Aruna terhenyak kaget.
“Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya.
Tok tok tok.
“Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi.
Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?”
“Aku, Kak. Mau minta tolong…”
‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’
“Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…”
Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?”
“Iya Kak…”
“Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?”
“Iya Kak…” jawabnya lemah.
Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat.
“Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya.
“Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu.
“Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” seru anak itu.
“Lho, kakak bukain kan biar kamu bisa keluar, Dek?”
“Ngga mau!”
“Kenapa?” Aruna menghentikan dorongannya pada pintu dan berdiri bingung.
“Soalnya aku malu. Aku ga mau keluar. Aku malu.”
“Malu kenapa?”
Anak itu terdiam tidak menjawab.
Aruna mengetuk pintu bilik anak itu perlahan. “Dek, malu kenapa? Kalau kakak ngga tau, bagaimana kakak bisa bantu?”
Hening sesaat. Namun sejurus kemudian, anak itu membuka suaranya.
“Tapi janji jangan bilang siapa-siapa!”
“Oke. Kakak janji.”
“Kakak juga gak boleh ketawain aku.”
“Oke. Kakak gak akan ketawain,” jawab Aruna yakin. “Jadi, kamu kenapa?”
“Aku…” anak itu menjeda kalimatnya. “Celanaku kena pipis…”
* * *
Aruna menghembuskan napas panjang saat membayar pakaian dalam anak dan satu legging berukuran anak usia enam sampai tujuh tahun.
Anak yang mengunci dirinya di dalam toilet dan tak mau keluar itu, ternyata telah membasahi celananya karena tidak bisa lagi menahan buang air kecilnya.
Setelah membayar, Aruna bergegas kembali ke toilet tempat anak itu mengurung dirinya dengan setengah berlari.
Sesampainya, ia mengetuk dan membantu anak itu memakaikan celana dalam dan juga mengganti legging yang ikut basah dengan legging yang baru Aruna beli.
Ia lalu menemani gadis kecil yang mengatakan berusia enam tahun dan bernama Mai itu, mencari orangtuanya.
“Jadi namamu Mai?”
“He-em,” jawab gadis kecil itu mantap. Jemari kecilnya menggenggam erat keempat jari Aruna saat menyusuri gerai demi gerai. Sesekali ia menoleh ke atas menatap Aruna yang seolah telah menjadi dewi penolongnya di toilet tadi.
“Kakak cantik,” puji Mai terus terang.
“Iya dong. Kakak cantik, Mai juga cantik, karena kita kan…”
“Penculik anak! Berhenti kamu!” sebuah suara terdengar keras diiringi sentakan kasar di lengan kanan Aruna dari arah belakang.
Aruna mengaduh.
Lengan kanannya digenggam kuat oleh tangan kekar seseorang. Ia menoleh cepat pada pemilik tangan itu dan sontak membelalak.
“Ka-kamu si pria arogan tak sopan!” seru Aruna dengan mata mendelik.
Pria itu adalah pria yang telah memberikan berlembar-lembar uang berwarna merah sebelumnya. Pria yang tidak punya etika dan sombong akut.
“Mau kamu bawa kemana anak saya?” bentak pria itu.
“Ayah!” Mai berjingkrak riang saat ia berbalik dan melihat pria yang mencengkeram lengan Aruna itu.
Pria itu langsung menarik dan menggendong Mai dalam pelukannya dengan sebelah tangan, tanpa melepaskan tangan satunya dari lengan Aruna.
“Sakit, lepasin!” Aruna menghentak lengannya dengan keras. Namun cengkeraman itu tak kunjung terlepas.
“Ayah, lepasin Kak Una. Kak Una tadi udah bantuin Mai…”
Pria itu menoleh pada putrinya. “Kak Una?”
Mai menganggukkan kepala mungilnya. “Iya. Namanya Kak Una.”
Pria yang dipanggil ‘ayah’ itu mengeratkan rahangnya. Ia menoleh pada Aruna dengan tatapan mengancam.
“Diam di situ. Urusan kita belum clear.” Lalu ia menurunkan Mai dari gendongannya, berjongkok dan memegang kedua bahu Mai.
“Mai, apa yang pernah ayah bilang? Jangan sembarangan percaya pada orang asing. Jangan sembarangan ikut dengan orang asing. Apa Mai lupa?” tanyanya pelan namun dengan nada tegas.
“Tapi…”
“Apa Mai lupa?” ulang pria itu tetap dengan nada tegasnya.
“Tidak lupa, Yah. Tapi…”
“Ayah tidak ingin ada bantahan. Mai harus ingat selalu pesan ayah itu karena hal itu menyangkut keamanan Mai. Apa Mai paham?”
“Ck! Benar-benar seorang ayah yang kaku, dingin, gak bereperasaan…” celutuk Aruna yang menyimak interaksi duo ayah anak itu.
Tatapan setajam belati kembali dilayangkan pria itu pada Aruna. Namun Aruna kali ini menatap balik dengan rasa jengkelnya yang tak bisa ia tahan.
“Dengarkan dulu penjelasan anak, biar tahu permasalahan yang terjadi. Jangan langsung menghakimi seperti itu, Pak,” kesal Aruna lalu mendengkus.
“Apa Anda tidak bisa menghargai hak anak Anda sendiri untuk membela diri?” imbuhnya lagi masih dengan nada jengkel. “Benar-benar kaku bin tak peka…”
Pria itu memicingkan mata, memperlihatkan raut tidak suka atas kalimat Aruna yang dianggap mencampuri urusannya.
Ia lalu mengembalikan fokusnya pada sang anak. Namun ia tersentak tatkala mendapati kedua mata jernih sang anak yang tengah digenangi telaga airmata.
“Ayah marah sama Mai…?” tanya gadis kecil itu lirih.
Pria itu tertegun sedetik lalu menggelengkan kepalanya cepat.
“Ssh.. Tidak Baby, ayah tidak marah padamu. Ayah hanya sangat khawatir mencarimu kemana-mana tadi,” ujar pria itu dengan nada pelan.
“Ayah tadi benar-benar khawatir. Ayah tidak marah…”
Aruna sempat mengernyitkan kening, terasa seperti familiar dengan duo anak-ayah tersebut. Tapi Aruna tidak terlalu yakin di mana atau kapan rasanya ia pernah melihat keduanya.
Aruna kembali memperhatikan ayah dan anak di depannya.
Ia cukup terkesima melihat perubahan drastis sorot mata pria itu dari yang semula sangat dingin dan tajam pada dirinya, menjadi tatapan lembut yang menenangkan.
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Aruna terangkat. Teringat ayahnya yang begitu menyayangi dirinya, seperti pria itu menyayangi putrinya.
Anak itu tampak terisak lalu dengan terbata-bata mencoba menjelaskan mengapa ia tadi meninggalkan ayahnya dan menuju toilet seorang diri.
“Ayah sedang telpon penting… aku.. aku sudah kasih tau Ayah. Aku menarik tangan Ayah, tapi Ayah nyuruh aku tunggu terus. Aku sudah gak tahan pengen pipis, Yah. Jadi aku ke toilet sendiri…” ujar gadis kecil itu menjelaskan.
Seketika, raut wajah bersalah menampak pada diri sang ayah.
“Aku ga bisa keluar dari dalam toilet soalnya celanaku basah. Aku udah ga tahan tadi, Yah,” tuturnya lagi dengan muka sedih.
Ia lalu melemparkan pandangan pada Aruna. “Untung ada kakak Una di sebelah. Kakak Una yang bantu aku… Maaf Yah…”
“Tidak Baby. Ayah yang salah. Ayah yang minta maaf, ok?” Tangan sang Ayah memeluk gadis kecil itu dengan erat. “Maafkan ayah yang mengabaikanmu tadi hanya karena sebuah telpon.”
“Ya. Dasar ayah tak peka dan kaku. Ck,” Kalimat itu tanpa sadar lepas begitu saja dari mulut Aruna dan terdengar jelas oleh pria itu beserta anaknya.
Mereka berdua menoleh pada Aruna.
Aruna langsung merapatkan bibirnya dan mengutuk dirinya yang keceplosan merusak suasana harmonis ayah dan anak itu.
“Ma-maaf. Aku pamit dulu…” Dengan canggung Aruna membalikkan badannya dan hendak menjauh dari tempat itu.
“Kamu… Tunggu!”
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima
‘Kenapa harus hari ini sih…?’Aruna membatin.Kedua tangannya mengambil beberapa piring dari laci bawah lalu meletakkannya dengan hati-hati ke atas meja.Lisa tadi menghubunginya melalui telepon, bahwa Julian akan ikut makan malam bersama mereka malam ini dan tentu saja Aruna yang harus menyiapkan semuanya.Ibu tirinya itu masih di luar dan ketika Aruna bertanya mengapa tidak membeli makanan dari luar, Lisa hanya mengatakan bahwa lebih hemat jika Aruna yang memasak dan menyiapkannya.Karena itu, di sinilah Aruna sekarang.Alih-alih ia beristirahat di kamar lalu mengurusi ayahnya, ia malah berada di dapur untuk memulai segala kesibukan mempersiapkan makan malam dengan tambahan tamu di rumah mereka.Tamu yang sungguh ingin Aruna hindari untuk bertatap muka saat ini, demi kelangsungan hatinya yang tengah ia tata dari rasa sakit dan kecewa.Namun ia tak memiliki daya untuk menolak semua titah dan keinginan
Aruna terbatuk. Ia letakkan gelas di tangannya dan mengelap sedikit mulutnya dengan punggung tangan, ia lalu tersenyum masam dalam hati. Mengagumi, betapa hebat akting duo ibu anak itu. Lihai mengolah kata seakan merekalah yang menjadi korbannya selama ini. Tapi demi apapun, Aruna sangat enggan untuk mendebat mereka dan membela dirinya sendiri. Untuk apa? Julian tidak akan kembali padanya. Lalu itu juga tidak akan menjadikan duo ibu-anak itu bersikap lebih baik padanya. Justru akan sebaliknya, bertambah parah dan menjadi-jadi jika ia melakukan perlawanan. Belum lagi ancaman yang selalu dilontarkan sang ibu tiri. Menendang dirinya dan sang ayah keluar dari rumah ini. Bagaimana Aruna bisa membiarkan hal itu terjadi? Ia mengangkat kepala dan bersitatap dengan Julian yang ternyata telah lebih dulu melempar pandangan pada dirinya. Sorot mata itu terlihat memancarkan kecewa dan juga keterkejutan. Tapi Aruna tak ingin peduli. “Kau… tidak selayaknya bersikap seperti itu pada adik