Kali ini pria di balik kemudi menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Aruna hingga membuat Aruna memundurkan kembali kepalanya.
Entah bagaimana sorot mata pria itu di balik kacamata hitamnya, namun Aruna bisa merasakan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuknya.
“Jaga omongan Anda!” bentaknya kesal. Ia lalu berbalik lagi menengok ke arah kursi belakang. “Mai, tenang dulu. Iya nanti Ayah lihat dulu jadwal Ayah ya?”
“Ngga mauuu!!! Ayah jahaaattt!! Aaaaahhhhnngg!!” Jeritan dan tangisan lalu terdengar cukup memekakkan telinga.
‘Oh, anaknya rupanya…’ Aruna melipat bibirnya ke dalam, sedikit merasa bersalah karena sempat menuduh pria di belakang kemudi itu sebagai penculik anak.
“Mai… Ayah ini ada meeting. Ayah harus segera kembali ke kantor…”
“Ngggaaaa!!! Jahaaattt!!!” Alih-alih mereda, tangisan itu kini terdengar lebih kencang. Bahkan terdengar kaki anak itu menghentak-hentak bagian belakang jok depan yang diduduki sang ayah.
Sang ayah, alias pengemudi mobil yang Aruna tabrak itu, tampak tak berdaya. Berusaha menenangkan sang anak, namun yang didapat adalah jeritan yang kian menggema seantero isi mobil.
Merasa iba, Aruna lalu berkata pada pengemudi itu. “Saya bantu Anda. Kalau saya ketuk tiga kali jendela mobil-nya, Anda buka kan jendela belakang. Ok?.”
Pria itu menoleh dengan kening berkerut. Entah tanda tak paham, atau tanda tak suka karena Aruna memerintahnya.
“Udah, lakukan saja,” tukas Aruna tak menghiraukan ekspresi rumit pria itu dari keningnya yang melesak dalam.
Aruna lalu menggeser tubuhnya ke jendela di belakang pria itu, lalu merunduk.
Jemarinya ia angkat lalu mengetuk berirama pada jendela tersebut.
Ia menunggu. Selang beberapa detik kemudian, jemarinya mengetuk lagi dengan irama yang sama. Aruna melakukan lagi, setelah beberapa detik berikutnya. Sampai akhirnya jeritan dan tangisan anak itu mereda.
Aruna lalu mengetuk tiga kali di jendela. Kepalanya menoleh ke arah jendela pengemudi.
“Hey! Buka!” bisik Aruna pada pria itu.
Dengan suara decakan kesal yang terdengar, pria itu tetap mengikuti arahan Aruna dan menekan sebuah tombol hingga jendela di belakangnya turun terbuka.
Aruna mengangkat kedua tangannya. Ia tekuk empat jarinya hingga menempel dengan jari jempol. Begitu pula dengan tangan satunya, hingga masing-masing membentuk seperti mulut yang saling berhadapan.
Aruna berdehem sedikit.
“Heyy apa kau dengar suara ribut-ribut tadi??” Aruna membuat tekanan pada suaranya hingga terdengar seperti suara anak kecil. Sementara tangan kanannya ia gerakkan membuka dan menutup, mengikuti suaranya. Seolah tangan itu sedang berbicara.
“Ah, masa sih? Aku tidak dengar suara ribut-ribut. Ada juga suara yang nangis…” kali ini Aruna memberatkan suaranya dan tangan kirinya bergerak-gerak mengikuti kalimat yang ia ucapkan.
“Ih! Iya suara nangis. Itu kan sama aja suara ribut,” tangan kanan Aruna giliran bergerak kembali.
“Oh, aku pikir beda. Hohoho…” tangan kiri bersuara berat, bergerak lagi.
Suara sisa tangisan yang tadi masih terdengar, perlahan lenyap lalu berganti kekehan kecil si anak perempuan.
“Eh!! Siapa tuh yang ketawa??” tangan kiri Aruna bergerak.
“Iya! Siapa tuh yang ketawa barusan?” tangan kanan bergerak.
“Aku…” suara imut yang agak serak, terdengar menjawab.
“Aku siapa?”
“Maira…” jawab anak itu malu-malu.
“Wah Maira… nama yang bagus! Aku Obi,” tangan kanan Aruna bergerak.
“Aku Ibo,” tangan kiri Aruna bergerak. “Kita kenalan dan temenan yaaa.”
“Iya.”
Sandiwara boneka yang Aruna lakukan berhasil membuat sang anak perempuan yang bernama Maira tersebut melupakan tangisannya. Anak itu tergelak dan menjawab riang pertanyaan yang dilemparkan Aruna melalui Obi dan Ibo yang diperankan oleh kedua tangannya.
Dari penuturan anak itu pula, Aruna mengetahui bahwa Maira kecewa, karena sang ayah mengingkari janjinya untuk datang melihat pertunjukan kelasnya tadi siang. Maira menyebutkan bahwa sang ayah lebih sayang pada pekerjaannya daripada dirinya.
Melalui Obi dan Ibo Aruna berhasil memberikan kesepakatan antara anak dan ayah itu. Maira mengikuti apa yang ‘dikatakan’ oleh Obi dan Ibo padanya.
Demikan sandiwara boneka sederhana ala Aruna membebaskan sang pengemudi mobil sedan hitam itu dari kemacetan panjang di perempatan jalan.
Aruna berdiri dan melambaikan tangan pada Maira yang tampak tersenyum memeluk tas ransel berbentuk salah satu karakter kartun terkenal.
“Hubungi saja ke nomor ini jika ada kerusakan kendaraan kamu yang perlu saya ganti,” suara bernada perintah pria itu menghentikan senyum di wajah Aruna. Pria itu mengulurkan sebuah kartu nama.
Aruna melangkah mendekat ke jendela kemudi hendak mengambil kartu nama tersebut. Namun belum lagi tangannya dengan kuat menggenggam kartu itu, si pengemudi itu menginjak gas dan berlalu dengan cepat.
“Ah!” Aruna tersentak ketika kartu nama yang sama sekali belum sempat ia baca tersebut terlepas dari tangannya dan melayang.
“Tunggu… aduh… jangan pergi! Aduh… sumber dana bengkel ku! Tunggu!” Aruna mengejar kartu nama itu.
Terlambat. Kartu itu telah masuk ke dalam selokan di pinggir jalan.
“Arrrggh!” pekik Aruna kesal. “Dana bengkelku…” ratapnya dengan mata sendu menatap selokan yang telah menenggelamkan sempurna kartu nama itu. “Gimana bisa minta ganti rugi, kalo gini…” rintihnya.
Kedua manik mata berwarna coklat dengan bulu mata lentik milik Aruna bergerak sayu dan menatap pilu pada lembaran kartu nama yang telah berubah warna seperti warna air selokan yang cukup jauh dari jangkauannya itu.
Warna yang serupa di dalam hatinya, mendung menghitam. Karena ia tahu, selain harus mengatasi patah hatinya oleh Julian, ia juga akan berjibaku dengan jam-jam lembur panjang, untuk bisa memperbaiki motor milik temannya yang ia pinjam hari itu.
* * *
“Urusan kita belum selesai. Jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi denganmu dan Julian?”
Malam itu selepas Aruna mengembalikan motor pada temannya, ia mendatangi kamar Ferliana, adik tirinya.
“Ya seperti yang kau lihat. Julian sepertinya menyukaiku,” jawab Ferliana santai sambil menyisir rambut panjangnya yang ia cat merah marun.
“Kamu tau kan, Julian sedang menjalin hubungan denganku?” Mata Aruna menyipit.
“Yeah. So?”
“So?” Aruna melangkah mendekati adik tirinya. “Apa kamu ngga punya hati, menjalin hubungan dengan pacar saudaramu sendiri?”
“Dia yang menggodaku terus,” jawab Ferli acuh.
“Apa kamu yakin dia yang menggodamu, bukan sebaliknya? Kau menggoda calon tunanganku dan bahkan melempar dirimu sendiri hingga tidur dengannya? Murahan sekali kamu Fer!”
Ferli membanting sisirnya ke meja lalu berbalik. “Ga usah rese deh Run! Kamu ngaca dong. Kamu gak pernah ngurus diri sendiri apalagi ngurus dia. Kamu sibuk dan gak punya waktu buat dia. Jadi wajarlah, kalau dia mendekatiku! Punya otak tuh dipake! Laki-laki butuh menyalurkan hasratnya. Sementara kamu?”
Rahang Aruna mengerat.
“Kamu sadar kan, aku sibuk untuk apa dan untuk siapa?” Suara Aruna tertahan bercampur amarah yang sejak tadi mulai membakar dirinya. “Untuk kalian! Untuk makan orang-orang di rumah ini!” desisnya. “Dasar wanita murahan!”
“Aruna!!” Pintu terbuka diiringi bentakan kasar Lisa.
Ibu tiri Aruna itu telah berada di ambang pintu dengan mata menatap tajam pada Aruna. Langkah-langkah lebar membawa dirinya mendekat pada Aruna dan seketika tangan kirinya menjambak rambut Aruna dengan keras.
“Aduh, sakit Bu!” seru Aruna tertahan. Tangannya berusaha memegangi rambut yang ditarik kuat oleh tangan Lisa.
“Kamu bilang apa tadi, anak tak tau di untung?!” bentak Lisa kasar. “Siapa yang kamu sebut murahan, hah?!”
“Lepasin Bu…”
“Kamu yang seharusnya berterima kasih karena kami membiarkanmu tinggal di sini gratis!”
“Sakit, Bu. Lepasin…” rintih Aruna terus meringis menahan nyeri di kepalanya.
“Ingat baik-baik, kalau sampai aku dengar kalimat-kalimat tidak tahu terima kasih seperti tadi, kamu dan ayahmu yang tak berguna itu silahkan angkat kaki dari rumah ini. Paham?!”
Aruna mengangguk pelan dan Lisa langsung menghempas tangan yang menjambak rambut Aruna itu ke sisi.
“Jangan lupa! Tugasmu adalah menjadi tunangan dan menikah dengan Anton. Lupakan Julian. Aku tidak mau lagi mendengar kamu menjalin hubungan dengan siapapun!”
Aruna terdiam.
“Ingat baik-baik. Kamu dan ayahmu, menumpang. M-E-N-U-M-P-A-N-G.”
* * *
Hari berikutnya. Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu. Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya. Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi. Ya. Kecelakaan. Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka. Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan. “Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu aya
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan