Sejak tadi Nada terus mengawasi lelaki yang duduk di depan sofa televisi. Tidak ada hal yang lain yang Wisnu lakukan sepanjang hari. Kecuali duduk di depan layar televisi yang menyala dengan benak yang entah kemana. Ia akan tersadar jika suara tangisan Akbar menggema, atau Nada membutuhkan bantuannya.Kedua mata Nada tidak berkedip sama sekali. Ia masih berdiri di ambang pintu memikirkan ucapan Danil. Apa yang lelaki itu katakan memang ada benarnya. Percuma Wisnu kini ada berada bersama Nada, jika hati Wisnu masih bersama Asma. Hati Nada semakin diremas-remas dan terasa sakit sekali.Perlahan Nada menyeret langkah kakinya gontai menghampiri Wisnu. Lelaki itu tergeragap saat tiba-tiba Nada menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku di sampingnya."Nad, kamu kapan pulang?" seloroh Wisnu gugup. Memaksakan senyuman pada kedua sudut bibirnya menyambut kedatangan Nada."Berurusan, Mas!" jawab Nada dengan suara lesu."Mana Akbar, Mas?" tanya Nada yang tidak menemukan balita itu bersama Wisnu."A
"Makanlah, As! Jangan siksa dirimu seperti ini," pinta Umi menyodorkan makanan ke dekat bibir Asma. Netranya penuh dengan embun yang tertahan. Wanita dengan kerudung yang berantakan itu hanya terdiam. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Bibirnya semakin pucat, dengan lingkaran hitam yang memenuhi pada sekeliling matanya.Umi membuang nafas berat. Hatinya semakin hancur melihat keadaan Asma. Setelah ia mengetahui tentang perjanjian antara Wisnu dan Tuan Sangir, Asma menjadi wanita yang seperti kehilangan kewarasan. Ia membisu dan tidak mau makan. Sepanjang hari ia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Sesekali ia mengamuk, berteriak menyerukan nama putra semata wayangnya."Umi!" Wanita bergamis hitam itu terkejut saat sebuah tangan menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh pada Rani yang berdiri di belakang punggungnya."Biar aku saja yang menyuapkan makan untuk Mbak Asma," ucap Rani. Umi mengdongak menatap pada Rani. "Tidak usah, Ran. Biar Umi saja yang menyuapi Mbak kamu,
Lelaki tua dengan gaya necis itu menyapu padangan ke sekeliling jalanan di kota Denpasar. Beberapa tahun terakhir ini ia sama sekali tidak pernah menginjakan kakinya di negaranya tercinta. Bisnisnya dalam bidang otomotif dan jam tangan mahal membuatnya terlalu sibuk untuk mengunjungi kampung halamannya. Belum usahanya lainya yang baru ia kembangkan. Semua itu sangat menguras waktu Tuan Seno.Senyuman terukir dari kedua sudut bibir Tuan Seno saat sebuah panggilan masuk pada ponselnya dari seseorang yang tidak asing untuknya. Cepat ia mengangkat panggilan itu. "Halo Sangir!" sapa Tuan Seno pada lelaki yang berada di balik telepon."Maafkan aku Tuan Seno. Aku baru melihat panggilanmu. Semalam aku kurang enak badan dan aku beristirahat lebih awal," jelas Tuan Sangir.Tuan Seno terkekeh. "Tidak masalah, aku hanya ingin mengatakan padamu saja, kalau aku sudah berada di Bali sekarang," tutur Tuan Seno."Apa? Anda sudah ada di Bali?" Suara Tuan Sangir terdengar terkejut. "Iya Sangir!" Tuan
Danil menepikan mobil yang membawanya di depan rumah baru milik Nada. Ia semakin yakin jika lelaki tua bernama Tuan Seno itu tidak lain adalah kakek Nada yang terkenal kaya raya itu. Hingga membuat Tuan Sangir bersikukuh untuk menjodohkan Wisnu dengan Nada. Semua cara itu ia lakukan demi kekayaan yang Tuan Seno miliki."Terimakasih Danil, senang sekali kamu sudah mau mengantarkan aku ke rumah cucuku," ucap Tuan Seno sebelum ia turun dari dalam mobil Danil. "Sama-sama Tuan," balas Danil melemparkan senyuman hangat pada Tuan Seno.Lelaki dengan rambut yang dipenuhi uban itu mengeluarkan sesuatu dari balik jas yang ia kenakan. "Jika kamu tertarik dengan tawaranku tadi kamu bisa menghubungi aku di nomor ini." Tuan Seno menyodorkan sebuah kartu nama kepada Danil. Sepanjang perjalanan Tuan Seno memang banyak sekali mengobrol dengan Danil tentang jiwa bisnis pemuda bertubuh jangkung itu.Danil menerima secarik kartu nama dari Tuan Seno, sesaat ia menatap pada deretan aksara yang tertulis pa
"Tadi Mas Wisnu ...!" lirih Nada terbata."Tadi aku, habis ...!" ucap Wisnu terbata.Nada dan Wisnu berucap secara bersamaan. Tuan Seno dengan mulut yang penuh makanan menatap kepada Wisnu dan Nada secara bergantian. Lalu tertawa renyah."Kalian ini!" ucap Tuan Seno meraih segelas air putih dan segera meneguknya."Bagaimana bisa kamu tidak tahu keberadaan suamimu, Nad?" Tuan Seno mengalihkan tatapannya kepada Nada yang terlihat gugup.Wanita berambut sebahu itu menarik kedua sudut bibirnya tersenyum paksa. "Tadi aku kira Mas Wisnu sedang pergi keluar. Jadi aku tidak tahu kalau dia masih tidur," balas Nada menatap pada Tuan Seno dan Wisnu secara bergantian. Satu tangannya menyelipkan rambutnya pada telinga untuk menghilangkan rasa gugup yang bergemuruh di dalam dada."Memangnya kalian tidak tidur sekamar? Sampai kamu tidak tau kalau Wisnu masih tertidur?" cetus Tuan Seno menatap pada Wisnu dan Nada secara bergantian.Wajah Nada berubah tegang seketika. Begitu juga dengan wajah Wisnu. M
Tuan Seno menyunggingkan senyuman lebar. Seolah ia tidak mengetahui apapun. "Sepertinya Akbar Pup, jadi aku membawanya ke sini," tutur Tuan Seno sekilas mengalihkan tatapannya pada balita yang sedang berceloteh manja dalam gendongannya.Wajah Nada masih tercekat. Tidak ada ekspresi apapun kecuali ketegangan. Sementara Wisnu nampak gusar di dalam kamar, terlihat dari pintu kamar yang terbuka."Sejak kapan Kakek ada di sini?" lirih Nada dengan suara berat. Degupan jantungnya berdebar cepat tidak beraturan.Tuan Seno terdiam sesaat. Menjatuhkan tatapan sedalam mungkin pada netra Nada yang terlihat sembab. "Barusan! Barusan saja Kakek ke sini!" balas Tuan Seno dengan nada lembut. Tidak ada ekspresi apapun yang lelaki itu tunjukkan.Nada mengangguk. Mencoba mempercayai apa yang Tuan Seno katakan. Saat ini otaknya sama sekali tidak dapat berpikir apapun. Ia segera mengambil alih Akbar dari pelukan Tuan Seno."Biar aku bersihkan dulu!" tutur Nada dengan suara lemah. Ia membawa Akbar masuk ke
Danil kembali ke rumah saat matahari telah meninggi. Sejauh dirinya berlari, bayangan Asma tetap saja selalu mengikuti. Meskipun ia terus berusaha untuk melupakan Asma. Tetapi tetap saja, hal itu justru semakin menyiksanya. Hingga tidak ada pilihan lain, kecuali membiarkan bayangan Asma terus mengikuti. Sampai waktu yang tidak bisa Wisnu ketahui kapan ia bisa melupakan wanita yang telah melahirkan putranya ke dunia.Rumah baru itu terlihat sepi. Ia tidak menemukan siapapun di dalam rumah. Bahkan Tuan Seno juga tidak ada di dalam rumah.Tidak ada firasat buruk sedikitpun dari Wisnu. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan diri. Bermalam di tepi pantai cukup membuat tubuhnya terasa lengket. Apalagi matanya yang terasa mengantuk berat. Karena semalam, ia hanya merenungi jalan cerita hidupnya.Setelah mandi Wisnu memilih merebahkan tubuhnya di atas pembaringan dan perlahan rasa kantuk yang sejak semalaman ia tahanpun datang menyergap dan mulai membuai.Baru beberapa saat Wisnu te
BRUAK!Tuan Sangir memukul meja kerjanya dengan keras. Telapak tangannya terasa memanas sekitar. Tapi tidak sesakit dan sekecewa hatinya saat ini. Argh ...Teriak Tuan Sangir menyapu semua barang-barang yang berada di atas meja hingga berhamburan di atas lantai. Rasa sakit pada tangannya tidak cukup membuatnya puas meluapkan kemarahannya.Wisnu meringis, netranya terpejam untuk sesaat. Ia tau hal ini pasti akan terjadi."Tol*l sekali kamu Wisnu. Kamu itu tol*l!" hardik Tuan Sangir mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya. Wajahnya memerah penuh kemarahan."Aku sudah mencari Nada ayah. Aku kira dia kembali' ke Jakarta," jawab Wisnu dengan nada lesu. Ia menundukkan wajahnya beberapa kali. Tidak berani menatap pada Tuan Sangir.Dada Tuan Sangir bergerak naik turun. Gemuruh di dalam dadanya, seperti ingin meledak saat itu juga. Kedua tangannya mengepal, tapi ia tidak tau harus meluapkan amarahnya pada siapa."Maafkan aku, Ayah! Aku tidak tau
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli