"Makanlah, As! Jangan siksa dirimu seperti ini," pinta Umi menyodorkan makanan ke dekat bibir Asma. Netranya penuh dengan embun yang tertahan. Wanita dengan kerudung yang berantakan itu hanya terdiam. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Bibirnya semakin pucat, dengan lingkaran hitam yang memenuhi pada sekeliling matanya.Umi membuang nafas berat. Hatinya semakin hancur melihat keadaan Asma. Setelah ia mengetahui tentang perjanjian antara Wisnu dan Tuan Sangir, Asma menjadi wanita yang seperti kehilangan kewarasan. Ia membisu dan tidak mau makan. Sepanjang hari ia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Sesekali ia mengamuk, berteriak menyerukan nama putra semata wayangnya."Umi!" Wanita bergamis hitam itu terkejut saat sebuah tangan menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh pada Rani yang berdiri di belakang punggungnya."Biar aku saja yang menyuapkan makan untuk Mbak Asma," ucap Rani. Umi mengdongak menatap pada Rani. "Tidak usah, Ran. Biar Umi saja yang menyuapi Mbak kamu,
Lelaki tua dengan gaya necis itu menyapu padangan ke sekeliling jalanan di kota Denpasar. Beberapa tahun terakhir ini ia sama sekali tidak pernah menginjakan kakinya di negaranya tercinta. Bisnisnya dalam bidang otomotif dan jam tangan mahal membuatnya terlalu sibuk untuk mengunjungi kampung halamannya. Belum usahanya lainya yang baru ia kembangkan. Semua itu sangat menguras waktu Tuan Seno.Senyuman terukir dari kedua sudut bibir Tuan Seno saat sebuah panggilan masuk pada ponselnya dari seseorang yang tidak asing untuknya. Cepat ia mengangkat panggilan itu. "Halo Sangir!" sapa Tuan Seno pada lelaki yang berada di balik telepon."Maafkan aku Tuan Seno. Aku baru melihat panggilanmu. Semalam aku kurang enak badan dan aku beristirahat lebih awal," jelas Tuan Sangir.Tuan Seno terkekeh. "Tidak masalah, aku hanya ingin mengatakan padamu saja, kalau aku sudah berada di Bali sekarang," tutur Tuan Seno."Apa? Anda sudah ada di Bali?" Suara Tuan Sangir terdengar terkejut. "Iya Sangir!" Tuan
Danil menepikan mobil yang membawanya di depan rumah baru milik Nada. Ia semakin yakin jika lelaki tua bernama Tuan Seno itu tidak lain adalah kakek Nada yang terkenal kaya raya itu. Hingga membuat Tuan Sangir bersikukuh untuk menjodohkan Wisnu dengan Nada. Semua cara itu ia lakukan demi kekayaan yang Tuan Seno miliki."Terimakasih Danil, senang sekali kamu sudah mau mengantarkan aku ke rumah cucuku," ucap Tuan Seno sebelum ia turun dari dalam mobil Danil. "Sama-sama Tuan," balas Danil melemparkan senyuman hangat pada Tuan Seno.Lelaki dengan rambut yang dipenuhi uban itu mengeluarkan sesuatu dari balik jas yang ia kenakan. "Jika kamu tertarik dengan tawaranku tadi kamu bisa menghubungi aku di nomor ini." Tuan Seno menyodorkan sebuah kartu nama kepada Danil. Sepanjang perjalanan Tuan Seno memang banyak sekali mengobrol dengan Danil tentang jiwa bisnis pemuda bertubuh jangkung itu.Danil menerima secarik kartu nama dari Tuan Seno, sesaat ia menatap pada deretan aksara yang tertulis pa
"Tadi Mas Wisnu ...!" lirih Nada terbata."Tadi aku, habis ...!" ucap Wisnu terbata.Nada dan Wisnu berucap secara bersamaan. Tuan Seno dengan mulut yang penuh makanan menatap kepada Wisnu dan Nada secara bergantian. Lalu tertawa renyah."Kalian ini!" ucap Tuan Seno meraih segelas air putih dan segera meneguknya."Bagaimana bisa kamu tidak tahu keberadaan suamimu, Nad?" Tuan Seno mengalihkan tatapannya kepada Nada yang terlihat gugup.Wanita berambut sebahu itu menarik kedua sudut bibirnya tersenyum paksa. "Tadi aku kira Mas Wisnu sedang pergi keluar. Jadi aku tidak tahu kalau dia masih tidur," balas Nada menatap pada Tuan Seno dan Wisnu secara bergantian. Satu tangannya menyelipkan rambutnya pada telinga untuk menghilangkan rasa gugup yang bergemuruh di dalam dada."Memangnya kalian tidak tidur sekamar? Sampai kamu tidak tau kalau Wisnu masih tertidur?" cetus Tuan Seno menatap pada Wisnu dan Nada secara bergantian.Wajah Nada berubah tegang seketika. Begitu juga dengan wajah Wisnu. M
Tuan Seno menyunggingkan senyuman lebar. Seolah ia tidak mengetahui apapun. "Sepertinya Akbar Pup, jadi aku membawanya ke sini," tutur Tuan Seno sekilas mengalihkan tatapannya pada balita yang sedang berceloteh manja dalam gendongannya.Wajah Nada masih tercekat. Tidak ada ekspresi apapun kecuali ketegangan. Sementara Wisnu nampak gusar di dalam kamar, terlihat dari pintu kamar yang terbuka."Sejak kapan Kakek ada di sini?" lirih Nada dengan suara berat. Degupan jantungnya berdebar cepat tidak beraturan.Tuan Seno terdiam sesaat. Menjatuhkan tatapan sedalam mungkin pada netra Nada yang terlihat sembab. "Barusan! Barusan saja Kakek ke sini!" balas Tuan Seno dengan nada lembut. Tidak ada ekspresi apapun yang lelaki itu tunjukkan.Nada mengangguk. Mencoba mempercayai apa yang Tuan Seno katakan. Saat ini otaknya sama sekali tidak dapat berpikir apapun. Ia segera mengambil alih Akbar dari pelukan Tuan Seno."Biar aku bersihkan dulu!" tutur Nada dengan suara lemah. Ia membawa Akbar masuk ke
Danil kembali ke rumah saat matahari telah meninggi. Sejauh dirinya berlari, bayangan Asma tetap saja selalu mengikuti. Meskipun ia terus berusaha untuk melupakan Asma. Tetapi tetap saja, hal itu justru semakin menyiksanya. Hingga tidak ada pilihan lain, kecuali membiarkan bayangan Asma terus mengikuti. Sampai waktu yang tidak bisa Wisnu ketahui kapan ia bisa melupakan wanita yang telah melahirkan putranya ke dunia.Rumah baru itu terlihat sepi. Ia tidak menemukan siapapun di dalam rumah. Bahkan Tuan Seno juga tidak ada di dalam rumah.Tidak ada firasat buruk sedikitpun dari Wisnu. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan diri. Bermalam di tepi pantai cukup membuat tubuhnya terasa lengket. Apalagi matanya yang terasa mengantuk berat. Karena semalam, ia hanya merenungi jalan cerita hidupnya.Setelah mandi Wisnu memilih merebahkan tubuhnya di atas pembaringan dan perlahan rasa kantuk yang sejak semalaman ia tahanpun datang menyergap dan mulai membuai.Baru beberapa saat Wisnu te
BRUAK!Tuan Sangir memukul meja kerjanya dengan keras. Telapak tangannya terasa memanas sekitar. Tapi tidak sesakit dan sekecewa hatinya saat ini. Argh ...Teriak Tuan Sangir menyapu semua barang-barang yang berada di atas meja hingga berhamburan di atas lantai. Rasa sakit pada tangannya tidak cukup membuatnya puas meluapkan kemarahannya.Wisnu meringis, netranya terpejam untuk sesaat. Ia tau hal ini pasti akan terjadi."Tol*l sekali kamu Wisnu. Kamu itu tol*l!" hardik Tuan Sangir mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya. Wajahnya memerah penuh kemarahan."Aku sudah mencari Nada ayah. Aku kira dia kembali' ke Jakarta," jawab Wisnu dengan nada lesu. Ia menundukkan wajahnya beberapa kali. Tidak berani menatap pada Tuan Sangir.Dada Tuan Sangir bergerak naik turun. Gemuruh di dalam dadanya, seperti ingin meledak saat itu juga. Kedua tangannya mengepal, tapi ia tidak tau harus meluapkan amarahnya pada siapa."Maafkan aku, Ayah! Aku tidak tau
Suara dering ponsel mengalihkan tatapan Wisnu dari jalanan yang berada di depan mobil. Ia sudah bertekad akan pergi ke Belanda, untuk mencari keberadaan Akbar dan Nada. Lelaki berlesung pipi itu yakin jika Tuan Seno menyembunyikan anak dan istrinya di Belanda. "Nomor siapa ini?" guman Wisnu menaikkan kedua alisnya menatap pada deretan angka yang tertera pada layar ponsel yang berkedip. Satu tangannya terulur dan meraih benda pintar yang ia letakkan di samping setir mobil. "Halo," sapa Wisnu pada seseorang yang berada di balik telepon setelah menekan tombol hijau pada layar."Halo Tuan, ini Tuan Wisnu, kan?" cetus suara seorang lelaki yang berada di balik telepon dengan nada panik."Iya, saya Wisnu? Ini siapa?" balas Wisnu cepat. Netranya berfokus pada jalanan yang berada di depan mobil."Gawat Tuan! Gawat! Tuan Sangir sekarang sedang berada di rumah sakit beliau terkena serangan jantung," cetus suara panik yang berada di balik telepon sontak membuat Wisnu terkejut.Tubuh Wisnu mend