Hari berikutnya.
Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu.
Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya.
Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi.
Ya. Kecelakaan.
Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka.
Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan.
“Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu ayahnya. “Ayah…”
“Emmh…” Suara erangan kecil keluar dari bibir pucat Erwin, ayah Aruna.
“Ya, Yah. Ini Aruna. Ayah minum dulu obatnya ya,” jawab Aruna lembut.
Dengan cekatan ia mengambil obat dan mengisi air ke dalam gelas yang kosong lalu membawanya ke dekat ayahnya.
“Maafin Aruna karena telat ngasih obat tadi malam, Yah. Sekarang ini diminum dulu ya Yah…” Aruna meletakkan gelas dan obat di atas nakas dulu sebelum ia mengangkat perlahan kepala sang ayah. Dengan telaten dan hati-hati Aruna pun meminumkan obat itu pada sang ayah.
“Ayah semangat ya… Ayah harus tetap sehat untuk Aruna…” ujar Aruna lembut.
Erwin menatap putrinya dengan sorot mata yang begitu kompleks. Ada penyesalan dan ada kesedihan di sana. Namun ada juga hal-hal lain, yang Aruna tidak begitu pahami.
‘Maafkan ayah, Aruna…’ bibir pucat milik Erwin bergerak-gerak pelan, namun tak mengeluarkan suara. Kedua netra milik Erwin tampak berkaca.
Mata berwarna sama dengan milik Aruna itu menatap putrinya lekat-lekat.
“Kenapa Yah? Kok lihatnya gitu? Pasti ayah mau bilang maaf ya?” Seakan tahu apa yang hendak dikatakan ayahnya, Aruna memberi respon.
“Ayah ga salah apa-apa kok. Jangan terus minta maaf ya Yah. Aruna yang salah, telat kasih obat ke Ayah tadi malam. Aruna ada kerjaan tambahan jadi pulang telat dang langsung mengerjakan beberapa hal,” imbuhnya lagi tanpa memberitahukan pada ayahnya apa yang sesungguhnya telah ia alami dalam satu hari kemarin.
Sebelah tangannya menggenggam tangan sang ayah sementara tapak tangan satunya menepuk lembut tangan ayahnya yang ia genggam.
“Ayah itu ayah yang hebat untuk Aruna. Aruna merasakan kasih sayang yang besar selama ini dari Ayah. Aruna butuh Ayah. Karena itu Ayah harus sehat dan tetap semangat ya Yah…” sahut Aruna lembut.
“Emmmhh…” Erwin mengeluarkan suara erangan lagi. Keningnya sedikit berkerut dengan mata menatap khawatir.
“Tidak ada apa-apa, Yah,” sahut Aruna cepat. “Kalaupun ada pertengkaran kakak adik itu sudah biasa. Ayah jangan terlalu mikirin hal itu, ya.”
Aruna tahu Erwin pasti telah mendengar adanya keributan kemarin malam di lantai bawah. Pekikan ibu tirinya sangatlah nyaring dan tanpa menahan diri. Karena itu dia buru-buru menenangkan ayahnya, ketika raut wajah sang ayah menunjukkan kekhawatiran.
Erwin terdiam.
Ia membuang muka dari putrinya saat kedua matanya melelehkan butiran bening itu lagi. Betapa dirinya merasa tak berdaya sebagai kepala keluarga, terutama lagi sebagai ayah Aruna, putri dari wanita yang sangat ia cintai belasan tahun lalu.
Menghadirkan seorang wanita baru untuk menjadi pengganti ibu, semula ia pikir akan mengisi kekosongan Aruna-nya saat itu.
Siapa yang menyangka, setelah dirinya tak berdaya dan segala keterpurukan yang ia alami, kehadiran Lisa dan putrinya justru menjadi beban dan siksaan bagi Aruna.
Aruna terpaku di tempatnya duduk.
Meskipun ini bukan pemandangan pertama lagi baginya, melihat sang ayah yang menitikkan air mata dalam ketidakberdayaan tetap menggores luka di hati Aruna. Ia menunduk dan mengatur napasnya agar tak terlalu terasa menyesakkan dada.
“Aruna tinggal dulu ya Yah. Aruna beres-beres rumah dan menyiapkan untuk makan siang. Nanti dua jam lagi Ayah makan obat yang satunya ya. Sekarang istirahat dulu dan jangan pikirkan apa-apa selain kesehatan ayah. Oke?”
Erwin menolehkan kepalanya pada Aruna dan memanggilnya lirih. “Emmmhh.”
Aruna memberikan senyuman terbaik untuk sang ayah. “Ayah harus kuat dan sabar ya. Aruna juga kuat dan bisa bersabar. Karena Aruna anak Ayah…”
“RUNAA!!” Suara menggelegar Lisa mengisi lantai bawah rumah yang telah dihuni selama dua puluh empat tahun ini oleh Aruna serta ayahnya.
Ia dan ayahnya memang menempati kamar di lantai atas, karena dua kamar besar di lantai bawah dikuasai oleh ibu dan adik tirinya itu.
Sejak Erwin mengalami kelumpuhan, Lisa mengusir Erwin dari kamar utama dan menyuruh Erwin dan Aruna pindah di kamar yang berada di lantai dua. Meskipun di bawah terdapat tiga kamar besar, namun Lisa tidak mengizinkan Aruna ataupun Erwin untuk mengisi kamar itu.
“Ya Bu, sebentar!” Aruna menatap Erwin lalu tersenyum kecil. “Aruna keluar dulu ya Yah…”
Erwin mengangguk lemah lalu menatap punggung Aruna yang telah berjalan meninggalkan dirinya di dalam kamarnya.
“Sini kamu!” bentak Lisa begitu Aruna menjejakkan kakinya di anak tangga terakhir. Lisa tampak baru bangun.
Lisa. Ia adalah wanita yang dinikahi ayah Aruna tujuh tahun lalu. Ia membawa serta putrinya, Ferliana ke dalam rumah ini.
Sesungguhnya wanita ini cukup cantik, hanya saja kerutan di wajah serta kantung mata tebalnya membuatnya terlihat kurang menarik.
Bukan karena kurang perawatan, tapi karena wanita tersebut gemar sekali mengumbar amarahnya dengan mudah. Terutama lagi kepada Aruna yang memang seolah dijadikan pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya terhadap hidup yang tak sesuai harapan dirinya yang terus ingin menjadi nyonya besar dengan hidup mudah dan mewah.
“Lama sekali kamu!” sungut Lisa.
“Maaf Bu, tadi aku kasih obat buat ayah dulu,” jawab Aruna pelan.
“Sudah berapa kali saya bilang, ketika saya keluar kamar di pagi hari, ruangan bawah harus sudah bersih! Kenapa hari ini ruang tengah seperti kapal pecah begini?!” sentak Lisa dengan berkacak pinggang.
Aruna menghela napas. Ia tahu ini adalah perbuatan Ferliana. Sejak jam empat tadi, Aruna sudah mulai membersihkan seisi rumah. Ia tidak meninggalkan satu ruangan pun dalam keadaan kotor.
“Jangan buang-buang waktu. Bersihkan semuanya!” titah Lisa. “Setelah ini selesai, segera belikan kosmetik saya yang sudah habis. Catatannya ada di atas meja itu,” tunjuknya ke satu meja di sudut ruang sebelum ia berlalu masuk kembali ke dalam kamar.
Aruna tahu ia akan menemui kesia-siaan belaka jika membantah atau mendebat ibu tirinya itu. Ia pun menuju ke arah belakang untuk mengambil alat kebersihan.
Sementara di satu sudut di ruang keluarga, Ferli dengan santai berselonjor sambil nonton TV. Tidak sedikitpun dirinya tergerak untuk membantu sang kakak membersihkan kekacauan yang ia buat itu.
Ia justru tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan.
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima