun nomer Rahma berbeda dengan nomer Nona Bintang, tapi harus orang yang sama mengangkatnya juga, bukan?”

Leherku tercekik, kata-kataku patah sekalipun banyak kata yang belum terucap untuk menipunya. Apa Ray seorang cenayang atau sudah tiba-tiba menjadi detektif? Tak ada cara lain, semuanya sudah cukup bukti kebohongan itu terkuak!

“Ayolah, Rahma, apa lagi yang ingin kau sembunyikan?”

“Aku yang harusnya bertanya itu, Ray, apa yang kau sembunyikan, hah? Setelah bercumbu dengan istrimu kau belum puas. Apa karena dia terlampau lugu?”

Ray mendadak mendengkus. Tatapannya tajam, tetapi kemudian tersenyum sinis.

“Apa itu caramu untuk menyakitiku?"

Wajahnya yang memerah seperti menahan marah itu mendekat lagi pada tubuhku. Bedanya kali ini aku tidak berpaling, membiarkan tangannya yang mulai nakal menyentuh lalu meraba pipi, leher, dan semuanya berlangsung seperti malam itu lagi.

Kaugnay na kabanata

  • Wanita Penghibur   Ceroboh!

    Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray? Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan .... Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban? Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, B

    Huling Na-update : 2022-05-27
  • Wanita Penghibur   Pulang

    "Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng.""Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku. Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi."Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu.""Hem, ya, Bu. Makasih."Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot."Jangan lupa sama kami, Rahma."Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja sendirian

    Huling Na-update : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Jebakan

    "Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut?Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama."Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa."Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku.Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih slop hak

    Huling Na-update : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Masa Lalu

    Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me

    Huling Na-update : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Lelaki yang Sama

    "Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama

    Huling Na-update : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Bukan Berarti Baik-baik Saja

    “Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray?“Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan tatapa

    Huling Na-update : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Lamaran

    Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t

    Huling Na-update : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Bertengkar

    "Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya

    Huling Na-update : 2022-06-08

Pinakabagong kabanata

  • Wanita Penghibur   Gadis itu bernama Celia

    “Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah

  • Wanita Penghibur   Keluarga Bagaskara

    Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s

  • Wanita Penghibur   Laila Qudsiyyah

    “Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad

  • Wanita Penghibur   Cinta yang Salah

    Two Stories, kafe bergaya terbuka itu ternyata menjadi tujuan akhir Lail. Adikku itu bahkan hampir lupa membayar ongkos taxi kalau-kalau tak pak sopir yang mengingatkannya, tubuhnya sudah setengah masuk saat pak sopir memanggilnya kembali.“Oh ya, maaf, Pak.” Ia tersenyum kalem, aku tidak tahu apa yang sudah membuatnya sedemikian tergesanya.Dengan pelan dan penuh perhitungan, aku memilih ikutan masuk. Aku bahkan sampai harus menggunakan sebagian hijab sebagai penutup wajah, sementara kacamata hitam sengaja kubawa dan kupakai guna menyamarkan diri.Lail kali ini tampak seperti kebingungan, bahkan adikku itu sampai memencet hp-nya berkali-kali dan seperti menghubungi orang yang bersangkutan, terlihat dari caranya yang kemudian celingak-celinguk dan beralih duduk di kursi agak sedikit memojok. Ada dua orang yang rupanya sudah menunggunya lebih dulu. Lelaki paruh baya dan wanita masih muda yang sesaat sudah membuatku membeliak sekaligus mengerutkan kening. Mereka … Flo dan Pak Andro? Sesa

  • Wanita Penghibur   Cerita Dari Masa Lalu

    Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab

  • Wanita Penghibur   Keluarga?

    "Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di

  • Wanita Penghibur   Ambigu!

    "Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se

  • Wanita Penghibur   Flo Amanda

    Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi

  • Wanita Penghibur   Keluarga Ray

    Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men

I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status