Ada beberapa perempuan di dalam toilet itu.
Ferliana melongok sebentar ke dalam dan memperhatikan tiga pintu bilik yang tertutup. Ia melangkah mendekat ke wastafel dan berpura memperbaiki riasannya.
Dua pintu terbuka dan keluar dua perempuan. Ferliana melirik melalui cermin di hadapannya.
Mereka bukan Aruna.
Kedua perempuan itu secara bergantian mencuci tangan di wastafel, merapikan bedak dan rambut mereka, lalu keluar satu demi satu.
Sudut bibir Ferliana terangkat.
Ia yakin, di bilik yang masih tertutup itu, adalah Aruna.
Benar saja, ketika pintu bilik itu terbuka, Aruna keluar dari dalamnya.
BRAK!
Aruna tersentak kaget dan tidak siap sama sekali, ketika Ferliana mendorong bahu kirinya hingga ia tersurut mundur dan membentur pintu toilet.
“Apa yang--” Aruna tertegun ketika melihat si pelaku. “Ferli?”
“Iya, ini aku! Kenapa?” Ferli kembali mendorong bahu Aruna dengan kasar
“Dia kemana sih?” Rianna terdengar mengeluh dengan mata sesekali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Kagak tau, tadi cuman bilang bentar, tapi ini udah lima belas menit,” imbuh Rista pada kalimat Rianna. “Temen-temen dah pada keluar duluan,” keluh Rianna lagi. “Lu telpon deh, Ris.” Rista mengikuti anjuran Rianna dan menelepon sahabat mereka yang sejak tadi meninggalkan mereka entah kemana. “Kagak diangkat,” cetus Rista, lalu mencoba mengulang panggilan. Ia terlihat menunggu. “Sama. Kagak diangkat,” ujarnya. “Duh, kemana sih Rani.” Perempuan yang tengah dibicarakan itu tampak berdiam di balik dinding di luar koridor menuju toilet. Dengan seksama telinganya menangkap ketukan sepatu hak tinggi seseorang di koridor menuju arahnya. “Hai,” sapa Rani --perempuan yang berdiam di balik dinding itu pada seorang perempuan yang keluar dari arah koridor, dengan langkah tergesa dan wajah terlihat gugup dan cemas. “Agh!” pekik tertahan si perempuan. Wajahnya pias
“Aku benci perempuan sialan itu! Aku benci dia, bu!!” raung Ferliana begitu masuk ke dalam rumah.Ia melemparkan tas selempangnya ke sembarang tempat lalu menaikkan kaki bergantian, mencopot sepatu bermerek miliknya lalu melemparkannya dengan kasar.“Ferli! Apa-apaan kamu!” pekik Lisa begitu ia datang ke ruang tamu dan mendapati putrinya mengacaukan ruang tamu yang baru saja ia bersihkan. “Aku benci jalang itu, Bu! Arrrgghh!!”Lisa mendekat ke arah putri kesayangannya yang menjatuhkan diri ke lantai dan mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil mengamuk karena tidak dituruti kemauannya.“Kamu itu kenapa?!” Meskipun Ferliana putri semata wayang dan kesayangannya, tetap saja ia betul-betul kesal, hasil kerja kerasnya menjadi berantakan kembali.“Arrrgghh!!” Ferliana berteriak lagi lalu menendang kaki kursi yang berada di dekatnya.“Ferli!!” bentak Lisa jengkel. “Jangan acak-acak lagi! Keluarga Ishak mau ke sini!”Ferliana kontan berhenti mengamuk. “Keluarga Ishak?? Mau apa mereka k
“Bagaimana kami tahu? Ta-tapi kenapa Bapak dan Ibu bertanya seperti itu?” Lisa menoleh dan menatap bergantian pada pak Ishak dan bu Ishak.“Ada kaitan apa Aruna dengan perusahaan besar itu?” lanjutnya.“Anak tiri kamu itu penyebab kebangkrutan kami!” Bukannya menjawab pertanyaan Lisa, bu Ishak kembali menyalahkan dengan berapi-api.“Hah? Ba-bangkrut? Siapa?” Lisa kian tidak mengerti.“Kami menyinggung Aruna lalu seseorang membelanya. Kami tidak tahu bahwa orang yang membela Aruna itu ternyata ada hubungannya dengan Dananjaya Group. Sepertinya orang yang berkuasa.” Pak Ishak mengambil alih dalam menjelaskan.“Apa?!”“Keesokan harinya semua investor menarik dana investasinya dari kami. Lalu buruh-buruh melakukan mogok kerja dan menuntut gaji dan tunjangan mereka. Harga saham anjlok..”“Kami habis!” Bu Ishak menyela suaminya. Kedua tangannya m
Itu adalah pagi berikutnya ketika Aruna telah berada di kediaman Brahmana jauh lebih awal. Aruna telah mengetahui jadwal sarapan Brahmana dari bu Ima dan kini ia ada di pantri membuatkan sarapan khusus untuk Brahmana sebagai permintaan maaf tulus darinya. Ia membuat chicken cream soup dengan isi perpaduan yang imbang dan ia buat sebaik dan sehati-hati mungkin. Meskipun ia sadar, bahwa apa yang ia buat itu mungkin tidak berada dalam standar selera seorang Brahmana, namun ia berusaha mengungkapkan permintaan maaf tulusnya melalui makanan yang ia buat. Tepat setelah Aruna menata mangkuk beserta sendoknya ke atas meja makan, suara ketukan sepatu beradu lantai, terdengar memasuki ruang makan. Brahmana dengan setelan jas buatan tangan yang dipesan khusus dari luar, terlihat begitu gagah dan menawan. Aruna menatap sekian saat sebelum ia menunduk lalu mundur dari meja makan saat Brahmana melangkah mendekat. “Kamu datang pagi sekali?” tegur Brahmana mengagetkan Aruna. Semula ia berpikir
“Aku sungguh benci Aruna, Bu! Kenapa dia selalu mengalahkanku dalam segala hal!” “Diamlah, Fer. Ibu pusing!” sentak Lisa lalu memijat kepalanya yang terasa berat dan leher yang terasa kaku dan tegang. Tekanan darahnya naik dan membuat Lisa harus berbaring sejak kemarin. Jangankan berharap Ferliana mengurusi dirinya yang tengah tidak sehat ini, ia malah harus terus mendengar rengekan Ferliana yang sudah beberapa hari ini uring-uringan. Lisa menghela napas kesal. Ia hampir kehilangan mood atas segala hal. Otaknya pun serasa menolak bekerja sama, karena hingga saat ini, ia sungguh-sungguh tidak bisa berpikir dan menentukan harus melakukan apa. Sejak kedatangan keluarga Ishak yang membeberkan bahwa mereka telah bangkrut, Lisa langsung lemas dan seakan kehilangan arah. Ia sungguh-sungguh terkejut mendengar bahwa keluarga Ishak telah jatuh. Ia memang tidak mengikuti berita dan hanya terfokus menjual barang-barang berharga mereka untuk bertahan hidup dua minggu belakangan itu. Karena
“Fathan.” Suara dalam dan berwibawa khas milik Brahmana terdengar di ruangan kerja besar itu. Fathan menggeser pandangannya dari ipad di tangan, kini ke arah sang CEO dan menunggu Brahmana meneruskan kalimatnya. “Periksa sejak kapan perpindahan ini terjadi,” ujar Brahmana lalu menarik satu berkas dan menyodorkannya di hadapan Fathan. Dengan sigap, Fathan mengambil berkas itu dan memperhatikannya seksama. “Ini hanya selisih lima hari dari perpindahan terakhir. Meskipun dari pemilik yang berbeda, tapi saya temukan tiga kali dengan selang lebih dari tiga hari terjadi perpindahan saham.” “Semuanya ditujukan pada akun berbeda, Tuan,” jawab Fathan sesaat setelah ia mengecek data di dalam ipad di tangannya. “Periksa keterkaitan antar akun tersebut,” perintah Brahmana. “Apapun. Cari yang bisa dijadikan penghubung ketiganya.” “Baik, Tuan.” Fathan mengangguk. “Periksa juga ketiga pemilik yang melakukan pengalihan tersebut.” “Baik, Tuan.” Meski tanpa dijelaskan lebih detil oleh Brahmana,
Brahmana tertegun menangkap pemandangan tak sengaja di hadapannya, hingga ia terlupa untuk memutar tubuh. Jakunnya bergerak naik turun saat meneguk kasar saliva-nya. Ia mendapati dirinya tidak bisa untuk tidak mengagumi sosok indah dan menakjubkan yang tertangkap kedua netra miliknya itu. “Aah!!” pekik histeris Aruna saat berbalik dan menyadari bahwa seorang pria telah berdiri di ambang pintu kamar mandi. “Nga-ngapain Bapak di sini?!” Dengan panik Aruna melempar hairdryer di tangannya dan menyambar bathrobe yang tergantung tak jauh dari ia berdiri untuk menutupi tubuh atasnya. “Ngapain? Ini kamar mandi saya. Kamu yang ngapain di sini?” “A--” Aruna menoleh sekeliling lalu mengutuk dirinya sendiri yang terlupa. “Ber-berbalik Pak!” “Sudah,” jawab ringan Brahmana sambil memutar tubuhnya ke belakang. “Cepat kamu pakai dan keluar dari kamar mandi saya.” “I-iya Pak.” Tergesa-gesa Aruna mengenakan kemejanya yang masih setengah basah itu. Ia tak peduli lagi atas ketidaknyamanan tubuhny
“Kita langsung pulang, Pak?” tanya Fathan yang berada di sisi supir untuk mengawal sang Bos Besar. Meeting tadi merupakan penutup pekerjaan di hari ini. Jam telah menunjukkan angka sepuluh dengan jarum panjang di angka dua, malam hari. Mobil yang ditumpangi mereka meluncur dengan mulus dan tenang, melewati jalan raya yang masih terlihat cukup ramai. Lampu-lampu penerangan yang begitu terang dan tak pernah padam, mengesankan ketiadaan cahaya matahari bukanlah penghalang bagi penduduk metropolitan untuk tetap berkegiatan. Namun situasi itu tidak lagi tampak, saat mereka mulai memasuki kawasan komersial yang terbilang sepi. Mobil masih meluncur dengan mulus, ketika Brahmana menaikkan pandangan dan melemparnya ke jalan. Alisnya menurun, tatkala ia melihat satu sosok yang sangat familiar. Sosok yang sepanjang rapat tadi memenuhi pikirannya. “Hentikan mobilnya!” seru Brahmana. Supir dengan patuh menepikan mobil, sesuai perintah majikannya. Segera setelahnya, Brahmana gegas membuka
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m