Ravan? Entah sejak kapan lelaki itu ada di sini, dia membawa alat-alat pancing dan sesaat membuatku paham lalu buru-buru sadar dan turun dari perahu. "Tak usah. " "Eh?" "Tak usah turun, Ra. Duduk saja, Ra. Santai. Saya tidak ingin cepat-cepat mancing kok, paling nanti agak sedikit sorean." Dia berujar santai dan malah memilih duduk di posisi yang berhadapan denganku. Aku jadi tak paham sekaligus entah mengapa mendadak risih. "Suasananya nyaman ya, tenang dan lumayan segar. Kenapa dulu aku tidak tinggal di daerah ini saja, ya?" Rav langsung bercerita tanpa diminta. "Memangnya dulu di tempatmu tidak ada tempat yang seperi ini, Rav?" Rav tertawa, anehnya aku rasa pertanyaanku cukup jujur dan tidak ada yang lucu, karena setahuku Rav juga orang desa anak teman Ibu. Meski tentu sejak kecil aku tidak pernah bermain dengannya dan hal itu menjadi lebih wajar kalau kami sempat menjadi orang asing waktu bertemu di Bogor. "Ya ada sih, Ra, kan sama-sama di Saobi, bedanya dulu rum
"Kau tidak membacanya, 'kan?" Masih diam. "Rav, jawab! kau tidak membacanya, 'kan? Jangan diam aja!" Aku masih berusaha menghujani Rav dengan pertanyaan, bahkan mungkin sudah mirip tuduhan dengan mengatakan kalau Rav harusnya memilih mengembalikan barang pada pemiliknya jika menemukan sesuatu. "Kau tidak punyak hak membuka apalagi membaca diary orang lain, Rav. Kau---" "Kakkkkk, Kak Raraaaa. " Suaraku terpotong teriakan Lail dari kejauhan, aku sempat berpaling kanan kiri dan begitu melihat ke belakang, adikku itu ternyata tengah berlari dengan tangan menunjuk ke rumah. "Ibu ... Ibu ... sa ...." Ia masih berujar di tengah suaranya yang terdengar ngos-ngosan. Aku tidak paham tetapi aku memilih berlari dan Lail juga melakukan hal sama. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Jangan sampai ibu kenapa-napa. Tak ada mata terbuka lebar sambil memegang dada seperti bayangan kekhawatiranku tentang Ibu yang menahan sakit pada bagian dadanya, atau bagaimana mulut menganga seolah kehabi
"Lail ndak tau. Tolong Kakak jangan bilang apa-apa sama Ibu, Lail takut ibu marah." Aku seperti tak peduli dan memilih pulang. Aku harus mencari HP itu, aku harus memastikan tidak ada apa-apa di sana. Aku tidak mau seseorang di masa lalu mengusik ketenangan Ibu dan aku tidak akan membiarkan itu. Bukan tanpa alasan aku berpikir demikian, dulu aku juga pernah mengalami hal sama, teror dari seseorang tentang jati diri Nona Bintang yang akan tersebar jika aku terus bersama Ray. Orang itu entah siapa, ia hanya menerorku melalui SMS dan bukti-bukti foto tentang aku yang memakai jilbab juga aku yang berpakaian layaknya wanita penghibur. Aku sempat benar-benar menjauhi Ray sampai akhirnya Ray sendiri tahu dan dia yang membuatku merasa aman lagi tanpa teror. Entah bagaimana Ray melakukannya, tetapi aku cukup mengucap terima kasih dan selalu memilih bersama Ray jika dibandingkan yang lain, meski tak jarang lelaki itu terkesan menyebalkan. "Kau yakin, Ra?" Ray setengah berbisik ragu setel
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai tidur bersama ibu karena tidak mendapati tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja. Aku tak peduli dan tak mau peduli! Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih, ada juga yang menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rum
"Tidak perlu, Nak Ray, ini udah cukup." Nada Ibu seperti tak enak, saat di mall Ray membelikan kami banyak barang. Apapun yang sempat Ibu, Lail, dan aku pegang langsung Ray masukkan ke kantong belanjaan tanpa bertanya pada kami, setelah itu Ray menyerahkan pada dua pengawal yang sebelumnya sempat menyambut kami di depan pintu masuk kemudian mengawal kami selama belanja. Sebelum ke mall, kami juga sempat ke SMA Darmawakti---sekolah baru Lail, lalu ke pameran lukisan, dan tempat hiburan-hiburan lainnya. Ray tak henti-hentinya tersenyum saat mengenalkanku dengan beberapa pemilik tempat itu yang ternyata juga temannya. Meski kesal, aku hanya pura-pura menanggapi dengan senyum, mengikuti semua perlakuannya itu. Lagipula apa yang bisa aku lakukan? Toh, semuanya hanya akan berakhir jadi ancaman lagi, lebih lagi Lail dan Ibu terlihat senang saat pergi tadi. "Tolong, Bu, ini pertama kalinya Ray belikan ibu secara langsung, tolong diterima." "Tapi ibu tidak suka yang berlebihan, N
"Nak Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya. Nyatanya, sejak siang tadi Ray sudah sempat menghubungiku melalui W******p, mengatakan akan pulang sebelum jam empat sore, tetapi bahkan ini sudah hampir jam delapan malam. [Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.] Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, Ibu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana. "Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Rara tidur sama Ibu, ya?" "Urusan apa? Coba kamu ...." Ibu tak melanjutkan kalimat, ia memilih mengambil hanphone dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru diangkat. "Assa
“Saya dipecat dari pekerjaan saya sebelumnya, Rahma. Nyonya Flo kemudian menawari saya pekerjaan, gajinya juga lumayan, jadi saya tidak mungkin menolak.” Kalimat Rav terdengar ringan, sikapnya terkesan biasa, masih dengan kepala menunduk. Tetapi aku merasa meragukan kalimat Rav. Rav sendiri yang bilang kalau bosnya yang meminta Rav cepat-cepat ke kota. Lalu bagaimana mungkin bosnya yang sekarang tiba-tiba memecat Rav? “Saya sudah tau akan bertemu dengan kamu, Rahma.” Dia tiba-tiba menjawab tanpa ditanya, aku sampai melirik pada Ibu yang posisinya berjauhan dari kami, merasa terlalu bersyukur karena tadi sempat meminta Rav berbicara berdua, kalau tidak Ibu pasti akan mendengar kalimat tak terduga Rav. Semua benar, terlalu kebetulan! “Nyonya Flo mengatakan sendiri pada saya. Nyonya Flo bahkan menunjukkan foto pernikahannya dengan suami kamu.” Ia seperti sengaja menjeda. Tepatnya mungkin juga karena setelahnya Papa Bagas terlihat lewat di samping ruang tengah, aku menjadi menatap ti
Apa Gana menjebakku? Apa dia yang mencampur obat bius pada jus yang aku minum? Kalau memang benar kenapa Gana bisa seberani itu?Aku tahu sekali siapa Gana, Mami Berta menjadikan Gana orang kepercayaan bukan tanpa alasan. Gana tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan Mami Berta, dan tidak menggangguku adalah aturan yang sejak dulu Mami buat untuk Gana, apalagi Gana juga selalu menujukkan tidak pernah mau berurusan dengan keluarga Bagaskara. Tetapi sekarang? Apa dan kenapa?[Kamu sudah pulang, Rahma?] Itu dari nomor asing, aku baru membacanya setelah naik grab. Nomor itu ternyata bukan sekali itu mengirimiku pesan tapi juga semalam? Sekitar jam 21:40, dan hanya berisi kamu kenapa lama di dalam, Ra? Saat melihat di foto profilnya, dia ternyata ... Ravan?Astagfirullah, apa yang sebenarnya sudah Rav ketahui selama ini? Jelas sekali bohong kalau dia tidak tau apa-apa, kehadiran Rav tiba-tiba tadi malam sudah cukup membuktikan itu, ditambah lagi
"Gue pikir lo gak bakal ke sini lagi, Nona. Apa jadi Nyonya Bagaskara masih buat lo belum cukup uang? Atau karena lo kangen gue?"Gana mendekat, merangkul pinggangku, lalu meminta ditambahkan minuman, dua botol minuman sudah dibawa salah satu pelayan, bersamaan dengan Cha dan Pak Andro yang baru saja keluar. Dua orang itu anehnya bersikap seolah tak mengenaliku, Pak Andro terlihat lebih fokus pada Cha yang mabuk."Gue mau lo bantu gue!" Aku sedikit berkelit, mengeluarkan hp lalu menujukkan pada Gana. Gana melirik sekilas lalu langsung mengangkat tangan."Gue gak bisa!" Tubuh Gana bahkan pindah lalu duduk berhadapan denganku."Gan, lo udah menguasai jual beli di dark web maupun situs-situs gelap lainnya. Lo gak mungkin gak bisa.""Kalau lo tau situs-situs itu lo seharusnya bisa belanja sendiri, Nona! Gak perlu minta tolong gue! "Konyol! Selama jadi Nona Bintang aku tak pernah tahu urusan hal-hal seperti itu. Sekalipun p
Ray tidak berbicara denganku lagi. Setelah pertengkaran kami siang tadi, dia lebih banyak diam, atau lebih tepatnya hanya mendiamkanku? Astaga, padahal seharusnya aku yang lebih berhak marah. "Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, jangan saling diam. Hidup berumah tangga itu sudah pasti ada cobaannya."Ibu sampai setengah memperingati, mungkin karena selama di meja makan Ray bersikap tak kalah menyebalkan dibanding aku yang lebih banyak diam. Chayra sendiri sampai menghubungiku berkali-kali. Entah dari mana dia tahu, tapi dia kadang terkesan cerewet.[Teteh dan Kak Ray baik-baik saja, 'kan? Jangan marah sama Kak Ray, Teh. Kak Ray gak salah][Arkan memang suami Cha, Arlis yang bohong. Kalau saja Teteh marah karena salah paham]Sok tahu! Aku bahkan tidak mempermasalahkan dramanya itu, tetapi Cha? Sikap dan penjelasannya itu yang seolah ingin menunjukkan semuanya justru membuatku ada yang tidak beres. Bukankah sesuatu yang ditunjukkan l
“Ramha?”Pak Andro menyebut namaku tapi yang dilihat kemudian adalah Ray, ia bahkan setelahnya berpaling pada Ibu.“Kau di sini sedang apa, Rahma?” Pertanyaannya terkesan wajar, tetapi aku merasa itu lebih sebagai peringatan, lebih lagi setelah melihat tatapan nakalnya.“Bapak mengenal putri saya? Maaf, bapak siapa ya?” Ibu maju satu langkah, mendekat pada pak Andro. Wajah Ibu terlihat kebingungan, Ibu Rana dan Cha sendiri terlihat tak kalah kebingungan, hanya Ray yang seperti membeku dan mematung.“Apa bapak mengenal anak saya?” Ibu sampai bertanya sekali lagi, Pak Andro melihat padanya, senyumnya menyeringai, ia mendekat padaku.“Mengenal? Tentu, tentu saja saya mengenal, bahkan saya sangat mengenal putri anda. Dia–”“Diam!”Ray tiba-tiba mendorong tubuh Pak Andro, menarik lenganku lalu cepat-cepat membawa aku dan Ibu pergi.***flashback Lelaki itu bermata sipit dengan hidung
"Apa ini, Lek? Apa?"Ibu seperti tak percaya, ia menunjuk foto-foto di hadapan kami, foto saat aku menjadi Nona Bintang, foto saat aku bekerja di toko baju, foto saat aku didandani, foto saat Nona Bintang berhadapan dengan banyak lelaki di club dan--"Itu nggak benar Bu, itu nggak benar, jangan percaya!"Aku buru-buru mengambil foto-foto itu, hendak membuangnya tetapi ibu lebih dulu menahan, Matanya kilat menatapku. Jelas sekali ada kemarahan di mata ibu, tetapi sekaligus ada kepedihan di sana. Aku sampai berpaling, tidak berani sekadar bersipandang dengan Ibu."Kalau tidak benar, kenapa bisa ada foto-foto ini. Kenapa? Apa yang sebenarnya Rara sembunyikan dari ibu?”"Tidak ada, Bu, tidak ada yang Rara sembunyikan. Itu pasti editan, ibu jangan percaya. Jangan percaya!"Aku menggeleng cepat, berusaha menyakinkan, tetapi yang ada perasaanku semakin cemas, aku bahkan masih tidak berani sekadar menatap ibu."Kalau memang edit
"Kalian bertengkar? Kenapa? Ada apa?"Ibu bertanya pelan setelah duduk di sampingku. Ini sudah jam 9 malam, seharusnya sudah waktunya istirahat tetapi kegaduhan kami tadi sepertinya sudah cukup menyita perhatian banyak orang termasuk ibu. Aku bahkan seperti melihat lagi tatapan orang-orang yang menatap kami tadi saat berciuman, mungkin bukan sesuatu yang salah karena kami sudah memiliki ikatan suami istri, tapi tidak dengan di depan banyak orang, apalagi aku terbiasa hidup di desa dengan aturan-aturan yang masih terlalu tabu untuk hal-hal seperti itu. rasa-rasanya itu tak lebih dari dilemparkan kotoran ke wajahku. "Kami tidak kenapa-kenapa, Bu, kami hanya sedang salah paham saja, kami sudah baikan." Aku seolah tidak mau membahas lebih lanjut, Ibu menatap sekilas tetapi setelahnya dia mengeluarkan hp dari saku bajunya. Hp android dengan casing warna tosca dan gambar kucing, hp itu ..."Ini hp Rara!" Aku merebut hp itu cepat, Ibu sempat mendelik s
[Batalkan pernikahan! Atau lo akan lihat semua orang tau siapa Nona Bintang!]Nomor asing, tanpa salam dan tanpa kalimat pembuka, entah siapa, tapi kalimat pertamanya sudah cukup membuatku dipenuhi dugaan-dugaan buruk.[Gw kasih lo waktu satu Minggu, klo Lo berulah gw pastikan ibu lo tau siapa Nona Bintang!]Setelahnya foto-foto tentang aku orang itu kirim disertai SMS terakhir dirinya dengan Ibu? Astagfirullah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah aku bahkan sudah mengganti nomor Ibu sebelum ke kota? Jaringan di desa kami jelas-jelas berbeda dengan jaringan di kota Bogor tempat kami sekarang. Apalagi Ini belum genap dua Minggu setelah aku membantu ibu mengganti nomornya, orang-orang yang pernah punya nomor lama ibu saja belum sepenuhnya tahu nomor ibu yang baru. Lalu bagaimana---"Kenapa, Ra?"Sampai Ray yang sejak tadi seperti sibuk dengan laptopnya entah sejak kapan sudah pindah dan duduk di sampingku, ia menatapku seperti kehe
"Pulang? Kenapa?" Ray tampak kaget, aku sendiri tak kalah kaget. Dokter Nay tiba-tiba mengatakan ingin pulang, mengejutkannya lagi sebelum itu dia mengatakan ingin resign? "Akan saya kirimkan teman yang bisa jadi perawat sekaligus dokter pribadi untuk Ibu Fatimah, Ray." "Tapi kenapa? Ada apa, Dok? Apa karena Flo?" Ray lagi-lagi menelisik. "Gak ada hubungannya sama si kunyuk itu! Lo pikir gue bisa dikendalikan dan diatur-oleh oleh dia?! Gue gak sebegok itu!" Dokter Nay malah terdengar emosi, aku dan Ray jadi saling pandang. "Dokter boleh pulang, tapi tidak boleh berhenti bekerja. Tidak apa-apa ambil cuti beberapa hari, nanti kalau sudah berubah pikiran silakan kembali lagi, tapi kalau memang tidak bisa saya akan cari dokter pengganti." Ray akhirnya mengalah, Dokter Nay langsung bangkit setelah itu, tanpa melihat pada kami lalu berbalik pergi. "Cari tau keadaan keluarga Dokter Nayna, secepatnya!" Ray mengajakku ikutan bangkit setelah mengatakan itu di telpon. Tapi begi
"Dokter Nayyyy. Dokterrrr." Lail berteriak-teriak nyaring, kakinya setengah berlari sambil menengok kanan kiri, ia padahal sempat izin untuk tidak sarapan bersama, katanya harus menyelesaikan PR yang belum selesai, aku sempat memarahi Lail, mengatakan untuk mengisi perut kosongnya lalu bersiap menyiapkan bekal untuk Lail agar bisa dia makan saat perjalanan diantar Mang Ujang nanti, tapi begitu keluar kamar, bukannya langsung meraih bekal yang aku sediakan, Lail malah berlari-lari mencari Dokter Nay. Aku sempat melihat ia memegang kertas di sebelah tangannya tapi dengan cepat dia sembunyikan begitu melihatku. "Dokter Nay mana, kak?" "Dokter Nay baru saja pergi, Lail, mungkin sedang bareng Ibu sekarang, kami baru saja selesai sarapan." Aku sengaja mengatakan sarapan, agar Lail sadar dan mengambil bekal lalu segera berangkat, tapi bukannya sadar, adikku itu malah berlari lagi sambil kembali memanggil-manggil Dokter Nay. "Lailll! " Aku berusaha mengejar, tapi entah bagaimana aku ma