Share

BAB 4 : Ayah Aruna

Hari berikutnya.

Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu.

Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya.

Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi.

Ya. Kecelakaan.

Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka.

Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan.

“Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu ayahnya. “Ayah…”

“Emmh…” Suara erangan kecil keluar dari bibir pucat Erwin, ayah Aruna.

“Ya, Yah. Ini Aruna. Ayah minum dulu obatnya ya,” jawab Aruna lembut.

Dengan cekatan ia mengambil obat dan mengisi air ke dalam gelas yang kosong lalu membawanya ke dekat ayahnya.

“Maafin Aruna karena telat ngasih obat tadi malam, Yah. Sekarang ini diminum dulu ya Yah…” Aruna meletakkan gelas dan obat di atas nakas dulu sebelum ia mengangkat perlahan kepala sang ayah. Dengan telaten dan hati-hati Aruna pun meminumkan obat itu pada sang ayah.

“Ayah semangat ya… Ayah harus tetap sehat untuk Aruna…” ujar Aruna lembut.

Erwin menatap putrinya dengan sorot mata yang begitu kompleks. Ada penyesalan dan ada kesedihan di sana. Namun ada juga hal-hal lain, yang Aruna tidak begitu pahami.

‘Maafkan ayah, Aruna…’ bibir pucat milik Erwin bergerak-gerak pelan, namun tak mengeluarkan suara. Kedua netra milik Erwin tampak berkaca.

Mata berwarna sama dengan milik Aruna itu menatap putrinya lekat-lekat.

“Kenapa Yah? Kok lihatnya gitu? Pasti ayah mau bilang maaf ya?” Seakan tahu apa yang hendak dikatakan ayahnya, Aruna memberi respon.  

“Ayah ga salah apa-apa kok. Jangan terus minta maaf ya Yah. Aruna yang salah, telat kasih obat ke Ayah tadi malam. Aruna ada kerjaan tambahan jadi pulang telat dang langsung mengerjakan beberapa hal,” imbuhnya lagi tanpa memberitahukan pada ayahnya apa yang sesungguhnya telah ia alami dalam satu hari kemarin.

Sebelah tangannya menggenggam tangan sang ayah sementara tapak tangan satunya menepuk lembut tangan ayahnya yang ia genggam.

“Ayah itu ayah yang hebat untuk Aruna. Aruna merasakan kasih sayang yang besar selama ini dari Ayah. Aruna butuh Ayah. Karena itu Ayah harus sehat dan tetap semangat ya Yah…” sahut Aruna lembut.

“Emmmhh…” Erwin mengeluarkan suara erangan lagi. Keningnya sedikit berkerut dengan mata menatap khawatir.

“Tidak ada apa-apa, Yah,” sahut Aruna cepat. “Kalaupun ada pertengkaran kakak adik itu sudah biasa. Ayah jangan terlalu mikirin hal itu, ya.”

Aruna tahu Erwin pasti telah mendengar adanya keributan kemarin malam di lantai bawah. Pekikan ibu tirinya sangatlah nyaring dan tanpa menahan diri. Karena itu dia buru-buru menenangkan ayahnya, ketika raut wajah sang ayah menunjukkan kekhawatiran.

Erwin terdiam.

Ia membuang muka dari putrinya saat kedua matanya melelehkan butiran bening itu lagi. Betapa dirinya merasa tak berdaya sebagai kepala keluarga, terutama lagi sebagai ayah Aruna, putri dari wanita yang sangat ia cintai belasan tahun lalu.

Menghadirkan seorang wanita baru untuk menjadi pengganti ibu, semula ia pikir akan mengisi kekosongan Aruna-nya saat itu.

Siapa yang menyangka, setelah dirinya tak berdaya dan segala keterpurukan yang ia alami, kehadiran Lisa dan putrinya justru menjadi beban dan siksaan bagi Aruna.

Aruna terpaku di tempatnya duduk.

Meskipun ini bukan pemandangan pertama lagi baginya, melihat sang ayah yang menitikkan air mata dalam ketidakberdayaan tetap menggores luka di hati Aruna. Ia menunduk dan mengatur napasnya agar tak terlalu terasa menyesakkan dada.

“Aruna tinggal dulu ya Yah. Aruna beres-beres rumah dan menyiapkan untuk makan siang. Nanti dua jam lagi Ayah makan obat yang satunya ya. Sekarang istirahat dulu dan jangan pikirkan apa-apa selain kesehatan ayah. Oke?”

Erwin menolehkan kepalanya pada Aruna dan memanggilnya lirih. “Emmmhh.”

Aruna memberikan senyuman terbaik untuk sang ayah. “Ayah harus kuat dan sabar ya. Aruna juga kuat dan bisa bersabar. Karena Aruna anak Ayah…”

“RUNAA!!” Suara menggelegar Lisa mengisi lantai bawah rumah yang telah dihuni selama dua puluh empat tahun ini oleh Aruna serta ayahnya.

Ia dan ayahnya memang menempati kamar di lantai atas, karena dua kamar besar di lantai bawah dikuasai oleh ibu dan adik tirinya itu.

Sejak Erwin mengalami kelumpuhan, Lisa mengusir Erwin dari kamar utama dan menyuruh Erwin dan Aruna pindah di kamar yang berada di lantai dua. Meskipun di bawah terdapat tiga kamar besar, namun Lisa tidak mengizinkan Aruna ataupun Erwin untuk mengisi kamar itu.

“Ya Bu, sebentar!” Aruna menatap Erwin lalu tersenyum kecil. “Aruna keluar dulu ya Yah…”

Erwin mengangguk lemah lalu menatap punggung Aruna yang telah berjalan meninggalkan dirinya di dalam kamarnya.

“Sini kamu!” bentak Lisa begitu Aruna menjejakkan kakinya di anak tangga terakhir. Lisa tampak baru bangun.

Lisa. Ia adalah wanita yang dinikahi ayah Aruna tujuh tahun lalu. Ia membawa serta putrinya, Ferliana ke dalam rumah ini.

Sesungguhnya wanita ini cukup cantik, hanya saja kerutan di wajah serta kantung mata tebalnya membuatnya terlihat kurang menarik.

Bukan karena kurang perawatan, tapi karena wanita tersebut gemar sekali mengumbar amarahnya dengan mudah. Terutama lagi kepada Aruna yang memang seolah dijadikan pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya terhadap hidup yang tak sesuai harapan dirinya yang terus ingin menjadi nyonya besar dengan hidup mudah dan mewah.

“Lama sekali kamu!” sungut Lisa.

“Maaf Bu, tadi aku kasih obat buat ayah dulu,” jawab Aruna pelan.

“Sudah berapa kali saya bilang, ketika saya keluar kamar di pagi hari, ruangan bawah harus sudah bersih! Kenapa hari ini ruang tengah seperti kapal pecah begini?!” sentak Lisa dengan berkacak pinggang.

Aruna menghela napas. Ia tahu ini adalah perbuatan Ferliana. Sejak jam empat tadi, Aruna sudah mulai membersihkan seisi rumah. Ia tidak meninggalkan satu ruangan pun dalam keadaan kotor.

“Jangan buang-buang waktu. Bersihkan semuanya!” titah Lisa. “Setelah ini selesai, segera belikan kosmetik saya yang sudah habis. Catatannya ada di atas meja itu,” tunjuknya ke satu meja di sudut ruang sebelum ia berlalu masuk kembali ke dalam kamar.

Aruna tahu ia akan menemui kesia-siaan belaka jika membantah atau mendebat ibu tirinya itu. Ia pun menuju ke arah belakang untuk mengambil alat kebersihan.

Sementara di satu sudut di ruang keluarga, Ferli dengan santai berselonjor sambil nonton TV. Tidak sedikitpun dirinya tergerak untuk membantu sang kakak membersihkan kekacauan yang ia buat itu.

Ia justru tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status