Home / Romansa / Wanita Penghibur / Dia mengetahuinya?

Share

Dia mengetahuinya?

Author: Hitam Putih
last update Last Updated: 2022-05-27 21:17:21

[Layani dia, lagi pun ini pertama kalinya Ray mengajakmu, Nona.]

Mami Berta sampai ikut campur, mau tidak mau aku akhirnya izin sama Ibu Helni dan segera pulang kos. Aku harus ganti pakaian. 

Wanita itu bosku dan yang berusaha melindungi identitasku saat bekerja. Menolaknya sama saja mencari masalah. Ini semuanya gara-gara Ray! Dia benar-benar kurang ajar, bagaimana mungkin dia memintaku menemuinya saat Nona Bintang tidak pernah ada jika belum malam? Aku masih Rahma!

[Assalamualaikum, Kak, jangan lupa sholat dhuhur. Sehat selalu]

Lail malah mengirimiku SMS itu, jilbabku sudah dilepas, pakaianku juga. Meski kesal aku balas juga.

[Ya, Laila, Kakak sudah tau, tak perlu kamu ingatkan terus]

Kuhapus lantas mengetik lagi.

[Kakak baru mau sholat,] ketikku akhirnya lalu menekan kata send dan menyegerakan sholat sebelum melipat mukena. 

Warnanya sudah agak kusut, ada bunga-bunga berwarnah hijau toskah di bagian samping dan sedikit ber-renda. Ini pemberian Ibu dulu, katanya aku diminta menjaganya. Aku tahu pasti, secara tak langsung wanita yang melahirkanku itu memintaku menjaga sholatku.

“Wanita itu ibaratkan perhiasan, Lek. Kamu harus bisa menjaga dirimu dengan baik, agar kamu makin tampak cantik.”

Ibu setengah mengusap lenganku. Mata meneduhkannya menatapku dengan binar-binar keceriaan.

“Bagaimana memangnya menjaga itu, Bu? Dengan apa bisa dikatakan baik?”

“Hem ....” Ibu tampak berpikir lalu tersenyum lagi.

“Salah satunya dengan ini.”

Ibu bangkit lalu mengeluarkan sekotak kado yang langsung ia sodorkan padaku. Bibirku kontan tersenyum sambil mengambilnya dan langsung membuka isinya, mukena berwarnah putih dikombinasi warnah hijau toskah pada bagian bunga. Aku suka, ini pasti secara tak langsung hadiah untukku juga, mengingat beberapa hari lalu aku baru saja memenangkan lomba menulis dongeng.

“Selamat, semoga kelak Rara bisa jadi penulis, yah,” katanya memanggil nama kesayanganku. Aku mengamini dalam hati. 

“Ibu suka aku jadi penulis?”

“Tentu, Ibu dukung selama itu baik.”

“Wah ... makasih, Bu. Rara makin sayang, deh. Hehe, kalo hadiah dari Bapak apa, ya, kira-kira, Bu?”

“Bapak ... em Bapak ....” 

Ibu tampak berpikir lagi, tetapi kali ini wajahnya terlihat kebingungan. Aku ingin Bapak juga sama, selalu memberi hadiah seperti Ibu. Aku suka hadiah karena dengan begitu aku seperti telah melakukan sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan. 

Tok-tok-tok ....

Ketukan dari luar membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru bangkit lantas melipat mukena, ganti pakaian lalu menyingkap tirai.

“Ray?”

 Mataku membulat mendapati lelaki itu berdiri tepat di sisi pintu. Itu tidak benar, bagaimana mungkin ia bisa sampai di sini? Untuk beberapa saat aku hanya berdiri tanpa membuka pintu, tirainya bahkan sudah memilih aku tutup.

“Na, buka. Aku lihat kamu. Jangan main-main lagi denganku, Nona, hey!”

Ia makin mengeraskan ketokannya, bahkan sudah setengah mirip gedoran. 

“Aku butuh kamu, Nona. Aku butuh kesenangan dan hanya kamu yang bisa memuaskanku. Nona, ayo, aku—”

Kalimat Ray terpotong gerakanku yang tiba-tiba membuka pintu, kutarik tubuh Ray untuk masuk. Ini bahaya, bagaimana mungkin ia bisa seumum itu mengatakannya? Banyak orang di tempat kosku, bagaimana kalau mereka tahu? 

“Kenapa lama sekali, sih, buka pintunya, Na?”

Ia malah mengeluh, tetapi tak kutanggapi apa-apa. Dadaku masih memanas. Riak-riak bening dari kelopak mataku bahkan dengan sendirinya berebutan ingin keluar. Ini menyebalkan! Bagaimana mungkin ia memaksaku menjadi Nona Bintang saat aku masih ingin menjadi Rahma? 

Kupilih selendang cream dengan blus dan blazer maroonku sebagai pakaian atas, lalu mengajaknya pergi. Aku tak mau berdebat di sini!

“Aku suka penampilanmu.”

Ia tersenyum sambil memperhatikanku yang baru saja melepas blazer panjang dan selendang yang sengaja aku samarkan untuk menutupi kepala. Posisi kami baru saja sampai di kamar hotel. 

Aku hanya menarik napas. Kesal sebenarnya. Jelas, aku sudah berusaha memilih klien yang berbeda tempat denganku, tetapi kenapa Ray bisa tahu? Apa mungkin karena Mami Berta? Dia tak setujuh karena aku berani menolak dan sampai menunda waktu? Meski kesal aku tetap memilih duduk di samping ranjang, ia pasti memintaku melayaninya lagi, tetapi biarkan saja, aku tak mau, biarkan malam menjemput pagi. Aku tak suka melayaninya dalam keadaan seperti ini.

“Apa maumu, Ray?”

Aku sudah memilih tetap bersikap santai meski mau tidak mau tetap mendelik saat ia sudah mendekat dengan tatapan lekatnya. 

“Aku ingin kita menikah!”

“Apa tidak ada keinginan lain?”

Aku tetap santai. Sudah bosan rasanya mendengar ucapan yang sama dari lelaki ini. Ray ternyata orang yang cukup melelahkan, apa hanya saat malam saja ia menjelma bak pangeran yang seolah siap melindungiku dengan layanan lembutnya? Dia ternyata serba mempermasalahkan segala hal.

“Maafkan aku, Rahma.”

Aku mendelik, menatapnya tajam.

“Aku Nona Bintang, bukan Rahma!”

“Tapi terakhir kamu mengaku Rahma padaku!”

Ia tersenyum tanpa mengalihkan perhatiannya dariku, tetapi buatku itu justru seperti ejekan. Apa sebegitu merendahkannya menjadi dua orang dalam satu tubuh? Atau apa karena salah satunya adalah pelacur? Serendah itukah? Lalu apakah ia bisa memastikan tak akan sepertiku bila berada di posisiku dulu?

“Aku tak pernah mengaku Rahma, siapa Rahma, Ray?”

Aku sudah memilih untuk bersikap lembut. Balas menatapnya bahkan menyunggingkan senyum. Oh ya, baiklah, ia mungkin butuh pelayanan itu sekarang. Setidaknya cukup menyembunyikan perkataannya yang kemudian bisa hilang dengan sendirinya.

Kuletakkan tangan di dada bidangnya, mengusap lembut tanpa melepas senyum, anehnya lelaki itu hanya balas tersenyum dengan tatapan kalem, aku tak menemukan kenakalan lagi dari tatapannya.

Apa aku kurang menarik, atau apa karena wajahku yang saat ini tanpa make up? Perlahan kulepaskan lagi lalu hendak ke depan cermin, tetapi Ray lebih dulu menarikku sampai terduduk, bahkan dengan kasarnya lelaki itu mendorongku. Aku mendelik dengan dada tiba-tiba memanas. Apa Ray akan memperlakukanku seperti yang lain? 

Bayang-bayang kejadian tiga tahun lalu itu dengan sendirinya menjelma, riak-riak bening dari kelopak mataku kembali menggenang, ia mendekatkan wajahnya. Ini pelayanan yang tidak aku suka, memaksa dan memperlakukanku seperti binatang layaknya si anjing buas yang dulu berkeliaran mengambil keperawananku. 

“Apa sebegitu menyakitkannya kenangan itu sampai harus menangis di hadapanku? Aku tak butuh air mata!”

Bisikannya sangat pelan tetapi sarat penekanan. Aku mendongak menatap wajahnya yang berada tepat di atasku, lelaki itu tengah tersenyum. Apa semuanya terlalu lucu? Kuusap pipi yang ternyata memang sudah basah oleh air mata. Oh ayolah, aku tak suka menangis, ini tanda kelemahan!

“Aku tak memiliki kenangan apa pun, Ray, buatku bila itu buruk bukan kenangan, tapi hanya mimpi buruk yang tidak perlu aku gubris. Aku hanya memiliki kenangan manis dan itu cukup alasan yang tepat untuk tak perlu terluka, bukan?”

“Kau tidak perlu bohong, Nona. Aku tau semuanya!”

"Tau apa? Tau kalau aku menangkapmu basah bersama istrimu yang kau bilang sibuk dan egois. Tau—”

“Diam!”

Ray menatapku tajam, ini pertama kalinya kulihat ia semarah itu membahas istrinya. Ia mendengkus kesal lantas melepaskan tindihannya dari tubuhku.

“Sampai kapan kau akan berhenti membahas dia? Hubungan kami sudah berakhir!”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan perempuan berjilbab waktu itu? Yang kau gandeng dengan mesra?”

Ray mendadak tertawa sumbang, lalu tanpa kumengerti mengambil kertas dari tasnya, dan melemparkan tepat di sampingku. Kontan kertas-kertas itu berserakan. 

Dengan was-was aku segera mengambilnya, mataku sedikit mendelik melihat kata cerai tertera di sana, bibirku seketika menarik senyum kecut. Apa dia hendak bersandiwara lagi? Jelas aku melihatnya bersama perempuan berjilbab waktu itu. Tak mungkin semuanya secepat itu, bukan? 

“Kau menyebut perempuan itu? Dari mana kau tau, hah?”

Rey tiba-tiba menarik tubuhku lagi dan menindihnya.

“Waktu itu orang yang kujumpai hanya Rahma, bukan?”

Mataku terbelalak. Menyadari kecerobohan yang tentunya bisa berakibat fatal. Sama saja secara tak langsung aku telah membongkar identitas sendiri.

“Aku di sana juga waktu itu. Menyaksikan kamu memaksa seseorang mengaku aku.”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan ini?”

Sedikit kesulitan Ray mengambil hp-nya dan menunjukkan video padaku. Itu ternyata hasil percakapanku dengannya saat di telepon tadi pagi. Jelas aku yang bahkan sembunyi ke kamar mandi. Jadi dia ….

“Kenapa, kau mau menyangkal lagi? Tidak mungkin sekalipun nomer Rahma berbeda dengan nomer Nona Bintang, tapi harus orang yang sama mengangkatnya juga, bukan?”

Leherku tercekik, kata-kataku patah sekalipun banyak kata yang belum terucap untuk menipunya. Apa Ray seorang cenayang atau sudah tiba-tiba menjadi detektif? Tak ada cara lain, semuanya sudah cukup bukti kebohongan itu terkuak!

“Ayolah, Rahma, apa lagi yang ingin kau sembunyikan?”

“Aku yang harusnya bertanya itu, Ray, apa yang kau sembunyikan, hah? Setelah bercumbu dengan istrimu kau belum puas. Apa karena dia terlampau lugu?”

Ray mendadak mendengkus. Tatapannya tajam, tetapi kemudian tersenyum sinis.

“Apa itu caramu untuk menyakitiku?"

Wajahnya yang memerah seperti menahan marah itu mendekat lagi pada tubuhku. Bedanya kali ini aku tidak berpaling, membiarkan tangannya yang mulai nakal menyentuh lalu meraba pipi, leher, dan semuanya berlangsung seperti malam itu lagi.

Related chapters

  • Wanita Penghibur   Ceroboh!

    Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray? Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan .... Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban? Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, B

    Last Updated : 2022-05-27
  • Wanita Penghibur   Pulang

    "Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng." "Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku. Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi. "Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu." "Hem, ya, Bu. Makasih." Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot. "Jangan lupa sama kami, Rahma." Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja se

    Last Updated : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Jebakan

    "Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut? Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama. "Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa." Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku. Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih sl

    Last Updated : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Masa Lalu

    Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me

    Last Updated : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Lelaki yang Sama

    "Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama

    Last Updated : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Bukan Berarti Baik-baik Saja

    “Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray? “Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan

    Last Updated : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Lamaran

    Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t

    Last Updated : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Bertengkar

    "Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya

    Last Updated : 2022-06-08

Latest chapter

  • Wanita Penghibur   Curiga

    Apa Gana menjebakku? Apa dia yang mencampur obat bius pada jus yang aku minum? Kalau memang benar kenapa Gana bisa seberani itu?Aku tahu sekali siapa Gana, Mami Berta menjadikan Gana orang kepercayaan bukan tanpa alasan. Gana tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan Mami Berta, dan tidak menggangguku adalah aturan yang sejak dulu Mami buat untuk Gana, apalagi Gana juga selalu menujukkan tidak pernah mau berurusan dengan keluarga Bagaskara. Tetapi sekarang? Apa dan kenapa?[Kamu sudah pulang, Rahma?] Itu dari nomor asing, aku baru membacanya setelah naik grab. Nomor itu ternyata bukan sekali itu mengirimiku pesan tapi juga semalam? Sekitar jam 21:40, dan hanya berisi kamu kenapa lama di dalam, Ra? Saat melihat di foto profilnya, dia ternyata ... Ravan?Astagfirullah, apa yang sebenarnya sudah Rav ketahui selama ini? Jelas sekali bohong kalau dia tidak tau apa-apa, kehadiran Rav tiba-tiba tadi malam sudah cukup membuktikan itu, ditambah lagi

  • Wanita Penghibur   Kesalahan

    "Gue pikir lo gak bakal ke sini lagi, Nona. Apa jadi Nyonya Bagaskara masih buat lo belum cukup uang? Atau karena lo kangen gue?"Gana mendekat, merangkul pinggangku, lalu meminta ditambahkan minuman, dua botol minuman sudah dibawa salah satu pelayan, bersamaan dengan Cha dan Pak Andro yang baru saja keluar. Dua orang itu anehnya bersikap seolah tak mengenaliku, Pak Andro terlihat lebih fokus pada Cha yang mabuk."Gue mau lo bantu gue!" Aku sedikit berkelit, mengeluarkan hp lalu menujukkan pada Gana. Gana melirik sekilas lalu langsung mengangkat tangan."Gue gak bisa!" Tubuh Gana bahkan pindah lalu duduk berhadapan denganku."Gan, lo udah menguasai jual beli di dark web maupun situs-situs gelap lainnya. Lo gak mungkin gak bisa.""Kalau lo tau situs-situs itu lo seharusnya bisa belanja sendiri, Nona! Gak perlu minta tolong gue! "Konyol! Selama jadi Nona Bintang aku tak pernah tahu urusan hal-hal seperti itu. Sekalipun p

  • Wanita Penghibur   Tempat yang Sama

    Ray tidak berbicara denganku lagi. Setelah pertengkaran kami siang tadi, dia lebih banyak diam, atau lebih tepatnya hanya mendiamkanku? Astaga, padahal seharusnya aku yang lebih berhak marah. "Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, jangan saling diam. Hidup berumah tangga itu sudah pasti ada cobaannya."Ibu sampai setengah memperingati, mungkin karena selama di meja makan Ray bersikap tak kalah menyebalkan dibanding aku yang lebih banyak diam. Chayra sendiri sampai menghubungiku berkali-kali. Entah dari mana dia tahu, tapi dia kadang terkesan cerewet.[Teteh dan Kak Ray baik-baik saja, 'kan? Jangan marah sama Kak Ray, Teh. Kak Ray gak salah][Arkan memang suami Cha, Arlis yang bohong. Kalau saja Teteh marah karena salah paham]Sok tahu! Aku bahkan tidak mempermasalahkan dramanya itu, tetapi Cha? Sikap dan penjelasannya itu yang seolah ingin menunjukkan semuanya justru membuatku ada yang tidak beres. Bukankah sesuatu yang ditunjukkan l

  • Wanita Penghibur   Lelaki dari Masa lalu

    “Ramha?”Pak Andro menyebut namaku tapi yang dilihat kemudian adalah Ray, ia bahkan setelahnya berpaling pada Ibu.“Kau di sini sedang apa, Rahma?” Pertanyaannya terkesan wajar, tetapi aku merasa itu lebih sebagai peringatan, lebih lagi setelah melihat tatapan nakalnya.“Bapak mengenal putri saya? Maaf, bapak siapa ya?” Ibu maju satu langkah, mendekat pada pak Andro. Wajah Ibu terlihat kebingungan, Ibu Rana dan Cha sendiri terlihat tak kalah kebingungan, hanya Ray yang seperti membeku dan mematung.“Apa bapak mengenal anak saya?” Ibu sampai bertanya sekali lagi, Pak Andro melihat padanya, senyumnya menyeringai, ia mendekat padaku.“Mengenal? Tentu, tentu saja saya mengenal, bahkan saya sangat mengenal putri anda. Dia–”“Diam!”Ray tiba-tiba mendorong tubuh Pak Andro, menarik lenganku lalu cepat-cepat membawa aku dan Ibu pergi.***flashback Lelaki itu bermata sipit dengan hidung

  • Wanita Penghibur   Drama

    "Apa ini, Lek? Apa?"Ibu seperti tak percaya, ia menunjuk foto-foto di hadapan kami, foto saat aku menjadi Nona Bintang, foto saat aku bekerja di toko baju, foto saat aku didandani, foto saat Nona Bintang berhadapan dengan banyak lelaki di club dan--"Itu nggak benar Bu, itu nggak benar, jangan percaya!"Aku buru-buru mengambil foto-foto itu, hendak membuangnya tetapi ibu lebih dulu menahan, Matanya kilat menatapku. Jelas sekali ada kemarahan di mata ibu, tetapi sekaligus ada kepedihan di sana. Aku sampai berpaling, tidak berani sekadar bersipandang dengan Ibu."Kalau tidak benar, kenapa bisa ada foto-foto ini. Kenapa? Apa yang sebenarnya Rara sembunyikan dari ibu?”"Tidak ada, Bu, tidak ada yang Rara sembunyikan. Itu pasti editan, ibu jangan percaya. Jangan percaya!"Aku menggeleng cepat, berusaha menyakinkan, tetapi yang ada perasaanku semakin cemas, aku bahkan masih tidak berani sekadar menatap ibu."Kalau memang edit

  • Wanita Penghibur   Alibi

    "Kalian bertengkar? Kenapa? Ada apa?"Ibu bertanya pelan setelah duduk di sampingku. Ini sudah jam 9 malam, seharusnya sudah waktunya istirahat tetapi kegaduhan kami tadi sepertinya sudah cukup menyita perhatian banyak orang termasuk ibu. Aku bahkan seperti melihat lagi tatapan orang-orang yang menatap kami tadi saat berciuman, mungkin bukan sesuatu yang salah karena kami sudah memiliki ikatan suami istri, tapi tidak dengan di depan banyak orang, apalagi aku terbiasa hidup di desa dengan aturan-aturan yang masih terlalu tabu untuk hal-hal seperti itu. rasa-rasanya itu tak lebih dari dilemparkan kotoran ke wajahku. "Kami tidak kenapa-kenapa, Bu, kami hanya sedang salah paham saja, kami sudah baikan." Aku seolah tidak mau membahas lebih lanjut, Ibu menatap sekilas tetapi setelahnya dia mengeluarkan hp dari saku bajunya. Hp android dengan casing warna tosca dan gambar kucing, hp itu ..."Ini hp Rara!" Aku merebut hp itu cepat, Ibu sempat mendelik s

  • Wanita Penghibur   Ancaman

    [Batalkan pernikahan! Atau lo akan lihat semua orang tau siapa Nona Bintang!]Nomor asing, tanpa salam dan tanpa kalimat pembuka, entah siapa, tapi kalimat pertamanya sudah cukup membuatku dipenuhi dugaan-dugaan buruk.[Gw kasih lo waktu satu Minggu, klo Lo berulah gw pastikan ibu lo tau siapa Nona Bintang!]Setelahnya foto-foto tentang aku orang itu kirim disertai SMS terakhir dirinya dengan Ibu? Astagfirullah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah aku bahkan sudah mengganti nomor Ibu sebelum ke kota? Jaringan di desa kami jelas-jelas berbeda dengan jaringan di kota Bogor tempat kami sekarang. Apalagi Ini belum genap dua Minggu setelah aku membantu ibu mengganti nomornya, orang-orang yang pernah punya nomor lama ibu saja belum sepenuhnya tahu nomor ibu yang baru. Lalu bagaimana---"Kenapa, Ra?"Sampai Ray yang sejak tadi seperti sibuk dengan laptopnya entah sejak kapan sudah pindah dan duduk di sampingku, ia menatapku seperti kehe

  • Wanita Penghibur   Sikap Aneh Dokter Nayna

    "Pulang? Kenapa?" Ray tampak kaget, aku sendiri tak kalah kaget. Dokter Nay tiba-tiba mengatakan ingin pulang, mengejutkannya lagi sebelum itu dia mengatakan ingin resign? "Akan saya kirimkan teman yang bisa jadi perawat sekaligus dokter pribadi untuk Ibu Fatimah, Ray." "Tapi kenapa? Ada apa, Dok? Apa karena Flo?" Ray lagi-lagi menelisik. "Gak ada hubungannya sama si kunyuk itu! Lo pikir gue bisa dikendalikan dan diatur-oleh oleh dia?! Gue gak sebegok itu!" Dokter Nay malah terdengar emosi, aku dan Ray jadi saling pandang. "Dokter boleh pulang, tapi tidak boleh berhenti bekerja. Tidak apa-apa ambil cuti beberapa hari, nanti kalau sudah berubah pikiran silakan kembali lagi, tapi kalau memang tidak bisa saya akan cari dokter pengganti." Ray akhirnya mengalah, Dokter Nay langsung bangkit setelah itu, tanpa melihat pada kami lalu berbalik pergi. "Cari tau keadaan keluarga Dokter Nayna, secepatnya!" Ray mengajakku ikutan bangkit setelah mengatakan itu di telpon. Tapi begi

  • Wanita Penghibur   Bertengkar

    "Dokter Nayyyy. Dokterrrr." Lail berteriak-teriak nyaring, kakinya setengah berlari sambil menengok kanan kiri, ia padahal sempat izin untuk tidak sarapan bersama, katanya harus menyelesaikan PR yang belum selesai, aku sempat memarahi Lail, mengatakan untuk mengisi perut kosongnya lalu bersiap menyiapkan bekal untuk Lail agar bisa dia makan saat perjalanan diantar Mang Ujang nanti, tapi begitu keluar kamar, bukannya langsung meraih bekal yang aku sediakan, Lail malah berlari-lari mencari Dokter Nay. Aku sempat melihat ia memegang kertas di sebelah tangannya tapi dengan cepat dia sembunyikan begitu melihatku. "Dokter Nay mana, kak?" "Dokter Nay baru saja pergi, Lail, mungkin sedang bareng Ibu sekarang, kami baru saja selesai sarapan." Aku sengaja mengatakan sarapan, agar Lail sadar dan mengambil bekal lalu segera berangkat, tapi bukannya sadar, adikku itu malah berlari lagi sambil kembali memanggil-manggil Dokter Nay. "Lailll! " Aku berusaha mengejar, tapi entah bagaimana aku ma

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status