“A-apa…?” Suara Aruna tercekat. Tenggorokannya terasa kering dan perih. Napasnya perlahan mulai memburu. “Maksudmu bagaimana?”
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, Aruna.”
“Kenapa Jul? Aku berbuat salah apa? Kita bisa bicarakan baik-baik…” Aruna mencoba menahan dentum jantungnya yang menghentak sakit. Kedua matanya menyorot penuh kaget dan juga ketidakpahaman.
Julian menghela napas berat. “Aku telah memikirkan ini matang-matang dan aku memutuskan ini bukan dalam waktu singkat, Aruna.”
Melihat pandangan yang tanpa keraguan itu, Aruna tahu ia akan membuang tenaga percuma pada Julian. Ia lalu menoleh ke arah Ferliana dengan pandangan marah dan putus asa.
“Kau…” Kalimat Aruna terhenti sesaat. Tenggorokannya terasa perih. “Kau sengaja melakukan ini, Fer? Kau tahu Julian adalah kekasihku dan kami akan bertunangan. Tiba-tiba Julian memutuskan aku lalu ingin bersamamu. Apa yang kau lakukan? Apa yang telah kau lakukan di belakangku??”
Ferliana mengerjap. “Maaf, kak.. Aku… aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud seperti itu. Itu hanya khilaf…” ujar Ferliana terbata dengan suara lemah.
“Tidak sengaja? Tidak sengaja katamu?” Darah dalam tubuh Aruna serasa mulai mendidih.
Apa yang sedang dilakukan Ferli? Mengapa ia bertingkah seolah tidak berdaya seperti itu? Di mana semua kekuatan dan kegarangan seorang Ferliana setiap kali membentak dirinya di rumah?
“Bukankah kau yang menjatuhkan dirimu dalam pelukan kekasihku? Kau merayunya? Begitu bukan?” tuding Aruna dengan suara mulai meninggi.
Ferliana tampak beringsut ke arah Julian dengan ketakutan. Tangan kanannya meraih kemeja Julian dan menggenggamnya seolah meminta perlindungan.
“Aruna! Jangan kasar pada Ferli.”
Kedua bola mata Aruna membesar. ‘Kasar?? Aku kasar pada Ferli??’
“Jul… seumur-umur aku tidak pernah kasar padanya! Tapi kali ini dia keterlaluan. Bertingkah seolah dia menjadi korban. Apa kau tahu aku sela--”
“Cukup!” Julian menghentikan kalimat Aruna. Alisnya bertaut menandakan ia mulai kehabisan kesabaran.
“Jul…”
“Kami tidak butuh drama ini, Aruna. Aku harus bertanggung jawab pada Ferliana,” tukas Julian dengan nada gusar.
“Ta-tanggung jawab? Khilaf yang kau maksud apakah…” Aruna melempar tatapannya pada Ferliana. “Fer? Kau tidur dengan Julian?!”
“Kakak, aku…” Ferliana tampak tergagap.
Aruna langsung berdiri dari duduknya dan dengan gerakan cepat ia menghampiri dan menarik lengan Ferliana kasar. “Jawab aku! Kau tidur dengan kekasihku?!”
Suara Aruna yang meninggi membuat beberapa pengunjung sekitar mereka menoleh dan mulai memperhatikan ketiganya dengan pandangan aneh.
“Jaga mulutmu! Jangan bersikap kasar pada Ferli, Aruna!” Julian menghentak kasar tangan Aruna dari Ferliana. “Ternyata benar kata Ferliana, kau adalah gadis yang kasar. Selama ini kau bersikap seolah menjadi gadis baik di depanku. Aku bersyukur sekarang bisa melihat bagaimana kamu sesungguhnya!”
“Jul…” Aruna terperangah. Tubuhnya membeku seketika.
“Kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku akan segera menikahi Ferliana. Dan kamu!” Julian menunjuk muka Aruna. “Jangan sampai aku dengar kamu bersikap kasar lagi pada Ferliana! Kau paham?!”
Selepas kalimat itu selesai, Julian menarik tangan Ferliana dan bergegas meninggalkan tempat itu. Ferliana yang berada di belakang Julian, menolehkan kepalanya pada Aruna lalu memberikan seringai puas pada Aruna.
Mereka kemudian berlalu dan menghilang dari pandangan Aruna yang masih membatu di tempatnya.
Kedua tangan Aruna mengepal. Rongga dada dipenuhi rasa dingin yang membuat perih. Napas pun serasa berat dan sesak.
Apakah hubungan mereka hanya sampai di sini? Lima tahun bersama dan Julian meragukan dirinya? Apa Julian tidak mengenali dirinya selama ini? Begitu saja termakan ucapan Ferliana dan lebih mempercayainya.
Tanpa terasa buliran bening itu menetes perlahan. Potongan memori indah dirinya dengan Julian bertahun-tahun ini melintas dan seakan mengabur di pelupuk matanya.
Ia tidak memiliki siapapun yang dekat dengannya untuk menumpahkan segala keluh kesah selain Julian.
Sejak ayahnya mengalami kelumpuhan, dirinya harus ikut membantu memenuhi keperluan dalam rumah mereka, meski tak seberapa. Hanya Julian yang ia jadikan sebagai tempatnya mengadu dan mendapatkan suntikan semangat.
Apakah benar-benar harus berakhir seperti ini? Begitu saja?
* * *
CKIIITTTT!!!
Tuas rem ditarik kuat, namun terlambat.
BRUUUG!!
“Ya Tuhan!” Seruan kaget lolos dari mulut mungil berwarna pink segar.
Matanya menatap cemas mobil di depannya yang berhenti mendadak dan kini terlihat mobil sedan dengan logo seperti huruf B dengan sayap di belakangnya itu, penyok.
Aruna yang mengendarai motornya hingga mencium pantat mobil yang ditaksir memiliki harga dengan sembilan angka nol itu, bergegas turun dari kendaraannya.
Tanpa menurunkan masker dan tanpa melepas helm berwarna marun yang ia kenakan, ia berjalan gusar menghampiri pintu bagian kemudi mobil tersebut.
“Ada apa denganku hari ini? Mengapa kesialan terjadi beruntun hari ini?” keluhnya dengan mata tak sirna dari kecemasan.
Ia pun merutuki dalam hati si supir mobil itu yang keliru memberikan tanda pada lampu sen-nya. Hari ini mood-nya telah berantakan karena kejadian dengan Julian. Ia tak ingin mendapati dirinya harus mengalami bencana keuangan karena dituntut ganti rugi.
Dengan langkah kaki yang dimantapkan dan dengan hati yang dikuatkan, Aruna melangkah menuju pintu sisi pengemudi. Sedikit membungkuk tangan kanannya terulur lalu mengetuk kaca jendela mobil itu.
Tidak ada respon.
“Permisi!” seru Aruna sambil mengetuk kembali kaca jendela itu. Namun sang pengemudi tampak tidak menggubris. Entah apa yang sedang dilakukan orang itu di dalam mobil itu.
“Permisi!” Aruna mengetuk kembali kaca jendela mobil. Sepintas terlihat bayangan pria di balik kemudi. Aruna mendengkus kesal karena merasa diabaikan.
“Eh, Pak! Buka dulu hey! Gara-gara Anda ngerem mendadak, motor saya jadi penyok!”
Perlahan dan dengan mulus kaca tersebut bergerak turun.
“Butuh berapa?” tanyanya singkat tapi tanpa menoleh pada Aruna. Membuat darah panas dalam tubuh Aruna menggelegak.
“Emangnya segala sesuatu bisa gitu aja diberesin dengan uang??” sewot Aruna dengan nada naik satu oktaf.
Rasa sesak di dalam dada yang masih ia tahan sejak keluar dari cafe tadi, masih menyisa. Dan kini ia harus berhadapan dengan orang arogan yang bahkan tidak mau repot-repot menoleh padanya.
Apakah orang itu pikir, Aruna adalah pengemis??
Tanpa bisa dihentikan lagi, emosi Aruna pun terpecah.
“Saya pikir cuma emak-emak galau aja yang suka kasih sen kiri tapi belok kanan. Atau sen kanan tapi melipir ke kiri. Anda itu ngerti etika berkendara ngga sih? Jangan mentang-mentang pake mobil me--”
“Aaaaaaahhhh!!!” Suara jeritan seorang anak menghentikan omelan Aruna.
Aruna terdiam dengan kaget. Pasalnya ia sedari tadi tidak melihat ada anak kecil dalam mobil itu.
“Aku gak mauuu!! Pokoknya ga mau!!” Suara anak itu terdengar lagi. Suara anak perempuan. Suara itu berasal dari jok belakang mobil.
Aruna tertegun. Lalu terlintas dalam pikirannya, satu hal buruk.
“Astaga!! Anda menculik anak??” tuding Aruna curiga dengan mata membesar. Ia memaksa melongok masuk melalui jendela yang terbuka setengah itu.
Kali ini pria di balik kemudi menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Aruna hingga membuat Aruna memundurkan kembali kepalanya. Entah bagaimana sorot mata pria itu di balik kacamata hitamnya, namun Aruna bisa merasakan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuknya. “Jaga omongan Anda!” bentaknya kesal. Ia lalu berbalik lagi menengok ke arah kursi belakang. “Mai, tenang dulu. Iya nanti Ayah lihat dulu jadwal Ayah ya?” “Ngga mauuu!!! Ayah jahaaattt!! Aaaaahhhhnngg!!” Jeritan dan tangisan lalu terdengar cukup memekakkan telinga. ‘Oh, anaknya rupanya…’ Aruna melipat bibirnya ke dalam, sedikit merasa bersalah karena sempat menuduh pria di belakang kemudi itu sebagai penculik anak. “Mai… Ayah ini ada meeting. Ayah harus segera kembali ke kantor…” “Ngggaaaa!!! Jahaaattt!!!” Alih-alih mereda, tangisan itu kini terdengar lebih kencang. Bahkan terdengar kaki anak itu menghentak-hentak bagian belakang jok depan yang diduduki sang ayah. Sang ayah, alias pengemudi mobil yang Aruna tabr
Hari berikutnya. Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu. Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya. Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi. Ya. Kecelakaan. Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka. Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan. “Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu aya
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng