“Apa? Kenapa begitu, kak Jul??” Ferliana setengah berseru saat melihat selembar kertas yang disodorkan oleh Julian ke hadapannya.Demikian pula dengan Lisa yang duduk di samping Ferliana.Kedua matanya membesar dan menatap bergantian ke arah lembar kertas, Ferliana, lalu Julian yang ada di hadapan putri kesayangannya.“Iya, karena memang lebih baik dilakukan seperti ini. Biar sama-sama enak, Fer,” ujar Julian. Air mukanya terlihat tenang berbanding terbalik dengan Ferliana yang terlihat jelas begitu gusar dan menatap tak puas pada Julian.“Tapi ini kan ngga seberapa, Jul? Uang tiga puluh lima juta itu kecil jika dibandingkan resiko kita semua menanggung malu?” cerocos Ferliana dengan nada memelas.“Benar nak Julian.” Kali ini Lisa angkat bicara. “Apalagi Ferliana kan akan menjadi istrimu segera. Kita akan menjadi keluarga. Ibu rasa hal seperti ini tidak diperlukan.”Julian terlihat menarik napas.Ada raut kesal menampak di wajahnya. Terutama ketika Ferliana mengatakan bahwa uang tiga
Itu adalah pagi hari Minggu yang cerah dan seharusnya menjadi hari istirahat Aruna. Namun Ima menghubunginya semalam dan mengatakan agar Aruna bersiap menemani Maira dan Ima pergi ke satu tempat di hari Minggu. Ini memang akan dihitung sebagai lemburan. Tapi sesungguhnya Aruna ingin bersantai dan bersama ayahnya hari ini. Namun apa boleh buat, ia tahu hal ini bagian dari kontrak yang ia tanda tangani. Bahwa ketika dibutuhkan, Aruna bersedia datang dan melaksanakan tugas pengasuhannya untuk Maira. Aruna telah tiba di kediaman Dananjaya dan melihat Maira yang tengah duduk di ruang keluarga dengan kaki mengayun-ayun riang. “Kak Una!” pekiknya riang dan langsung lari menghambur Aruna. “Wah udah cantik aja ini Mai? Mau ke mana sih?” Aruna mengelus rambut Maira dengan lembut. “Mai kan ada tugas Kak, suruh nulis pengalaman berlibur bersama keluarga.” “Oh… Terus?” “Mai minta temenin sama Kak Una.” “Oke kalo gitu.. Apa kita berangkat sekarang?” Aruna lalu menoleh ke arah Ima yang ter
Meskipun itu adalah hari Minggu, suasana siang hari itu terbilang cukup tenang. Tidak terlihat suasana yang padat di lobby dan sekitarnya oleh pengunjung hotel. Bukan karena resor mewah tersebut kekurangan peminat sehingga tempat itu terkesan lengang. Resor ini memang hanya menyediakan jumlah kamar yang terbatas dengan harga yang sangat tinggi dan tidak sembarang orang dapat memesannya begitu saja. Hanya kalangan tertentu atau dengan koneksi tertentu lah yang bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan menginap di sana. Di lounge hotel, terlihat sepasang suami isteri paruh baya yang cukup montok tengah duduk di sofa. Sang suami berulang kali melihat pergelangan tangannya dan tampak tidak dapat duduk dengan tenang. Sementara sang isteri di sebelahnya, justru terlihat asyik melakukan selfie dan beberapa kali memutar posisi duduk demi mendapatkan angle yang bagus menurutnya. Seluruh yang melekat di tubuh sang isteri menyuarakan kata ‘mahal’, meskipun kesan yang timbul akibat padu
Suara itu terdengar begitu dingin dan menusuk, hingga terasa oleh Aruna dan juga wanita di hadapannya, suhu sekitar mereka yang seakan menurun drastis. Aruna menoleh dan mendapati pria bertubuh tinggi dengan jas hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, menampilkan fitur dan sosok penguasa yang begitu intimidatif. Pupil mata Aruna melebar demi melihat Brahmana yang berdiri d belakangnya, entah sejak kapan. Tanpa alasan, tubuh wanita berdandan menor yang berdiri dekat Aruna itu pun bergetar dan ia menelan ludah dengan gugup. “Si-siapa kamu? Beraninya menyela dan menghina putra saya?!” sentak bu Ishak. Sosok tinggi dan menawan pria itu diliputi aura yang menyudutkan. Wajah tampan miliknya terlihat tenang namun gelap tatapannya terasa menghimpit dan menyesakkan. Sementara di belakang Brahmana, berdiri dua pria paruh baya yang tidak Aruna kenal. Satu pria berjas hijau dan satu pria lainnya berjas hitam dengan pin logo hotel tempat mereka berada. Dilihat dari penampilan dan juga
“Maaf Pak.”“Kenapa kamu yang minta maaf?” Brahmana melempar balik pertanyaan dengan nada datar khas-nya.“Urusan pribadi saya, sampai menyeret Bapak,” sahut Aruna dengan kepala sedikit tertunduk.Sungguh, ia sangat malu. Melihat dan mendengar semua tindak tanduk dan perkataan bu Ishak pada dirinya saja, membuat darahnya mendidih.Namun karena adab dan kesopanan yang selalu dirinya jaga, ia tidak langsung menerkam wanita menor sok berkelas itu.“Saya tidak suka pembuat onar di tempat usaha saya.”“Hotel ini milik Bapak?”“Salah satu yang di bawah DG.”DG yang dimaksud Brahmana adalah Dananjaya Group. Aruna paham itu. Ia lalu menelan ludah hati-hati.Luar biasa sekali jangkauan usaha CEO satu itu. Demikian yang ia pikirkan.Kedua sudut bibir Aruna tertarik ke atas.“Kak Una senyumnya manis!” celutuk Maira dengan kepala mendongak melihat Aruna.Mereka masih berjalan di koridor hotel menuju kamar yang ditempati Maira dan Aruna.“Oh ya.. Emm…”“Apa kak Una tersenyum karena ayah Mai sangat
Dua minggu telah berlalu sejak Aruna menemani Maira pergi ke kota kembang. Aruna benar-benar merasakan perbedaan yang nyata dalam dirinya.Terasa begitu senang, ringan dan tanpa beban.Tentu saja.Kini ia tak perlu lagi merasa khawatir dan takut bahwa keluarga Ishak akan mengejar dirinya. Entah apa yang terjadi pada mereka, namun Shanti memberikan berita yang cukup mengejutkan.Dalam semalam, perusahaan milik keluarga Ishak dikabarkan berada di ambang kebangkrutan. Semua investor telah menarik dana investasinya dari perusahaan keluarga itu.Beberapa proyek penting menjadi terbengkalai dan mereka diserbu para pekerja yang menuntut pembayaran gaji mereka.“Ini berita sedih, tapi sekaligus jadi berita baik, kan Run?” ujar Shanti kala itu saat mengunjungi Aruna di rumah kontrakan. “Gua yakin, tu mak lampir kagak lagi berhasrat jodohin lu ama si Anton.”“Heem,” jawab singkat Aruna. Benaknya masih dipenuhi tentang bagaimana mungkin semua itu terjadi begitu saja hanya dalam waktu semalam?Ap
Di sebuah restoran berkonsep industrial dengan sentuhan moderen yang ditata dengan baik, terlihat selusin pengunjung yang duduk di area yang sama.Mereka terlihat tertawa dan bercengkerama karena setahun tidak berjumpa. Terlihat dua orang lagi datang, kemudian disambut dengan pelukan dan tepukan antar tangan.Percakapan terjadi begitu saja meski mereka tampak lama tidak saling menyapa.Di satu sudut, sekelompok wanita muda yang duduk mengelilingi meja panjang juga terlihat asyik bertukar cerita.Mereka yang hadir adalah teman-teman satu SMA dengan Aruna yang memang bersepakat mengadakan acara reuni di tempat itu. Reuni sederhana satu kelas, sebelum kelak merencanakan reuni formal satu angkatan.Shanti terlihat di antaranya, namun ia tidak membawa pasangan seperti teman-temannya yang lain. Ajang ini memang diadakan santai, karena itu banyak di antara mereka yang membawa serta pasangan mereka.“Lu beneran dah merit sama Andre, Pal?&rdquo
“Hem. Hanya baru punya waktu untuk bisa datang. Apa kabar Ran?” balas Aruna sambil tersenyum. Bukannya menjawab, Rani mendengkus. “Sibuk sekali rupanya. Kamu masih kerja? Jadi tulang punggung?” “Rani--” “Iya, aku memang jadi tulang punggung. Jadi memang sulit untuk menemukan waktu kumpul. Maaf ya,” sela Aruna cepat memotong Shanti yang hendak berkata. “Aruna magang di Niskala, lho…” Najla, yang berada di belakang Aruna membuka suara. “Wajar dia sedikit lebih sibuk daripada kita-kita,” celotehnya lagi sambil terkekeh. “Apa? Niskala?” sahut seseorang terkejut. “Niskala yang itu? PT Niskala Construction yang itu?” tanya seseorang sangsi. “Apa benar?” “Yup! Niskala yang itu. Aruna kita keren kan?” Kali ini Jasmine yang menjawab berondongan pertanyaan dari teman-teman yang lain. “Halah! Magang aja kok heboh sih?” Rista menyela. “Yaelah Ris! Masa iya lu kagak tau? Kalo bisa masuk Niskala, meskipun baru magang, itu hebat tau. Itu perusahaan bonafide! Seleksi masuknya aja 7 tahap. Gu