Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray?
Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan ....Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban?Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, Bu?”“Ini aku, Kak Rahma, Laila.”“Oh kamu, Dik. Ya?”“Kakak sehat?”“Ya, Alhamdulillah.”“Kakak mau pulang tahun ini?”“Iya, Dik.”Tentu, idul fitri kemarin aku tidak pulang, bagaimana mungkin sekarang tidak lagi? Meski dalam waktu dekat ini tidak ada perayaan-perayaan tertentu tapi setahun lalu aku pernah bilang akan pulang setahun lagi dan itu artinya tahun ini. Aku tidak mau lagi-lagi hanya memberi harapan tak pasti pada Lail terutama pada Ibu.“Pastikan, ya, Kak, kami sudah kangen.”Kali ini suaranya lebih pelan dan seperti menahan tangis? Ada apa dengannya? Apa dia secengeng itu?“Pasti, tapi kau baik-baik saja, ‘kan?”“Kami kangen Kakak, Ibu juga sampai—”“Sampai apa, Dik? Ibu tidak apa-apa, ‘kan? Beliau sehat, ‘kan? Bagaimana dengan obatnya? Jangan sampai habis. Bilang sama Kakak kalau sudah tinggal sedikit, biar lebih dulu dipesankan.”Aku tidak bisa lagi menahan bibirku dari buruan pertanyaan. Aku meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit dan itu jelas tidak tidak perlu lagi ada pertanyaan mengapa aku terkesan khawatir, aku tak mau Ibu kenapa-napa.“Ibu baik-baik saja, Kak. Tapi ....”Sampai di situ Lail menggantung kalimatnya lagi. Aku menunggu dengan cemas, remasan sebelah tanganku yang lain bahkan sampai membuat ujung bajuku mengkerut. Namun, sampai beberapa menit masih saja tak ada kelanjutan kalimat dari Lail. Aduh, Dik, ayolah … jangan siksa kakak dengan kecemasan ini.“Kalau Kakak sudah cukup uang, Lail lebih senang Kakak pulang. Tidak perlu banyak ole-ole, kedatangan Kakak adalah oleh-oleh terbaik untuk kami, kami rindu, Kak.”Tidak, ini pasti bohong! Aku menangkap ada sesuatu yang disembunyikan adikku itu. Apa ia sudah sepintar itu membohongiku? Umurnya baru tujuh belas tahun, apa kecerdasannya mendewasakan cara berpikirnya juga? Oh ayolah, tidak selamanya berbohong dalam keadaan seperti ini dikatakan dewasa juga, bukan? Aku tak suka bila itu berhubungan dengan Ibu, dan Lail yang pernah tinggal belasan tahun denganku pasti lebih tahu alasannya!“Tunggu sajalah, tidak mungkin satu minggu Kakak pastikan sudah ada di sana.”“InsyaAllah, Kak.”Ia seolah menohokku dengan ucapannya. Ah, sepertinya aku sudah terlalu terbiasa tanpa ucapan itu. Padahal ini sosok Rahma.“Ya, insyaAllah dalam satu minggu.”“Aamiin semoga sampai, ya. Assalamualaikum.”“Wa’alaikum salam.”Sudah itu aku langsung menyudahinya. Bertanya tentang Ibu pada Lail? Tidak! Bocah itu sudah terlalu pintar sekarang. Aku tidak tahu apa karena ia mewarisi kepintaran itu dari Ibu. Selalu mengatakan baik-baik saja, sekalipun aku tahu tak selamanya defenisi baik menunjukkan keadaan sebenarnya, bahkan kadang harus bertolak belakang dengan kenyatannya.Tuhan ... apa lagi ini? Setelah kesalahan hubungan yang tadi kulakukan tanpa memakai kondom, Engkau hendak menumpukinya dengan Ibu? Namun ... oh tidak, itu dua hal yang berbeda, kond*m itu milik Nona Bintang dan Ibu milik Rahma.Sedikit kulirik angka yang tertera dalam buku ATM.75 juta tiga ratus lima puluh lima ribu. Lumayan dan kurasa cukup untuk oleh-oleh pulang dan modal warung kecil-kecilan buat Ibu sekaligus percetakan undangan sesuai feshionku.Tentu saja setelah sebelumnya aku memisahkan nominal paling besar, aku tidak mau ibu mencurigaiku karena jumlah uang yang tak wajar. Aku hanya perlu menyimpan uang itu sekadar berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tak diinginkan.Mulai kumasukkan lagi dalam dompet, memperhatikan lemari yang sebentar lagi pasti kosong, keputusanku sudah final. Pu-la-ng.***[Kamu beneran mau berhenti, Nona?][Ya, Mami][Apa karena ada yang tau identitasmu?][No, Mami. Nona hanya ingin pulang. Nona ingin tinggal di kampung saja][Oh ... puji Tuhan, Nona. Semoga cepat sampai, titip salam buat ibumu.][Terima kasih, Mami. Tolong juga jangan sampai Ray tau, bilang saja untuk beberapa malam ini banyak yang membooking Nona][Kenapa?][Nona hanya tak ingin dia tau saja]Lama tak ada balasan, sepertinya Mami keheranan.[Oh ya, baiklah] lanjutnya setelah hampir dua menit.Deretan SMS itu sedikit melegakan juga, mungkin sekitar lima hari lagi semuanya benar-benar beres dan aku berada di rumah, tetapi dunia Nona Bintang harus kuakhiri lebih dulu.Semuanya lebih mudah ternyata, tak ada jeratan dan Mami cukup memberi kebebasan. Hampir tak jauh beda saat pertama kali bibirku mengucapkan keinginan itu pada Mami."Anda Berta Dellica ...?""Ya?" Wanita masih muda itu memperhatikanku yang sudah basah kuyup dimandikan hujan. Tapi itu bukan hujan, semuanya lebih mirip salju yang meningkahi tubuhku, badanku sampai bergetar dengan bibir yang barangkali sudah kebiruan. Mami Berta segera membawaku masuk, lebih tepatnya setelah aku memberitakukan namaku. Ia memberiku handuk kecil dan kopi panas."Oh jadi kau Nona Bintang?" Ia mengulangi pertanyaan yang sama. Aku juga memberitahukan nama itu tadi melalui WA."Iya, Tante.""Jangan panggil Tante, Mami saja. Mami Berta."Ia tersenyum memperlihatkan cetakan lesung di kedua pipinya. Rambutnya pirang dengan dagu sedikit lebar dan hidung mancung, netranya berwarna kebiruan seperti mata kucing, tetapi terlihat pas dipadukan warna kulitnya yang putih seputih salju. Perempuan ini lebih mirip orang luar negri."Kau benar ingin kerja denganku?"Ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama saat di WA tadi. Beberapa hari lalu aku sudah terlalu sibuk mencari infonya, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya, bukan? Aku mengangguk mantap."Saya siap, Tan-Mami," ralatku cepat. Dia tersenyum lagi. Ramah dan cukup manis."Tapi kau tau pekerjaan apa, bukan?""Saya tau dan saya sudah pernah membicarakan ini dengan Mami, bukan?"Aku sudah bersikap santai, mengikuti nada bicaranya yang lembut. Ia tersenyum lagi. Sepertinya perempuan ini benar-benar memiliki sejuta senyum."Oh ya, baiklah, tapi kau pasti mengerti apa yang harus kau ubah dari penampilanmu. Terutama kain yang menutupi kepalamu itu."Ia sedikit menunjuk jilbabku dengan tatapannya, bicaranya terkesan hati-hati dan sopan. Apa sebaik itukah perempuan ini? Sepertinya aku akan betah kerja di sini."Oh ini? Yah ... tak apa."Perlahan aku memegang jilbab lantas melepasnya. Seluruh persendianku entah apa ikut merosot lalu patah, bumi juga berhenti berputar dengan detakan dadaku yang entah apa seperti mendadak berhenti. Sejenak, Tuhan seperti mengambil seluruh napasku saat ini juga. Apa sesakit inikah melepas benda yang dinamakan kain penutup itu oleh Mami Berta?Ini baru sedetik tanpa yang bukan muhrim melihatnya, lalu bagaimana jika mereka yang melihatnya, lalu menyatukan tubuh denganku dan ... seperti ada ribuan jarum yang mendadak menusuk-nusuk dadaku, perih dan ... Allah ...."Kau tak apa?"Mami Berta memegang pundakku. Perempuan itu ternyata sudah berpindah pada kursi yang kududi agar lebih dekat."Ini memang berat, Nona. Tapi jika kau ikhlas kau akan menjalaninya dengan baik."Ia mengatakan ikhlas? Apa arti ikhlas masih berlaku saat aku menyerahkan diri dalam pekerjaan kotor seperti ini? Aku tak pernah menginginkan itu kalau saja luka tak jerat aku dengan keterpaksaan. Nominal yang tiap bulan bosku kasih di toko baju,tulisan yang tak rampung-rampung lalu sekalinya rampung selalu mendapat penolakan dari meja redaksi. Lebih lagi bila ingat bagaimana tangis Lail dan tubuh ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit.Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang mengurus, dan jantungnya yang tidak sedang baik-baik saja itu, apakah aku bisa mengalahkan ego untuk tak melindunginya? Apa yang lebih penting dari sekadar cinta untuknya? Ribuan bantahan itu entah dari mana mulai berebutan memasuki rongga dadaku. Ini lebih menyakitkan dari yang kubayangkan, sepertinya aku perlu berdamai dengan luka."Saya bisa, Mami, saya yakin bisa. Lagi pun apa yang tidak bisa jika itu Nona Bintang?"Aku mengangkat wajah lalu menatap Mami Berta tepat pada bagian matanya. Wanita itu menyunggingkan senyum, tapi matanya yang tadi menatapku lebih terlihat meneduhkan dengan mata sedikit berkaca-kaca."Tidak semua alasan bisa menjawab kata adil, bukan? Seberapapun kita mencari alasannya. Hanya ada satu jawaban dalam hati tentang keluhan kenapa harus terjadi?"Ia bangkit lantas entah apa mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyodorkan padaku."Apa ini cukup, Nona? Kau bisa memakainya dulu, barangkali kau bisa menemukan pekerjaan yang bisa membuatmu mengubah keputusanmu."Aku mendongak dengan mata sedikit mendelik. Entah apa yang Mami pikirkan tentangku. Aku mendadak tersenyum sinis, aku datang untuk bekerja bukan untuk dikasihani, lagi pun tak ada yang gratis. setidaknya itu yang kutahu. Kuberikan uang itu lagi padanya. Ia tak langsung mengambil sampai kupilih meletakkannya di atas meja."Saya siap bekerja, ini sudah jauh hari saya pikirkan. Saya tak mungkin salah mengambil keputusan, Mami."Aku menegaskan kalimat pada tiap kata 'saya', seolah semuanya benar-benar menunjukkan jati diriku yang siap akan konsekunsinya.Bibirku sudah membentuk senyum yang sama dengannya. Oh sepertinya aku cukup pintar belajar dari gerakan kepura-puraan itu.Mami berta menatapku dengan mata mengawasi, tapi sejenak kemudian tersenyum lagi dan mengangkat kepalanya."Kau rupanya cukup pintar, Nona. Senyummu cepat sekali belajar dariku."Ia mengakhiri ucapannya sembari memasukkan uangnya lagi. Tangannya terangkat lalu melambai."Reni!""Ya, Mami?"Laki-laki berpakaian t-shir buru-buru keluar, celananya ketat dengan bando di bagian rambutnya yang panjang bergelombang. Ia menatapku setelah sebelumnya mengerling pada Mami Berta. Tangannya memegang kipas bulu yang sesekali ia kibaskan padaku."Yu cantik, manis!" ujarnya sebelum akhirnya menuntunku ke ruang rias."Kau harus berhias. Nanti aku pilihkan pelanggan terbaik di hari pertamamu kerja."Mami berta sempat masuk dan hanya berujar itu. Setelahnya wanita berkulit salju itu pergi entah ke mana."Iyke yang menghias yu, Nona.Tenang saja, iyke tak suka perempuan. Iyke normal."Nada bicaranya yang sengaja dimerdukan layaknya perempuan membuatku mau tak mau menahan tawa. Oh, dia banci rupanya, lalu siapa yang harus aku layani? Dia mungkin lelaki pertama yang bisa membuat sejarah tersendiri dalam dunia Nona Bintang, tetapi tentu saja bukan berarti bisa mendapatkan keperawananku. Karena sejak awal semuanya sudah terenggut."Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng." "Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku. Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi. "Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu." "Hem, ya, Bu. Makasih." Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot. "Jangan lupa sama kami, Rahma." Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja se
"Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut? Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama. "Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa." Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku. Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih sl
Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me
"Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama
“Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray? “Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan
Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t
"Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya
“Jadilah pakaian yang baik untuk suamimu, Lek, menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas.” Ibu membisikkan kalimat itu setelah Ray resmi mengucapkan ijab qabul. Pelukannya erat disertai mata berkaca-kaca. Ibu Darsi, Lail, dan Chayra juga baru saja memelukku dan memberi banyak pesan. Make up mereka bahkan jadi agak luntur.Detik setelah itu, aku sudah harus menahan lelah karena terlalu banyak duduk atau berdiri menghadap para undangan saat pajangan pengantin. Berbagai hiasan, tarub juga hiburan ludruk digelar di depan rumah. Semuanya sesuai dengan keputusan keluargaku dan Ray beberapa hari lalu. Aku tak tahu bagaimana cara menolaknya, bahkan sekadar menggantinya pada qosidah sederhana dan mengundang beberapa orang.“Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup. Ia momen paling terpenting dan karenanya ibu ingin pernikahan anak Ibu mendapatkan yang terbaik. Lagipula jangan menolak tradisi dan adat bila merasa mampu, tak baik. Pamali!” katanya yang membuatku mau tak mau m
Apa Gana menjebakku? Apa dia yang mencampur obat bius pada jus yang aku minum? Kalau memang benar kenapa Gana bisa seberani itu?Aku tahu sekali siapa Gana, Mami Berta menjadikan Gana orang kepercayaan bukan tanpa alasan. Gana tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan Mami Berta, dan tidak menggangguku adalah aturan yang sejak dulu Mami buat untuk Gana, apalagi Gana juga selalu menujukkan tidak pernah mau berurusan dengan keluarga Bagaskara. Tetapi sekarang? Apa dan kenapa?[Kamu sudah pulang, Rahma?] Itu dari nomor asing, aku baru membacanya setelah naik grab. Nomor itu ternyata bukan sekali itu mengirimiku pesan tapi juga semalam? Sekitar jam 21:40, dan hanya berisi kamu kenapa lama di dalam, Ra? Saat melihat di foto profilnya, dia ternyata ... Ravan?Astagfirullah, apa yang sebenarnya sudah Rav ketahui selama ini? Jelas sekali bohong kalau dia tidak tau apa-apa, kehadiran Rav tiba-tiba tadi malam sudah cukup membuktikan itu, ditambah lagi
"Gue pikir lo gak bakal ke sini lagi, Nona. Apa jadi Nyonya Bagaskara masih buat lo belum cukup uang? Atau karena lo kangen gue?"Gana mendekat, merangkul pinggangku, lalu meminta ditambahkan minuman, dua botol minuman sudah dibawa salah satu pelayan, bersamaan dengan Cha dan Pak Andro yang baru saja keluar. Dua orang itu anehnya bersikap seolah tak mengenaliku, Pak Andro terlihat lebih fokus pada Cha yang mabuk."Gue mau lo bantu gue!" Aku sedikit berkelit, mengeluarkan hp lalu menujukkan pada Gana. Gana melirik sekilas lalu langsung mengangkat tangan."Gue gak bisa!" Tubuh Gana bahkan pindah lalu duduk berhadapan denganku."Gan, lo udah menguasai jual beli di dark web maupun situs-situs gelap lainnya. Lo gak mungkin gak bisa.""Kalau lo tau situs-situs itu lo seharusnya bisa belanja sendiri, Nona! Gak perlu minta tolong gue! "Konyol! Selama jadi Nona Bintang aku tak pernah tahu urusan hal-hal seperti itu. Sekalipun p
Ray tidak berbicara denganku lagi. Setelah pertengkaran kami siang tadi, dia lebih banyak diam, atau lebih tepatnya hanya mendiamkanku? Astaga, padahal seharusnya aku yang lebih berhak marah. "Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, jangan saling diam. Hidup berumah tangga itu sudah pasti ada cobaannya."Ibu sampai setengah memperingati, mungkin karena selama di meja makan Ray bersikap tak kalah menyebalkan dibanding aku yang lebih banyak diam. Chayra sendiri sampai menghubungiku berkali-kali. Entah dari mana dia tahu, tapi dia kadang terkesan cerewet.[Teteh dan Kak Ray baik-baik saja, 'kan? Jangan marah sama Kak Ray, Teh. Kak Ray gak salah][Arkan memang suami Cha, Arlis yang bohong. Kalau saja Teteh marah karena salah paham]Sok tahu! Aku bahkan tidak mempermasalahkan dramanya itu, tetapi Cha? Sikap dan penjelasannya itu yang seolah ingin menunjukkan semuanya justru membuatku ada yang tidak beres. Bukankah sesuatu yang ditunjukkan l
“Ramha?”Pak Andro menyebut namaku tapi yang dilihat kemudian adalah Ray, ia bahkan setelahnya berpaling pada Ibu.“Kau di sini sedang apa, Rahma?” Pertanyaannya terkesan wajar, tetapi aku merasa itu lebih sebagai peringatan, lebih lagi setelah melihat tatapan nakalnya.“Bapak mengenal putri saya? Maaf, bapak siapa ya?” Ibu maju satu langkah, mendekat pada pak Andro. Wajah Ibu terlihat kebingungan, Ibu Rana dan Cha sendiri terlihat tak kalah kebingungan, hanya Ray yang seperti membeku dan mematung.“Apa bapak mengenal anak saya?” Ibu sampai bertanya sekali lagi, Pak Andro melihat padanya, senyumnya menyeringai, ia mendekat padaku.“Mengenal? Tentu, tentu saja saya mengenal, bahkan saya sangat mengenal putri anda. Dia–”“Diam!”Ray tiba-tiba mendorong tubuh Pak Andro, menarik lenganku lalu cepat-cepat membawa aku dan Ibu pergi.***flashback Lelaki itu bermata sipit dengan hidung
"Apa ini, Lek? Apa?"Ibu seperti tak percaya, ia menunjuk foto-foto di hadapan kami, foto saat aku menjadi Nona Bintang, foto saat aku bekerja di toko baju, foto saat aku didandani, foto saat Nona Bintang berhadapan dengan banyak lelaki di club dan--"Itu nggak benar Bu, itu nggak benar, jangan percaya!"Aku buru-buru mengambil foto-foto itu, hendak membuangnya tetapi ibu lebih dulu menahan, Matanya kilat menatapku. Jelas sekali ada kemarahan di mata ibu, tetapi sekaligus ada kepedihan di sana. Aku sampai berpaling, tidak berani sekadar bersipandang dengan Ibu."Kalau tidak benar, kenapa bisa ada foto-foto ini. Kenapa? Apa yang sebenarnya Rara sembunyikan dari ibu?”"Tidak ada, Bu, tidak ada yang Rara sembunyikan. Itu pasti editan, ibu jangan percaya. Jangan percaya!"Aku menggeleng cepat, berusaha menyakinkan, tetapi yang ada perasaanku semakin cemas, aku bahkan masih tidak berani sekadar menatap ibu."Kalau memang edit
"Kalian bertengkar? Kenapa? Ada apa?"Ibu bertanya pelan setelah duduk di sampingku. Ini sudah jam 9 malam, seharusnya sudah waktunya istirahat tetapi kegaduhan kami tadi sepertinya sudah cukup menyita perhatian banyak orang termasuk ibu. Aku bahkan seperti melihat lagi tatapan orang-orang yang menatap kami tadi saat berciuman, mungkin bukan sesuatu yang salah karena kami sudah memiliki ikatan suami istri, tapi tidak dengan di depan banyak orang, apalagi aku terbiasa hidup di desa dengan aturan-aturan yang masih terlalu tabu untuk hal-hal seperti itu. rasa-rasanya itu tak lebih dari dilemparkan kotoran ke wajahku. "Kami tidak kenapa-kenapa, Bu, kami hanya sedang salah paham saja, kami sudah baikan." Aku seolah tidak mau membahas lebih lanjut, Ibu menatap sekilas tetapi setelahnya dia mengeluarkan hp dari saku bajunya. Hp android dengan casing warna tosca dan gambar kucing, hp itu ..."Ini hp Rara!" Aku merebut hp itu cepat, Ibu sempat mendelik s
[Batalkan pernikahan! Atau lo akan lihat semua orang tau siapa Nona Bintang!]Nomor asing, tanpa salam dan tanpa kalimat pembuka, entah siapa, tapi kalimat pertamanya sudah cukup membuatku dipenuhi dugaan-dugaan buruk.[Gw kasih lo waktu satu Minggu, klo Lo berulah gw pastikan ibu lo tau siapa Nona Bintang!]Setelahnya foto-foto tentang aku orang itu kirim disertai SMS terakhir dirinya dengan Ibu? Astagfirullah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah aku bahkan sudah mengganti nomor Ibu sebelum ke kota? Jaringan di desa kami jelas-jelas berbeda dengan jaringan di kota Bogor tempat kami sekarang. Apalagi Ini belum genap dua Minggu setelah aku membantu ibu mengganti nomornya, orang-orang yang pernah punya nomor lama ibu saja belum sepenuhnya tahu nomor ibu yang baru. Lalu bagaimana---"Kenapa, Ra?"Sampai Ray yang sejak tadi seperti sibuk dengan laptopnya entah sejak kapan sudah pindah dan duduk di sampingku, ia menatapku seperti kehe
"Pulang? Kenapa?" Ray tampak kaget, aku sendiri tak kalah kaget. Dokter Nay tiba-tiba mengatakan ingin pulang, mengejutkannya lagi sebelum itu dia mengatakan ingin resign? "Akan saya kirimkan teman yang bisa jadi perawat sekaligus dokter pribadi untuk Ibu Fatimah, Ray." "Tapi kenapa? Ada apa, Dok? Apa karena Flo?" Ray lagi-lagi menelisik. "Gak ada hubungannya sama si kunyuk itu! Lo pikir gue bisa dikendalikan dan diatur-oleh oleh dia?! Gue gak sebegok itu!" Dokter Nay malah terdengar emosi, aku dan Ray jadi saling pandang. "Dokter boleh pulang, tapi tidak boleh berhenti bekerja. Tidak apa-apa ambil cuti beberapa hari, nanti kalau sudah berubah pikiran silakan kembali lagi, tapi kalau memang tidak bisa saya akan cari dokter pengganti." Ray akhirnya mengalah, Dokter Nay langsung bangkit setelah itu, tanpa melihat pada kami lalu berbalik pergi. "Cari tau keadaan keluarga Dokter Nayna, secepatnya!" Ray mengajakku ikutan bangkit setelah mengatakan itu di telpon. Tapi begi
"Dokter Nayyyy. Dokterrrr." Lail berteriak-teriak nyaring, kakinya setengah berlari sambil menengok kanan kiri, ia padahal sempat izin untuk tidak sarapan bersama, katanya harus menyelesaikan PR yang belum selesai, aku sempat memarahi Lail, mengatakan untuk mengisi perut kosongnya lalu bersiap menyiapkan bekal untuk Lail agar bisa dia makan saat perjalanan diantar Mang Ujang nanti, tapi begitu keluar kamar, bukannya langsung meraih bekal yang aku sediakan, Lail malah berlari-lari mencari Dokter Nay. Aku sempat melihat ia memegang kertas di sebelah tangannya tapi dengan cepat dia sembunyikan begitu melihatku. "Dokter Nay mana, kak?" "Dokter Nay baru saja pergi, Lail, mungkin sedang bareng Ibu sekarang, kami baru saja selesai sarapan." Aku sengaja mengatakan sarapan, agar Lail sadar dan mengambil bekal lalu segera berangkat, tapi bukannya sadar, adikku itu malah berlari lagi sambil kembali memanggil-manggil Dokter Nay. "Lailll! " Aku berusaha mengejar, tapi entah bagaimana aku ma