“Jadilah pakaian yang baik untuk suamimu, Lek, menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas.” Ibu membisikkan kalimat itu setelah Ray resmi mengucapkan ijab qabul. Pelukannya erat disertai mata berkaca-kaca. Ibu Darsi, Lail, dan Chayra juga baru saja memelukku dan memberi banyak pesan. Make up mereka bahkan jadi agak luntur.Detik setelah itu, aku sudah harus menahan lelah karena terlalu banyak duduk atau berdiri menghadap para undangan saat pajangan pengantin. Berbagai hiasan, tarub juga hiburan ludruk digelar di depan rumah. Semuanya sesuai dengan keputusan keluargaku dan Ray beberapa hari lalu. Aku tak tahu bagaimana cara menolaknya, bahkan sekadar menggantinya pada qosidah sederhana dan mengundang beberapa orang.“Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup. Ia momen paling terpenting dan karenanya ibu ingin pernikahan anak Ibu mendapatkan yang terbaik. Lagipula jangan menolak tradisi dan adat bila merasa mampu, tak baik. Pamali!” katanya yang membuatku mau tak mau m
“Bu, Ibu di dalam, ‘kan?” Sembari kuketuk pintu kamar sesekali, tetapi tak ada jawaban. Hanya terdengar suara Ibu yang sedikit samar-samar seperti tengah berbicara dengan seseorang, entah siapa. Saat aku kemudian memilih masuk dan menghampirinya, Ibu tampak duduk di sisi ranjang dengan tangan menggenggam telepon. Aku rasa ia baru saja berbicara melalui telepon, anehnya wajah Ibu terlihat pucat dengan tatapan kosong? “Ibu kenapa?”Ibu mendelik, berpaling cepat, dan langsung mengusap wajah sembari mengucap istigfar.“Sejak kapan Rara di sini? Suamimu di mana?” tanyanya seolah baru menyadari kehadiranku. Telepon dalam gemgamannya bahkan cepat-cepat disembunyikannya di bawah bantal. Aku jadi melirik curiga pada benda pipih itu.“Ray masih di kamar, Rara mau tidur bareng Ibu, karena besok Rara sudah harus ke kota, Rara ingin tidur di hari terakhir Rara sama Ibu.” Aku menjawab itu sembari berbaring di samping Ibu, sebagai isyarat sekaligus tentang rencanaku dan Ray. “Tidak boleh, kamu tida
"Memangnya kenapa kalau ibu ikut?"Ibu masih saja bersikeras setelah tadi bahkan mengancam tidak akan menganggapku anak bila tak kuizinkan ikut. Ini benar-benar di luar dugaan, Ibu tidak pernah membahas akan ikut ke kota, beberapa hari terakhir Ibu bahkan berkomentar, kalau ibu dan Lail ikut, siapa yang akan jaga rumah? Tapi tadi .... “Rara lebih memikirkan rumah daripada permintaan Ibu? Apa Rara merasa terbebani kalau Ibu dan Lail tinggal sama Rara?”Aku menggeleng cepat, tentu saja itu salah. Aku bahkan ingin tinggal bersama Ibu sekalipun sudah menikah, tetapi tidak dengan menjadi istri Ray apalagi tinggal di kota yang sama dengan Nona Bintang. “Kalau begitu izinkan Ibu dan Lail ikut!”Ia menatap tepat pada mataku, memegang tanganku erat.“Atau Rara hanya akan melihat kuburan Ibu saat kita bertemu nanti.”Ia melepas pegangannya lalu ke kamar dan menutup pintu. Kakiku mendadak terpaku, napasku tercekat. Itu jelas tidak boleh terjadi. Namun …."Percayalah padaku, Ra. Semuanya akan b
"Jangan!"Aku mendadak mengambil diary di tangan Rav saat lelaki itu ternyata tengah membuka diaryku. Aku tidak tahu apa bahkan dia sudah sempat membacanya. Lelaki itu tergeragap dan seperti tertangkap basah, tetapi anehnya menatap tenang setelah mengucap maaf. "Kau terpaksa?""Apa maksudmu?"Rav tidak menjawab, dia malah menatap Diary itu dan aku jadi menatap curiga padanya. "Kau tidak membacanya, 'kan?"Masih diam. "Rav, jawab! kau tidak membacanya, 'kan? Jangan diam aja!"Aku masih berusaha menghujani Rav dengan pertanyaan, bahkan mungkin sudah mirip tuduhan dengan mengatakan kalau Rav harusnya memilih mengembalikan barang pada pemiliknya jika menemukan sesuatu."Kau tidak punyak hak membuka apalagi membaca diary orang lain, Rav. Kau---""Kak, kakak. "Suaraku terpotong teriakan Lail dari kejauhan, aku sempat berpaling kanan kiri dan begitu melihat ke belakang, adikku itu ternyata tengah berlari dengan tangan menunjuk ke rumah. "Ibu ... Ibu ... sa ...." Ia masih berujar di teng
"Maafkan Lail, Kak, Lail tidak bermaksud buat Kakak marah."Lail berujar itu setelah sejak tadi kami sama-sama diam. Ia menyusulku ke pantai beberapa saat setelahnya dan jadilah kini kami sama-sama duduk di atas batu-batu kecil. Perahu-perahu nelayan sudah tidak ada, dan itu karena rata-rata untuk saat ini mereka memancing di waktu siang. "Sudahlah, Lail, tak perlu bahas itu. Lebih baik kamu pulang, temani Ibu, jangan biarkan Ibu kelelahan sampai terjadi hal tak diinginkan lagi.""Maaf, Kak, sepertinya itu bukan karena kelelahan tapi mungkin karena suasana hati Ibu.""Maksud kamu?" Lail tak langsung menjawab. Ia seperti ragu mengatakannya. "Beberapa bulan terakhir Ibu seperti menerima telpon dan SMS dari seseorang, saat Lail tanya, katanya bukan siapa-siapa. Tapi setiap kali Ibu menerima SMS atau telpon itu Ibu seperti orang cemas dan syok. Lail sudah coba cek tapi Ibu selalu menyembunyikan hp-nya."Ucapan Lail mau tak mau membuatku mendadak bangkit, seperti ada sesuatu yang menarik
Entah apa yang dilakukan Ray pada peneror itu, dia terlihat hanya sibuk menelpon seseorang, terkadang juga menemui dua pengawalnya dan mereka bercakap-cakap serius. Ray bilang semua akan diurus dan aku hanya diminta percaya saja, meski aku pernah melihat langsung bagaimana Ray berhasil membuat si peneror tidak lagi melakukan aksinya tetapi perasaan cemas itu tetap saja ada. Kesehatan Ibu juga lumayan semakin membaik dan itu cukup melegakan. "Maafkan ibu, ibu sempat membuatmu cemas, ibu juga memaksa kamu untuk tinggal sama ibu, ibu percayakan kau sama Ray. Kalau kau ingin pergi tanpa ibu, tak apa. Ibu izinkan."Ada apa dengan Ibu? Kenapa Ibu mendadak sekali berubah pikiran? Ini tidak seperti Ibu yang kukenal, tetapi justru itu membuatku tidak nyaman. Aku semakin tak mau meninggalkan Ibu sendirian, apa lagi jika harus mengingat kejadian beberapa hari terakhir. "Rara mau pergi sama Ibu, kok, Ibu ikut Rara, kita tinggal sama-sama di kota."Aku akhirnya berujar pasrah, dalam hati berdoa
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi
“Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah
Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s
“Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad
Two Stories, kafe bergaya terbuka itu ternyata menjadi tujuan akhir Lail. Adikku itu bahkan hampir lupa membayar ongkos taxi kalau-kalau tak pak sopir yang mengingatkannya, tubuhnya sudah setengah masuk saat pak sopir memanggilnya kembali.“Oh ya, maaf, Pak.” Ia tersenyum kalem, aku tidak tahu apa yang sudah membuatnya sedemikian tergesanya.Dengan pelan dan penuh perhitungan, aku memilih ikutan masuk. Aku bahkan sampai harus menggunakan sebagian hijab sebagai penutup wajah, sementara kacamata hitam sengaja kubawa dan kupakai guna menyamarkan diri.Lail kali ini tampak seperti kebingungan, bahkan adikku itu sampai memencet hp-nya berkali-kali dan seperti menghubungi orang yang bersangkutan, terlihat dari caranya yang kemudian celingak-celinguk dan beralih duduk di kursi agak sedikit memojok. Ada dua orang yang rupanya sudah menunggunya lebih dulu. Lelaki paruh baya dan wanita masih muda yang sesaat sudah membuatku membeliak sekaligus mengerutkan kening. Mereka … Flo dan Pak Andro? Sesa
Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab
"Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di
"Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men