Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray?
Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan ....Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban?Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, Bu?”“Ini aku, Kak Rahma, Laila.”“Oh kamu, Dik. Ya?”“Kakak sehat?”“Ya, Alhamdulillah.”“Kakak mau pulang tahun ini?”“Iya, Dik.”Tentu, idul fitri kemarin aku tidak pulang, bagaimana mungkin sekarang tidak lagi? Meski dalam waktu dekat ini tidak ada perayaan-perayaan tertentu tapi setahun lalu aku pernah bilang akan pulang setahun lagi dan itu artinya tahun ini. Aku tidak mau lagi-lagi hanya memberi harapan tak pasti pada Lail terutama pada Ibu.“Pastikan, ya, Kak, kami sudah kangen.”Kali ini suaranya lebih pelan dan seperti menahan tangis? Ada apa dengannya? Apa dia secengeng itu?“Pasti, tapi kau baik-baik saja, ‘kan?”“Kami kangen Kakak, Ibu juga sampai—”“Sampai apa, Dik? Ibu tidak apa-apa, ‘kan? Beliau sehat, ‘kan? Bagaimana dengan obatnya? Jangan sampai habis. Bilang sama Kakak kalau sudah tinggal sedikit, biar lebih dulu dipesankan.”Aku tidak bisa lagi menahan bibirku dari buruan pertanyaan. Aku meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit dan itu jelas tidak tidak perlu lagi ada pertanyaan mengapa aku terkesan khawatir, aku tak mau Ibu kenapa-napa.“Ibu baik-baik saja, Kak. Tapi ....”Sampai di situ Lail menggantung kalimatnya lagi. Aku menunggu dengan cemas, remasan sebelah tanganku yang lain bahkan sampai membuat ujung bajuku mengkerut. Namun, sampai beberapa menit masih saja tak ada kelanjutan kalimat dari Lail. Aduh, Dik, ayolah … jangan siksa kakak dengan kecemasan ini.“Kalau Kakak sudah cukup uang, Lail lebih senang Kakak pulang. Tidak perlu banyak ole-ole, kedatangan Kakak adalah oleh-oleh terbaik untuk kami, kami rindu, Kak.”Tidak, ini pasti bohong! Aku menangkap ada sesuatu yang disembunyikan adikku itu. Apa ia sudah sepintar itu membohongiku? Umurnya baru tujuh belas tahun, apa kecerdasannya mendewasakan cara berpikirnya juga? Oh ayolah, tidak selamanya berbohong dalam keadaan seperti ini dikatakan dewasa juga, bukan? Aku tak suka bila itu berhubungan dengan Ibu, dan Lail yang pernah tinggal belasan tahun denganku pasti lebih tahu alasannya!“Tunggu sajalah, tidak mungkin satu minggu Kakak pastikan sudah ada di sana.”“InsyaAllah, Kak.”Ia seolah menohokku dengan ucapannya. Ah, sepertinya aku sudah terlalu terbiasa tanpa ucapan itu. Padahal ini sosok Rahma.“Ya, insyaAllah dalam satu minggu.”“Aamiin semoga sampai, ya. Assalamualaikum.”“Wa’alaikum salam.”Sudah itu aku langsung menyudahinya. Bertanya tentang Ibu pada Lail? Tidak! Bocah itu sudah terlalu pintar sekarang. Aku tidak tahu apa karena ia mewarisi kepintaran itu dari Ibu. Selalu mengatakan baik-baik saja, sekalipun aku tahu tak selamanya defenisi baik menunjukkan keadaan sebenarnya, bahkan kadang harus bertolak belakang dengan kenyatannya.Tuhan ... apa lagi ini? Setelah kesalahan hubungan yang tadi kulakukan tanpa memakai kondom, Engkau hendak menumpukinya dengan Ibu? Namun ... oh tidak, itu dua hal yang berbeda, kond*m itu milik Nona Bintang dan Ibu milik Rahma.Sedikit kulirik angka yang tertera dalam buku ATM.75 juta tiga ratus lima puluh lima ribu. Lumayan dan kurasa cukup untuk oleh-oleh pulang dan modal warung kecil-kecilan buat Ibu sekaligus percetakan undangan sesuai feshionku.Tentu saja setelah sebelumnya aku memisahkan nominal paling besar, aku tidak mau ibu mencurigaiku karena jumlah uang yang tak wajar. Aku hanya perlu menyimpan uang itu sekadar berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tak diinginkan.Mulai kumasukkan lagi dalam dompet, memperhatikan lemari yang sebentar lagi pasti kosong, keputusanku sudah final. Pu-la-ng.***[Kamu beneran mau berhenti, Nona?][Ya, Mami][Apa karena ada yang tau identitasmu?][No, Mami. Nona hanya ingin pulang. Nona ingin tinggal di kampung saja][Oh ... puji Tuhan, Nona. Semoga cepat sampai, titip salam buat ibumu.][Terima kasih, Mami. Tolong juga jangan sampai Ray tau, bilang saja untuk beberapa malam ini banyak yang membooking Nona][Kenapa?][Nona hanya tak ingin dia tau saja]Lama tak ada balasan, sepertinya Mami keheranan.[Oh ya, baiklah] lanjutnya setelah hampir dua menit.Deretan SMS itu sedikit melegakan juga, mungkin sekitar lima hari lagi semuanya benar-benar beres dan aku berada di rumah, tetapi dunia Nona Bintang harus kuakhiri lebih dulu.Semuanya lebih mudah ternyata, tak ada jeratan dan Mami cukup memberi kebebasan. Hampir tak jauh beda saat pertama kali bibirku mengucapkan keinginan itu pada Mami."Anda Berta Dellica ...?""Ya?" Wanita masih muda itu memperhatikanku yang sudah basah kuyup dimandikan hujan. Tapi itu bukan hujan, semuanya lebih mirip salju yang meningkahi tubuhku, badanku sampai bergetar dengan bibir yang barangkali sudah kebiruan. Mami Berta segera membawaku masuk, lebih tepatnya setelah aku memberitakukan namaku. Ia memberiku handuk kecil dan kopi panas."Oh jadi kau Nona Bintang?" Ia mengulangi pertanyaan yang sama. Aku juga memberitahukan nama itu tadi melalui WA."Iya, Tante.""Jangan panggil Tante, Mami saja. Mami Berta."Ia tersenyum memperlihatkan cetakan lesung di kedua pipinya. Rambutnya pirang dengan dagu sedikit lebar dan hidung mancung, netranya berwarna kebiruan seperti mata kucing, tetapi terlihat pas dipadukan warna kulitnya yang putih seputih salju. Perempuan ini lebih mirip orang luar negri."Kau benar ingin kerja denganku?"Ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama saat di WA tadi. Beberapa hari lalu aku sudah terlalu sibuk mencari infonya, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya, bukan? Aku mengangguk mantap."Saya siap, Tan-Mami," ralatku cepat. Dia tersenyum lagi. Ramah dan cukup manis."Tapi kau tau pekerjaan apa, bukan?""Saya tau dan saya sudah pernah membicarakan ini dengan Mami, bukan?"Aku sudah bersikap santai, mengikuti nada bicaranya yang lembut. Ia tersenyum lagi. Sepertinya perempuan ini benar-benar memiliki sejuta senyum."Oh ya, baiklah, tapi kau pasti mengerti apa yang harus kau ubah dari penampilanmu. Terutama kain yang menutupi kepalamu itu."Ia sedikit menunjuk jilbabku dengan tatapannya, bicaranya terkesan hati-hati dan sopan. Apa sebaik itukah perempuan ini? Sepertinya aku akan betah kerja di sini."Oh ini? Yah ... tak apa."Perlahan aku memegang jilbab lantas melepasnya. Seluruh persendianku entah apa ikut merosot lalu patah, bumi juga berhenti berputar dengan detakan dadaku yang entah apa seperti mendadak berhenti. Sejenak, Tuhan seperti mengambil seluruh napasku saat ini juga. Apa sesakit inikah melepas benda yang dinamakan kain penutup itu oleh Mami Berta?Ini baru sedetik tanpa yang bukan muhrim melihatnya, lalu bagaimana jika mereka yang melihatnya, lalu menyatukan tubuh denganku dan ... seperti ada ribuan jarum yang mendadak menusuk-nusuk dadaku, perih dan ... Allah ...."Kau tak apa?"Mami Berta memegang pundakku. Perempuan itu ternyata sudah berpindah pada kursi yang kududi agar lebih dekat."Ini memang berat, Nona. Tapi jika kau ikhlas kau akan menjalaninya dengan baik."Ia mengatakan ikhlas? Apa arti ikhlas masih berlaku saat aku menyerahkan diri dalam pekerjaan kotor seperti ini? Aku tak pernah menginginkan itu kalau saja luka tak jerat aku dengan keterpaksaan. Nominal yang tiap bulan bosku kasih di toko baju,tulisan yang tak rampung-rampung lalu sekalinya rampung selalu mendapat penolakan dari meja redaksi. Lebih lagi bila ingat bagaimana tangis Lail dan tubuh ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit.Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang mengurus, dan jantungnya yang tidak sedang baik-baik saja itu, apakah aku bisa mengalahkan ego untuk tak melindunginya? Apa yang lebih penting dari sekadar cinta untuknya? Ribuan bantahan itu entah dari mana mulai berebutan memasuki rongga dadaku. Ini lebih menyakitkan dari yang kubayangkan, sepertinya aku perlu berdamai dengan luka."Saya bisa, Mami, saya yakin bisa. Lagi pun apa yang tidak bisa jika itu Nona Bintang?"Aku mengangkat wajah lalu menatap Mami Berta tepat pada bagian matanya. Wanita itu menyunggingkan senyum, tapi matanya yang tadi menatapku lebih terlihat meneduhkan dengan mata sedikit berkaca-kaca."Tidak semua alasan bisa menjawab kata adil, bukan? Seberapapun kita mencari alasannya. Hanya ada satu jawaban dalam hati tentang keluhan kenapa harus terjadi?"Ia bangkit lantas entah apa mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyodorkan padaku."Apa ini cukup, Nona? Kau bisa memakainya dulu, barangkali kau bisa menemukan pekerjaan yang bisa membuatmu mengubah keputusanmu."Aku mendongak dengan mata sedikit mendelik. Entah apa yang Mami pikirkan tentangku. Aku mendadak tersenyum sinis, aku datang untuk bekerja bukan untuk dikasihani, lagi pun tak ada yang gratis. setidaknya itu yang kutahu. Kuberikan uang itu lagi padanya. Ia tak langsung mengambil sampai kupilih meletakkannya di atas meja."Saya siap bekerja, ini sudah jauh hari saya pikirkan. Saya tak mungkin salah mengambil keputusan, Mami."Aku menegaskan kalimat pada tiap kata 'saya', seolah semuanya benar-benar menunjukkan jati diriku yang siap akan konsekunsinya.Bibirku sudah membentuk senyum yang sama dengannya. Oh sepertinya aku cukup pintar belajar dari gerakan kepura-puraan itu.Mami berta menatapku dengan mata mengawasi, tapi sejenak kemudian tersenyum lagi dan mengangkat kepalanya."Kau rupanya cukup pintar, Nona. Senyummu cepat sekali belajar dariku."Ia mengakhiri ucapannya sembari memasukkan uangnya lagi. Tangannya terangkat lalu melambai."Reni!""Ya, Mami?"Laki-laki berpakaian t-shir buru-buru keluar, celananya ketat dengan bando di bagian rambutnya yang panjang bergelombang. Ia menatapku setelah sebelumnya mengerling pada Mami Berta. Tangannya memegang kipas bulu yang sesekali ia kibaskan padaku."Yu cantik, manis!" ujarnya sebelum akhirnya menuntunku ke ruang rias."Kau harus berhias. Nanti aku pilihkan pelanggan terbaik di hari pertamamu kerja."Mami berta sempat masuk dan hanya berujar itu. Setelahnya wanita berkulit salju itu pergi entah ke mana."Iyke yang menghias yu, Nona.Tenang saja, iyke tak suka perempuan. Iyke normal."Nada bicaranya yang sengaja dimerdukan layaknya perempuan membuatku mau tak mau menahan tawa. Oh, dia banci rupanya, lalu siapa yang harus aku layani? Dia mungkin lelaki pertama yang bisa membuat sejarah tersendiri dalam dunia Nona Bintang, tetapi tentu saja bukan berarti bisa mendapatkan keperawananku. Karena sejak awal semuanya sudah terenggut."Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng.""Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku. Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi."Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu.""Hem, ya, Bu. Makasih."Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot."Jangan lupa sama kami, Rahma."Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja sendirian
"Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut?Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama."Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa."Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku.Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih slop hak
Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me
"Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama
“Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray?“Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan tatapa
Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t
"Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya
“Jadilah pakaian yang baik untuk suamimu, Lek, menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas.” Ibu membisikkan kalimat itu setelah Ray resmi mengucapkan ijab qabul. Pelukannya erat disertai mata berkaca-kaca. Ibu Darsi, Lail, dan Chayra juga baru saja memelukku dan memberi banyak pesan. Make up mereka bahkan jadi agak luntur.Detik setelah itu, aku sudah harus menahan lelah karena terlalu banyak duduk atau berdiri menghadap para undangan saat pajangan pengantin. Berbagai hiasan, tarub juga hiburan ludruk digelar di depan rumah. Semuanya sesuai dengan keputusan keluargaku dan Ray beberapa hari lalu. Aku tak tahu bagaimana cara menolaknya, bahkan sekadar menggantinya pada qosidah sederhana dan mengundang beberapa orang.“Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup. Ia momen paling terpenting dan karenanya ibu ingin pernikahan anak Ibu mendapatkan yang terbaik. Lagipula jangan menolak tradisi dan adat bila merasa mampu, tak baik. Pamali!” katanya yang membuatku mau tak mau m
“Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah
Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s
“Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad
Two Stories, kafe bergaya terbuka itu ternyata menjadi tujuan akhir Lail. Adikku itu bahkan hampir lupa membayar ongkos taxi kalau-kalau tak pak sopir yang mengingatkannya, tubuhnya sudah setengah masuk saat pak sopir memanggilnya kembali.“Oh ya, maaf, Pak.” Ia tersenyum kalem, aku tidak tahu apa yang sudah membuatnya sedemikian tergesanya.Dengan pelan dan penuh perhitungan, aku memilih ikutan masuk. Aku bahkan sampai harus menggunakan sebagian hijab sebagai penutup wajah, sementara kacamata hitam sengaja kubawa dan kupakai guna menyamarkan diri.Lail kali ini tampak seperti kebingungan, bahkan adikku itu sampai memencet hp-nya berkali-kali dan seperti menghubungi orang yang bersangkutan, terlihat dari caranya yang kemudian celingak-celinguk dan beralih duduk di kursi agak sedikit memojok. Ada dua orang yang rupanya sudah menunggunya lebih dulu. Lelaki paruh baya dan wanita masih muda yang sesaat sudah membuatku membeliak sekaligus mengerutkan kening. Mereka … Flo dan Pak Andro? Sesa
Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab
"Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di
"Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men