Hari berikutnya.
Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu.
Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya.
Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi.
Ya. Kecelakaan.
Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka.
Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan.
“Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu ayahnya. “Ayah…”
“Emmh…” Suara erangan kecil keluar dari bibir pucat Erwin, ayah Aruna.
“Ya, Yah. Ini Aruna. Ayah minum dulu obatnya ya,” jawab Aruna lembut.
Dengan cekatan ia mengambil obat dan mengisi air ke dalam gelas yang kosong lalu membawanya ke dekat ayahnya.
“Maafin Aruna karena telat ngasih obat tadi malam, Yah. Sekarang ini diminum dulu ya Yah…” Aruna meletakkan gelas dan obat di atas nakas dulu sebelum ia mengangkat perlahan kepala sang ayah. Dengan telaten dan hati-hati Aruna pun meminumkan obat itu pada sang ayah.
“Ayah semangat ya… Ayah harus tetap sehat untuk Aruna…” ujar Aruna lembut.
Erwin menatap putrinya dengan sorot mata yang begitu kompleks. Ada penyesalan dan ada kesedihan di sana. Namun ada juga hal-hal lain, yang Aruna tidak begitu pahami.
‘Maafkan ayah, Aruna…’ bibir pucat milik Erwin bergerak-gerak pelan, namun tak mengeluarkan suara. Kedua netra milik Erwin tampak berkaca.
Mata berwarna sama dengan milik Aruna itu menatap putrinya lekat-lekat.
“Kenapa Yah? Kok lihatnya gitu? Pasti ayah mau bilang maaf ya?” Seakan tahu apa yang hendak dikatakan ayahnya, Aruna memberi respon.
“Ayah ga salah apa-apa kok. Jangan terus minta maaf ya Yah. Aruna yang salah, telat kasih obat ke Ayah tadi malam. Aruna ada kerjaan tambahan jadi pulang telat dang langsung mengerjakan beberapa hal,” imbuhnya lagi tanpa memberitahukan pada ayahnya apa yang sesungguhnya telah ia alami dalam satu hari kemarin.
Sebelah tangannya menggenggam tangan sang ayah sementara tapak tangan satunya menepuk lembut tangan ayahnya yang ia genggam.
“Ayah itu ayah yang hebat untuk Aruna. Aruna merasakan kasih sayang yang besar selama ini dari Ayah. Aruna butuh Ayah. Karena itu Ayah harus sehat dan tetap semangat ya Yah…” sahut Aruna lembut.
“Emmmhh…” Erwin mengeluarkan suara erangan lagi. Keningnya sedikit berkerut dengan mata menatap khawatir.
“Tidak ada apa-apa, Yah,” sahut Aruna cepat. “Kalaupun ada pertengkaran kakak adik itu sudah biasa. Ayah jangan terlalu mikirin hal itu, ya.”
Aruna tahu Erwin pasti telah mendengar adanya keributan kemarin malam di lantai bawah. Pekikan ibu tirinya sangatlah nyaring dan tanpa menahan diri. Karena itu dia buru-buru menenangkan ayahnya, ketika raut wajah sang ayah menunjukkan kekhawatiran.
Erwin terdiam.
Ia membuang muka dari putrinya saat kedua matanya melelehkan butiran bening itu lagi. Betapa dirinya merasa tak berdaya sebagai kepala keluarga, terutama lagi sebagai ayah Aruna, putri dari wanita yang sangat ia cintai belasan tahun lalu.
Menghadirkan seorang wanita baru untuk menjadi pengganti ibu, semula ia pikir akan mengisi kekosongan Aruna-nya saat itu.
Siapa yang menyangka, setelah dirinya tak berdaya dan segala keterpurukan yang ia alami, kehadiran Lisa dan putrinya justru menjadi beban dan siksaan bagi Aruna.
Aruna terpaku di tempatnya duduk.
Meskipun ini bukan pemandangan pertama lagi baginya, melihat sang ayah yang menitikkan air mata dalam ketidakberdayaan tetap menggores luka di hati Aruna. Ia menunduk dan mengatur napasnya agar tak terlalu terasa menyesakkan dada.
“Aruna tinggal dulu ya Yah. Aruna beres-beres rumah dan menyiapkan untuk makan siang. Nanti dua jam lagi Ayah makan obat yang satunya ya. Sekarang istirahat dulu dan jangan pikirkan apa-apa selain kesehatan ayah. Oke?”
Erwin menolehkan kepalanya pada Aruna dan memanggilnya lirih. “Emmmhh.”
Aruna memberikan senyuman terbaik untuk sang ayah. “Ayah harus kuat dan sabar ya. Aruna juga kuat dan bisa bersabar. Karena Aruna anak Ayah…”
“RUNAA!!” Suara menggelegar Lisa mengisi lantai bawah rumah yang telah dihuni selama dua puluh empat tahun ini oleh Aruna serta ayahnya.
Ia dan ayahnya memang menempati kamar di lantai atas, karena dua kamar besar di lantai bawah dikuasai oleh ibu dan adik tirinya itu.
Sejak Erwin mengalami kelumpuhan, Lisa mengusir Erwin dari kamar utama dan menyuruh Erwin dan Aruna pindah di kamar yang berada di lantai dua. Meskipun di bawah terdapat tiga kamar besar, namun Lisa tidak mengizinkan Aruna ataupun Erwin untuk mengisi kamar itu.
“Ya Bu, sebentar!” Aruna menatap Erwin lalu tersenyum kecil. “Aruna keluar dulu ya Yah…”
Erwin mengangguk lemah lalu menatap punggung Aruna yang telah berjalan meninggalkan dirinya di dalam kamarnya.
“Sini kamu!” bentak Lisa begitu Aruna menjejakkan kakinya di anak tangga terakhir. Lisa tampak baru bangun.
Lisa. Ia adalah wanita yang dinikahi ayah Aruna tujuh tahun lalu. Ia membawa serta putrinya, Ferliana ke dalam rumah ini.
Sesungguhnya wanita ini cukup cantik, hanya saja kerutan di wajah serta kantung mata tebalnya membuatnya terlihat kurang menarik.
Bukan karena kurang perawatan, tapi karena wanita tersebut gemar sekali mengumbar amarahnya dengan mudah. Terutama lagi kepada Aruna yang memang seolah dijadikan pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya terhadap hidup yang tak sesuai harapan dirinya yang terus ingin menjadi nyonya besar dengan hidup mudah dan mewah.
“Lama sekali kamu!” sungut Lisa.
“Maaf Bu, tadi aku kasih obat buat ayah dulu,” jawab Aruna pelan.
“Sudah berapa kali saya bilang, ketika saya keluar kamar di pagi hari, ruangan bawah harus sudah bersih! Kenapa hari ini ruang tengah seperti kapal pecah begini?!” sentak Lisa dengan berkacak pinggang.
Aruna menghela napas. Ia tahu ini adalah perbuatan Ferliana. Sejak jam empat tadi, Aruna sudah mulai membersihkan seisi rumah. Ia tidak meninggalkan satu ruangan pun dalam keadaan kotor.
“Jangan buang-buang waktu. Bersihkan semuanya!” titah Lisa. “Setelah ini selesai, segera belikan kosmetik saya yang sudah habis. Catatannya ada di atas meja itu,” tunjuknya ke satu meja di sudut ruang sebelum ia berlalu masuk kembali ke dalam kamar.
Aruna tahu ia akan menemui kesia-siaan belaka jika membantah atau mendebat ibu tirinya itu. Ia pun menuju ke arah belakang untuk mengambil alat kebersihan.
Sementara di satu sudut di ruang keluarga, Ferli dengan santai berselonjor sambil nonton TV. Tidak sedikitpun dirinya tergerak untuk membantu sang kakak membersihkan kekacauan yang ia buat itu.
Ia justru tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan.
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m