Kali ini pria di balik kemudi menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Aruna hingga membuat Aruna memundurkan kembali kepalanya.
Entah bagaimana sorot mata pria itu di balik kacamata hitamnya, namun Aruna bisa merasakan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuknya.
“Jaga omongan Anda!” bentaknya kesal. Ia lalu berbalik lagi menengok ke arah kursi belakang. “Mai, tenang dulu. Iya nanti Ayah lihat dulu jadwal Ayah ya?”
“Ngga mauuu!!! Ayah jahaaattt!! Aaaaahhhhnngg!!” Jeritan dan tangisan lalu terdengar cukup memekakkan telinga.
‘Oh, anaknya rupanya…’ Aruna melipat bibirnya ke dalam, sedikit merasa bersalah karena sempat menuduh pria di belakang kemudi itu sebagai penculik anak.
“Mai… Ayah ini ada meeting. Ayah harus segera kembali ke kantor…”
“Ngggaaaa!!! Jahaaattt!!!” Alih-alih mereda, tangisan itu kini terdengar lebih kencang. Bahkan terdengar kaki anak itu menghentak-hentak bagian belakang jok depan yang diduduki sang ayah.
Sang ayah, alias pengemudi mobil yang Aruna tabrak itu, tampak tak berdaya. Berusaha menenangkan sang anak, namun yang didapat adalah jeritan yang kian menggema seantero isi mobil.
Merasa iba, Aruna lalu berkata pada pengemudi itu. “Saya bantu Anda. Kalau saya ketuk tiga kali jendela mobil-nya, Anda buka kan jendela belakang. Ok?.”
Pria itu menoleh dengan kening berkerut. Entah tanda tak paham, atau tanda tak suka karena Aruna memerintahnya.
“Udah, lakukan saja,” tukas Aruna tak menghiraukan ekspresi rumit pria itu dari keningnya yang melesak dalam.
Aruna lalu menggeser tubuhnya ke jendela di belakang pria itu, lalu merunduk.
Jemarinya ia angkat lalu mengetuk berirama pada jendela tersebut.
Ia menunggu. Selang beberapa detik kemudian, jemarinya mengetuk lagi dengan irama yang sama. Aruna melakukan lagi, setelah beberapa detik berikutnya. Sampai akhirnya jeritan dan tangisan anak itu mereda.
Aruna lalu mengetuk tiga kali di jendela. Kepalanya menoleh ke arah jendela pengemudi.
“Hey! Buka!” bisik Aruna pada pria itu.
Dengan suara decakan kesal yang terdengar, pria itu tetap mengikuti arahan Aruna dan menekan sebuah tombol hingga jendela di belakangnya turun terbuka.
Aruna mengangkat kedua tangannya. Ia tekuk empat jarinya hingga menempel dengan jari jempol. Begitu pula dengan tangan satunya, hingga masing-masing membentuk seperti mulut yang saling berhadapan.
Aruna berdehem sedikit.
“Heyy apa kau dengar suara ribut-ribut tadi??” Aruna membuat tekanan pada suaranya hingga terdengar seperti suara anak kecil. Sementara tangan kanannya ia gerakkan membuka dan menutup, mengikuti suaranya. Seolah tangan itu sedang berbicara.
“Ah, masa sih? Aku tidak dengar suara ribut-ribut. Ada juga suara yang nangis…” kali ini Aruna memberatkan suaranya dan tangan kirinya bergerak-gerak mengikuti kalimat yang ia ucapkan.
“Ih! Iya suara nangis. Itu kan sama aja suara ribut,” tangan kanan Aruna giliran bergerak kembali.
“Oh, aku pikir beda. Hohoho…” tangan kiri bersuara berat, bergerak lagi.
Suara sisa tangisan yang tadi masih terdengar, perlahan lenyap lalu berganti kekehan kecil si anak perempuan.
“Eh!! Siapa tuh yang ketawa??” tangan kiri Aruna bergerak.
“Iya! Siapa tuh yang ketawa barusan?” tangan kanan bergerak.
“Aku…” suara imut yang agak serak, terdengar menjawab.
“Aku siapa?”
“Maira…” jawab anak itu malu-malu.
“Wah Maira… nama yang bagus! Aku Obi,” tangan kanan Aruna bergerak.
“Aku Ibo,” tangan kiri Aruna bergerak. “Kita kenalan dan temenan yaaa.”
“Iya.”
Sandiwara boneka yang Aruna lakukan berhasil membuat sang anak perempuan yang bernama Maira tersebut melupakan tangisannya. Anak itu tergelak dan menjawab riang pertanyaan yang dilemparkan Aruna melalui Obi dan Ibo yang diperankan oleh kedua tangannya.
Dari penuturan anak itu pula, Aruna mengetahui bahwa Maira kecewa, karena sang ayah mengingkari janjinya untuk datang melihat pertunjukan kelasnya tadi siang. Maira menyebutkan bahwa sang ayah lebih sayang pada pekerjaannya daripada dirinya.
Melalui Obi dan Ibo Aruna berhasil memberikan kesepakatan antara anak dan ayah itu. Maira mengikuti apa yang ‘dikatakan’ oleh Obi dan Ibo padanya.
Demikan sandiwara boneka sederhana ala Aruna membebaskan sang pengemudi mobil sedan hitam itu dari kemacetan panjang di perempatan jalan.
Aruna berdiri dan melambaikan tangan pada Maira yang tampak tersenyum memeluk tas ransel berbentuk salah satu karakter kartun terkenal.
“Hubungi saja ke nomor ini jika ada kerusakan kendaraan kamu yang perlu saya ganti,” suara bernada perintah pria itu menghentikan senyum di wajah Aruna. Pria itu mengulurkan sebuah kartu nama.
Aruna melangkah mendekat ke jendela kemudi hendak mengambil kartu nama tersebut. Namun belum lagi tangannya dengan kuat menggenggam kartu itu, si pengemudi itu menginjak gas dan berlalu dengan cepat.
“Ah!” Aruna tersentak ketika kartu nama yang sama sekali belum sempat ia baca tersebut terlepas dari tangannya dan melayang.
“Tunggu… aduh… jangan pergi! Aduh… sumber dana bengkel ku! Tunggu!” Aruna mengejar kartu nama itu.
Terlambat. Kartu itu telah masuk ke dalam selokan di pinggir jalan.
“Arrrggh!” pekik Aruna kesal. “Dana bengkelku…” ratapnya dengan mata sendu menatap selokan yang telah menenggelamkan sempurna kartu nama itu. “Gimana bisa minta ganti rugi, kalo gini…” rintihnya.
Kedua manik mata berwarna coklat dengan bulu mata lentik milik Aruna bergerak sayu dan menatap pilu pada lembaran kartu nama yang telah berubah warna seperti warna air selokan yang cukup jauh dari jangkauannya itu.
Warna yang serupa di dalam hatinya, mendung menghitam. Karena ia tahu, selain harus mengatasi patah hatinya oleh Julian, ia juga akan berjibaku dengan jam-jam lembur panjang, untuk bisa memperbaiki motor milik temannya yang ia pinjam hari itu.
* * *
“Urusan kita belum selesai. Jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi denganmu dan Julian?”
Malam itu selepas Aruna mengembalikan motor pada temannya, ia mendatangi kamar Ferliana, adik tirinya.
“Ya seperti yang kau lihat. Julian sepertinya menyukaiku,” jawab Ferliana santai sambil menyisir rambut panjangnya yang ia cat merah marun.
“Kamu tau kan, Julian sedang menjalin hubungan denganku?” Mata Aruna menyipit.
“Yeah. So?”
“So?” Aruna melangkah mendekati adik tirinya. “Apa kamu ngga punya hati, menjalin hubungan dengan pacar saudaramu sendiri?”
“Dia yang menggodaku terus,” jawab Ferli acuh.
“Apa kamu yakin dia yang menggodamu, bukan sebaliknya? Kau menggoda calon tunanganku dan bahkan melempar dirimu sendiri hingga tidur dengannya? Murahan sekali kamu Fer!”
Ferli membanting sisirnya ke meja lalu berbalik. “Ga usah rese deh Run! Kamu ngaca dong. Kamu gak pernah ngurus diri sendiri apalagi ngurus dia. Kamu sibuk dan gak punya waktu buat dia. Jadi wajarlah, kalau dia mendekatiku! Punya otak tuh dipake! Laki-laki butuh menyalurkan hasratnya. Sementara kamu?”
Rahang Aruna mengerat.
“Kamu sadar kan, aku sibuk untuk apa dan untuk siapa?” Suara Aruna tertahan bercampur amarah yang sejak tadi mulai membakar dirinya. “Untuk kalian! Untuk makan orang-orang di rumah ini!” desisnya. “Dasar wanita murahan!”
“Aruna!!” Pintu terbuka diiringi bentakan kasar Lisa.
Ibu tiri Aruna itu telah berada di ambang pintu dengan mata menatap tajam pada Aruna. Langkah-langkah lebar membawa dirinya mendekat pada Aruna dan seketika tangan kirinya menjambak rambut Aruna dengan keras.
“Aduh, sakit Bu!” seru Aruna tertahan. Tangannya berusaha memegangi rambut yang ditarik kuat oleh tangan Lisa.
“Kamu bilang apa tadi, anak tak tau di untung?!” bentak Lisa kasar. “Siapa yang kamu sebut murahan, hah?!”
“Lepasin Bu…”
“Kamu yang seharusnya berterima kasih karena kami membiarkanmu tinggal di sini gratis!”
“Sakit, Bu. Lepasin…” rintih Aruna terus meringis menahan nyeri di kepalanya.
“Ingat baik-baik, kalau sampai aku dengar kalimat-kalimat tidak tahu terima kasih seperti tadi, kamu dan ayahmu yang tak berguna itu silahkan angkat kaki dari rumah ini. Paham?!”
Aruna mengangguk pelan dan Lisa langsung menghempas tangan yang menjambak rambut Aruna itu ke sisi.
“Jangan lupa! Tugasmu adalah menjadi tunangan dan menikah dengan Anton. Lupakan Julian. Aku tidak mau lagi mendengar kamu menjalin hubungan dengan siapapun!”
Aruna terdiam.
“Ingat baik-baik. Kamu dan ayahmu, menumpang. M-E-N-U-M-P-A-N-G.”
* * *
Hari berikutnya. Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu. Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya. Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi. Ya. Kecelakaan. Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka. Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan. “Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu aya
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m