Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya.
“Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi.
“Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna.
Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya.
Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras.
“Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil.
Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna.
* * *
Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Construction hampir lima belas bulan. Ia datang lebih awal dari biasanya. Beberapa meja tampak masih kosong.
Sepasang mata coklat Aruna menyapu ke seluruh ruangan.
Ia lalu menghempas dirinya di kursi kerja miliknya. Sedikit menghela napas lalu melintas bayangan permasalahan yang masih menggantung dan menyita waktu tidur serta pikirannya.
Julian yang memutuskannya, ibu tirinya yang mengancam ia untuk berkencan dengan Anton, lalu hutang pada sahabat karibnya untuk mengganti motor yang penyok karena ulahnya.
Aruna berdiri lalu berjalan menuju toilet sembari memijat pelipisnya berulang, berharap tekanan di area itu mampu mengurangi berat di dalam tempurung kepalanya. Ia langsung menuju wastafel dan dengan tenang memutar keran untuk membasuh wajahnya.
“Eh, apa kau dengar? CEO Dananjaya Group akan datang kesini!”
Kepala Aruna terangkat. Suara itu terdengar cukup mengejutkan lorong pendengarannya.
Melalui cermin di depannya, ia dapat melihat dua wanita berpakaian rapi berjalan menuju wastafel di sebelahnya lalu mengeluarkan peralatan make-up untuk membenahi riasan di wajah mereka.
Melihat sekilas dari name tag yang mereka gunakan, keduanya dari Departemen Personalia. Departemen Produksi --tempat Aruna bekerja-- dan Departemen Personalia memang berada dalam satu lantai di gedung berlantai dua puluh tujuh ini.
“Serius??”
“Gue dapet bocoran dari OB yang anter minuman ke ruang pak General Manager kemaren siang,” wanita dengan blazer krem berkata.
“Aslinya? Wah, langka banget tuh. Kita didatangi CEO kita. Gue bisa punya kesempatan lihat beliau secara langsung nih!” antusiasme wanita berblazer hitam menimpali.
“Lu belum pernah lihat dia?”
“Ya mo lihat dari mana, ke sini aja belum pernah,” sungut si blazer hitam. “Emang lu dah pernah?”
“Belon. Makanya gue nanya. Beliau kagak pernah muncul di media,” jawab si blazer krem sambil memulas bibirnya dengan lip tint berwarna pink terang.
“Antara kagak pernah muncul di media, atau kita berdua kagak ngikutin berita, kali. Secara dia orang penting, masa iya kagak pernah masuk tipi?”
“Iya, kita berdua nontonnya Tek Tok mulu. Kagak pernah liat berita,” gurau si blazer krem yang disambut anggukan dan kekehan si blazer hitam.
Tak lama mereka membenahi peralatan kosmetik mereka lalu beranjak keluar dari ladies room itu, meninggalkan Aruna yang masih berdiri di depan wastafel. Meskipun ia mendengar gosip yang termasuk kejadian langka itu, namun Aruna tidak terlalu peduli.
Baginya, magang di kantor ini hingga diangkat menjadi pegawai tetap, adalah tujuan terpenting. Agar kelak ia bisa membawa sang ayah keluar dari rumah yang dikuasai ibu tirinya dan memberikan tempat tinggal yang layak untuk hidup berdua saja dengannya.
Jam 12.15 siang hari itu.
Semua pegawai tengah beristirahat dan meninggalkan pekerjaan mereka sejenak. Aruna mengeluarkan kotak bekal makan siangnya dari tas. Untuk menghemat pengeluaran, Aruna selalu membawa bekal dari rumah yang ia masak sendiri.
Meski makanan itu telah menjadi dingin, tidak masalah bagi Aruna.
Baru saja tangan Aruna hendak membuka tutup kotak bekalnya, Pak Dharma, manager produksi memanggilnya. Wajahnya terlihat tegang dan sedikit gugup.
“Ya Pak?” tanya Aruna sopan setelah menghampiri dan berdiri di depan pak Dharma.
“Kamu, ini Rooibos Tea. Baca petunjuk cara penyajiannya di sini,” jari telunjuk pak Dharma terarah ke sebuah kertas kecil yang menempel di botol berukuran 220 ml di tangannya. “Teh ini kesukaan pak CEO kita. Kamu segera buatkan tiga cangkir saja, lima belas menit lagi beliau sampai di lantai ini.”
“Li-lima belas menit lagi?”
“Ya. Dan nanti antarkan ke ruang pak Direktur.”
“Ruang pak Direktur?” Aruna membeo lagi. “Saya, Pak?”
“Iya kamu. Sudah sana!” perintah pak Dharma mengabaikan kebingungan Aruna. Ia bergegas kembali menuju ruangan manager sambil mengeluarkan saputangan dari saku dan mengusap keringat di pelipisnya.
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima
‘Kenapa harus hari ini sih…?’Aruna membatin.Kedua tangannya mengambil beberapa piring dari laci bawah lalu meletakkannya dengan hati-hati ke atas meja.Lisa tadi menghubunginya melalui telepon, bahwa Julian akan ikut makan malam bersama mereka malam ini dan tentu saja Aruna yang harus menyiapkan semuanya.Ibu tirinya itu masih di luar dan ketika Aruna bertanya mengapa tidak membeli makanan dari luar, Lisa hanya mengatakan bahwa lebih hemat jika Aruna yang memasak dan menyiapkannya.Karena itu, di sinilah Aruna sekarang.Alih-alih ia beristirahat di kamar lalu mengurusi ayahnya, ia malah berada di dapur untuk memulai segala kesibukan mempersiapkan makan malam dengan tambahan tamu di rumah mereka.Tamu yang sungguh ingin Aruna hindari untuk bertatap muka saat ini, demi kelangsungan hatinya yang tengah ia tata dari rasa sakit dan kecewa.Namun ia tak memiliki daya untuk menolak semua titah dan keinginan
Aruna terbatuk. Ia letakkan gelas di tangannya dan mengelap sedikit mulutnya dengan punggung tangan, ia lalu tersenyum masam dalam hati. Mengagumi, betapa hebat akting duo ibu anak itu. Lihai mengolah kata seakan merekalah yang menjadi korbannya selama ini. Tapi demi apapun, Aruna sangat enggan untuk mendebat mereka dan membela dirinya sendiri. Untuk apa? Julian tidak akan kembali padanya. Lalu itu juga tidak akan menjadikan duo ibu-anak itu bersikap lebih baik padanya. Justru akan sebaliknya, bertambah parah dan menjadi-jadi jika ia melakukan perlawanan. Belum lagi ancaman yang selalu dilontarkan sang ibu tiri. Menendang dirinya dan sang ayah keluar dari rumah ini. Bagaimana Aruna bisa membiarkan hal itu terjadi? Ia mengangkat kepala dan bersitatap dengan Julian yang ternyata telah lebih dulu melempar pandangan pada dirinya. Sorot mata itu terlihat memancarkan kecewa dan juga keterkejutan. Tapi Aruna tak ingin peduli. “Kau… tidak selayaknya bersikap seperti itu pada adik
“Berdasarkan olah CCTV di Amerta, target memasuki outlet Allioppe Co dan melakukan pembelanjaan sejumlah perawatan kecantikan di sana.” Brahmana mendengarkan seksama penuturan Fathan yang membacakan hasil pelacakan yang diperintahkan padanya kemarin. “Melihat seleranya terhadap kosmetik, kemungkinan besar target berasal dari golongan cukup berada, Tuan,” lanjut Fathan. “Hm.” Brahmana merespon singkat. Mereka berdua jelas paham, konsumen Allioppe Co adalah kalangan berduit. Allioppe Co adalah brand keluaran salah satu anak perusahaan dalam naungan Dananjaya Group, yaitu PT. Cosmo. PT. Cosmo mengeluarkan produk di bawah nama Allioppe Co dengan target sasaran menengah ke atas. Tentu saja, mengetahui bahwa wanita muda yang tengah mereka cari ini ternyata berbelanja di counter Allioppe Co, memberikan penilaian bahwa wanita tersebut termasuk kalangan berada. “Belum tentu,” Brahmana tiba-tiba berujar. “Ya?” Fathan mengangkat pandangannya dari berkas yang ia baca, ke arah Brahmana yang
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m