Share

Kuno!

Penulis: Hitam Putih
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-27 21:01:56

Apa dia Ray? Mataku melebar mendapati lelaki tinggi atletis tengah membelakangiku sembari menggandeng wanita berkemeja toska. Mereka memasuki bank BRI sambil sesekali bercakap-cakap.

Sepatu hells-ku yang baru saja menginjak lantai mendadak terhenti.

Pakaian lelaki itu kemeja abu-abu dengan lengan pendek dipadukan celana bahan hitam yang senada dengan warna sepatunya.

Aku yakin itu Ray, kulit mulusnya yang berciri khas kuning langsat itu makin membuatku kenal. Yah, itu dia yang selalu bergelut dengan tubuhku tiap malam. Meski yakin, untuk beberapa saat aku hanya berdiri saja sambil menyaksikan mereka.

Tubuhku sendiri sudah berbalut kaus putih dengan bagian luar blazer maroon, sudah tidak lagi memperlihatkan bagian dada, sementara kepalaku tertutupi Hijab Saudia yang cukup aku ikat bagian ujungnya. Ini penampilan yang mungkin tak akan membuat Ray kenal.

Aku memilih berjalan lalu masuk dan duduk di kursi antrean. Sebelum ke tempat kerja, aku ingin mampir dan menabung dulu. Ada banyak orang yang ternyata juga mengantre di sana, dan Ray menjadi salah satunya.

"Lagi ngantri, Teh?"

Wanita yang tadi bersama Ray duduk di sampingku, sementara Ray entah ke mana. Ia memiliki bulu mata lentik dengan hidung bangir, tetapi terlihat kontraks dipadukan bentuk wajahnya yang oval, alisnya tebal dan berbentuk bulan sabit disertai lengkungan kecil. Bibirnya tipis kemerah-merahan, cantik! Sekilas aku malah jadi juri yang menilainya.

"Iya, Teh, baru sampai juga, kok, makanya nunggu. Teteh dari tadi, ya nunggu, makanya juga masih nunggu."

Ia langsung tertawa kecil.

"Hehehe, iya, yang lama saja masih nunggu, apalagi yang baru datang," cicitnya pelan, tawanya terdengar renyah dan menyenangkan, sementara pipinya memperlihatkan cetakan lesung di bagian kiri. Terlihat lebih cantik dan manis, hanya saja ... kenapa perempuan seanggunnya tak bisa membuat Ray bertahan dalam satu ranjang dengannya? Untuk beberapa saat aku biarkan saja pertanyaan itu menggantung sembari bercakap-cakap. Sebisa mungkin hanya percakapan biasa yang mungkin terksesan basa-basi.

"Suamiku lelaki yang baik. Keadaan saja yang mungkin selalu tak berpihak pada kami sampai harus sesekali berjauhan."

Pada akhirnya aku tak bisa menghindari percakapan yang mengarah pada suaminya, lelaki yang aku yakin itu adalah Ray. Wanita ini ternyata bernama Chayra, umurnya baru sembilan belas tahun dan menurutku masih terlampau muda. Berbeda dua tahun denganku yang sudah berumur dua puluh satu. Dia menikah sejak umur delapan belas, dan itu artinya pernikahan mereka baru setahun berjalan?

Entah apa, seperti ada hawa panas yang tiba-tiba saja memenuhi dadaku, menjalar ke seluruh tubuh diikuti tangan yang kemudian terkepal kuat. Aku bahkan perlu menarik napas berkali-kali seolah meredakan emosi. Astagfirullah, jangan katakan bahwa aku sedang kecewa. Aku rasa sudah cukup mengenal Ray, tetapi nyatanya kenapa masih seterkejut ini?

Lima tahun pernikahan, penampilan setengah telanjang, tidak sopan dan suka amukan selain kesibukannya adalah bagian dari ciri khas istri Rayhan Bagaskara, itu yang pernah Ray katakan, tetapi perempuan ini? Bibirku sudah tertarik ke

samping membentuk senyum kecut. Sampai kapan lidah lelaki akan membutakan penglihatanku?

"Mungkin baru dua bulan, syukur alhamdulillah."

Ia memegangi perutnya yang sedikit buncit, Chayra ternyata hamil. Lidahku makin terasa kecut.

"Sudah selesai, Sayang. Ayo pulang!"

Laki-laki yang aku yakin Ray mendekat lalu merangkul tangan Chayra. Mereka saling tersenyum, lalu Ray membiarkan lengan Chayra yang menggandeng lengannya.

"Teh, kami pulang dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Nadaku sedikit mengecil saat tatapan Ray beralih padaku, bola matanya membesar dan bahkan langkahnya terhenti memandangiku. Oh, apa dia baru saja melihat hantu? Tak perlu seterkejut itu, Ray, aku tahu pun juga tak berpengaruh pada keputusanku. Tetap saja tutupi topengmu.

Aku akhirnya memilih mengalihkan pandangan saat sadar Ray yang tak juga mau berhenti menatapku.

"Nona, kau Nona Bintang, 'kan?"

Ray nekat menghampiriku, matanya masih membelalak dan memperhatikanku dari bawah sampai atas. Oh ayolah ... aku paling tak suka diperhatikan saat telah menjadi Ervina Rahma. Kugelengkan kepala.

"Namanya Rahma, Mas."

Chayra yang menjawab, bibirnya tersenyum meski sempat kulihat seperti ada kerutan keheranan dan tatapan curiga. Apa dia wanita sehebat itu? Tak langsung menghakimi kami layaknya istri pencemburu saat mendapati tanda-tanda ada pelakor. Hem ... baiklah, aku makin acungi jempol dengan kebohongan Ray selama ini tentangnya. Kusunggingkan senyum ramah lalu segera ke depan, untung saja sudah giliranku juga.

Aku mengeluarkan uang dari tas. Lumayan banyak, cukup untuk simpanan dan biaya keluarga di kampung.

"Maaf, boleh saya duluan?"

Lelaki berkemeja putih mendahuluiku yang baru saja ke depan setelah mengantre beberapa kali. Apa-apaan ini, ia baru datang dan seharusnya melakukan hal yang sama, bukan? Tak kupedulikan dan tetap menyerahkan ATM dan uang.

"Maaf, Teteh, boleh Aa'-nya yang duluan?"

Bagian teller malah dengan menyebalkannya tersenyum sambil menunjuk lelaki tadi. Ini sudah hampir jam sepuluh dan aku sejak tadi menunggu sampai beberapa jam karena saking penuhnya, ditambah lagi itu menyebabkan dadaku sesak karena mendapati Ray yang ternyata tak jauh beda dengan lelaki lain. Apa ia mau menambahnya? Sepertinya hariku makin melelahkan!

"Tadi Aa'-nya sudah duluan, Teh. Cuma habis ke toilet."

Ia seolah memberi pengertian, aku melirik sekilas pada lelaki yang dimaksudnya. Lelaki itu ternyata sudah dekat sekali dan seperti siap mengganti posisiku sembari menunjukkan nomor antrian, jari-jarinya bahkan sampai mengetuk-ngetuk meja. Oh sepertinya ia sudah tak sabar, aku lekas bangkit dan mundur. Ini menyebalkan!

"Jangan sampai ketuk kursi kali, A'," cicitku yang sempat membuat ia terbelalak. Detik kemudian ia sudah terlihat menoleh kanan kiri, sementara bagian teller masih tersenyum, sesekali seperti berusaha menjelaskan.

"Ada apa sih A'?"

Aku yang berada tepat di belakangnya tak bisa untuk tak bertanya.

"Ini Teh saya ingin tarik tunai 15 juta, tapi kata mbaknya untuk kategori simpedes maksimal 5 juta, jika ingin nambah bisa kembali besok katanya, tapi waktu saya tidak banyak. karena besok saya sudah akan pulang kampung."

"Kan bisa ambil pas udah di desanya, Ak Lagipula apa tidak khawatir bawa uang banyak pas di perjalanan? Kalau kecopetan bagaimana?"

"Astagfirullah Teteh ini, jangan do'ain yang jelek-jelek atuh, Teh. Saya ndak mau ambil di daerah saya karena akan sedikit ribet, harus nyeberang pulau kalau mau ke ATM. Selain itu saya butuh uang lebih untuk keperluan oleh-oleh. Pasti ibu dan orang-orang di rumah sudah menunggu, saya ndak mungkin mengecewakan mereka."

Ia menjelaskan panjang lebar, sementara aku jadi melirik pada uang di dalam tas. Uang ini lebih dari kata cukup.

"Saldo di ATM-nya cukup, kan?"

"Iya atuh, Teh. "

"Ya sudah ikut saya." Aku menyudahi ucapan dengan meminta izin sebentar pada bagian teller.

"Tolong Aak tf ke rekening ini dan ini uangnya."

Aku memperlihatkan nomor ATM-ku setelah menghitung uang sesuai kebutuhan lelaki itu. Dan ia sempat terlihat kebingungan.

"Oh jadi Teteh mau membantu? Terima kasih banyak, Teh, saya ke mesin ATM dulu."

"Loh kok ke mesin ATM? Pakek mobil banking aja Ak, biar cepet."

"Mobil banking itu apa, Teh?"

What...? Aku mendadak terlongo, memandanginya dengan seksama tapi wajahnya terlihat polos dan seperti orang yang benar-benar kebingungan. Aku jadi menggeleng tak jelas lalu tersenyum kecil.

"Bukan apa-apa kok, Ak, ya sudah ke mesin ATM saja," jawabku akhirnya. Bisa-bisa makin lama aku kalau harus menjelaskan.

Tak lama ia datang dan menunjukkan bukti transfer sementara aku mengecek di mutasi, setelahnya langsung kuserahkan dan dia menghitungnya untuk memastikan sekali lagi.

"Syukron, Teh, saya ...."

Ia menjeda kata-katanya lantas seperti orang kebingungan dan mencari-cari sesuatu.

"Ini. Syukron katsiron."

Tasbih kecil berwarna cokelat ia sodorkan, aku mengambilnya ragu setengah menahan kesal. Sudah itu ia langsung pergi. Apa ini? Tasbih, lalu syukron? Oh apa ia sedang tidak tahu tempatnya dan siapa yang diajak bicara?

Meski tahu artinya ia mengucap terima kasih, tetapi bukankah orang akan menyesuaikan perkataan bila sama mereka yang lebih-lebih sudah diyakininya anak pondok? Apa karena jilbabku yang bahkan masih belum syar'i? Lalu pemberiannya? Ini sebagai tanda terima kasih? Keningku sudah sukses aku urut lagi, lantas buru-buru kembali ke ruang sebelumnya. Aku harus cepat, aku sudah terlambat kerja karena lama di sini.

Bab terkait

  • Wanita Penghibur   Ajakan Rayhan

    Apa dia Ray? Mataku melebar mendapati lelaki tinggi atletis tengah membelakangiku sembari menggandeng wanita berkemeja toska. Mereka memasuki bank BRI sambil sesekali bercakap-cakap. Sepatu hells-ku yang baru saja menginjak lantai mendadak terhenti.Pakaian lelaki itu kemeja abu-abu dengan lengan pendek dipadukan celana bahan hitam yang senada dengan warna sepatunya. Aku yakin itu Ray, kulit mulusnya yang berciri khas kuning langsat itu makin membuatku kenal. Yah, itu dia yang selalu bergelut dengan tubuhku tiap malam. Meski yakin, untuk beberapa saat aku hanya berdiri saja sambil menyaksikan mereka.Tubuhku sendiri sudah berbalut kaus putih dengan bagian luar blazer maroon, sudah tidak lagi memperlihatkan bagian dada, sementara kepalaku tertutupi Hijab Saudia yang cukup aku ikat bagian ujungnya. Ini penampilan yang mungkin tak akan membuat Ray kenal.Aku memilih berjalan lalu masuk dan duduk di kursi antrean. Sebelum ke tempat kerja, aku ingin mampir dan menabung dulu. Ada banyak oran

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Wanita Penghibur   Dia mengetahuinya?

    [Layani dia, lagi pun ini pertama kalinya Ray mengajakmu, Nona.]Mami Berta sampai ikut campur, mau tidak mau aku akhirnya izin sama Ibu Helni dan segera pulang kos. Aku harus ganti pakaian. Wanita itu bosku dan yang berusaha melindungi identitasku saat bekerja. Menolaknya sama saja mencari masalah. Ini semuanya gara-gara Ray! Dia benar-benar kurang ajar, bagaimana mungkin dia memintaku menemuinya saat Nona Bintang tidak pernah ada jika belum malam? Aku masih Rahma![Assalamualaikum, Kak, jangan lupa sholat dhuhur. Sehat selalu]Lail malah mengirimiku SMS itu, jilbabku sudah dilepas, pakaianku juga. Meski kesal aku balas juga.[Ya, Laila, Kakak sudah tau, tak perlu kamu ingatkan terus]Kuhapus lantas mengetik lagi.[Kakak baru mau sholat,] ketikku akhirnya lalu menekan kata send dan menyegerakan sholat sebelum melipat mukena. Warnanya sudah agak kusut, ada bunga-bunga berwarnah hijau toskah di bagian samping dan sedikit ber-renda. Ini pemberian Ibu dulu, katanya aku diminta menjagan

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Wanita Penghibur   Ceroboh!

    Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray? Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan .... Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban? Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, B

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Wanita Penghibur   Pulang

    "Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng.""Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku. Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi."Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu.""Hem, ya, Bu. Makasih."Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot."Jangan lupa sama kami, Rahma."Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja sendirian

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Jebakan

    "Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut?Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama."Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa."Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku.Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih slop hak

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Masa Lalu

    Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-07
  • Wanita Penghibur   Lelaki yang Sama

    "Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08
  • Wanita Penghibur   Bukan Berarti Baik-baik Saja

    “Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray?“Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan tatapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08

Bab terbaru

  • Wanita Penghibur   Gadis itu bernama Celia

    “Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah

  • Wanita Penghibur   Keluarga Bagaskara

    Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s

  • Wanita Penghibur   Laila Qudsiyyah

    “Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad

  • Wanita Penghibur   Cinta yang Salah

    Two Stories, kafe bergaya terbuka itu ternyata menjadi tujuan akhir Lail. Adikku itu bahkan hampir lupa membayar ongkos taxi kalau-kalau tak pak sopir yang mengingatkannya, tubuhnya sudah setengah masuk saat pak sopir memanggilnya kembali.“Oh ya, maaf, Pak.” Ia tersenyum kalem, aku tidak tahu apa yang sudah membuatnya sedemikian tergesanya.Dengan pelan dan penuh perhitungan, aku memilih ikutan masuk. Aku bahkan sampai harus menggunakan sebagian hijab sebagai penutup wajah, sementara kacamata hitam sengaja kubawa dan kupakai guna menyamarkan diri.Lail kali ini tampak seperti kebingungan, bahkan adikku itu sampai memencet hp-nya berkali-kali dan seperti menghubungi orang yang bersangkutan, terlihat dari caranya yang kemudian celingak-celinguk dan beralih duduk di kursi agak sedikit memojok. Ada dua orang yang rupanya sudah menunggunya lebih dulu. Lelaki paruh baya dan wanita masih muda yang sesaat sudah membuatku membeliak sekaligus mengerutkan kening. Mereka … Flo dan Pak Andro? Sesa

  • Wanita Penghibur   Cerita Dari Masa Lalu

    Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab

  • Wanita Penghibur   Keluarga?

    "Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di

  • Wanita Penghibur   Ambigu!

    "Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se

  • Wanita Penghibur   Flo Amanda

    Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi

  • Wanita Penghibur   Keluarga Ray

    Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status