Hatiku diselimuti kabut kesedihan membayangkan masa depanku tanpa Mas Agus. Jika bukan bersama Mas Agus, entah seperti apa kehidupan yang kujalani saat ini.Selama hidup 28 tahun ini, hanya ada dua orang pria yang mengisi hatiku, yaitu papa dan satu lagi Mas Agus. Ketika sekolah memang banyak pria yang menaruh hati padaku, tapi tidak satu pun yang kutanggapi. Mungkin jika papa nekat melarangku dulu menikah dengan Mas Agus, bisa saja hidupku lebih parah dari ini. Cintaku dulu bahkan hingga kini sudah tercurah hanya untuk Mas Agus seorang. Anak muda zaman kini menyebutnya bucin. Ya, saking bucinnya aku bahkan rela meninggalkan semua kemewahan serta kenyamanan yang menghiasi kehidupanku sebelumnya demi memperjuangkan cintaku bersama Mas Agus.“Dulu, Mas Agus sangat mencintaiku. Dia bahkan rela berpanas-panasan demi kami tetap bisa makan dan hidup nyaman.” Mulutku bereaksi sendiri mengeluarkan pembelaan terhadap suamiku. Sudah tugasku menjadi selimut bagi pasanganku. Selain itu, aku ing
Sepertinya sudah waktunya aku bergerak melawan Mas Agus. Dia sudah terlalu banyak menyakitiku, bahkan ternyata dia juga menyakiti orang tuaku.Meski sulit aku percaya cerita yang disampaikan Salman, tapi perilaku Mas Agus dan juga keluarganya seakan memperjelas itu semua.Apa lagi yang kutunggu? Sampai aku kehilangan salah satu orang tuaku?Tidak. Tidak. Aku tidak ingin kehilangan mereka, terlalu banyak kesalahan yang belum sempat kutebus pada mereka.“Apa kamu mau membantuku balas dendam pada Mas Agus?” Tanpa pikir panjang, permintaan itu lolos begitu saja melewati tenggorokanku.Mas Agus saja sudah tidak memedulikanku, lantas kenapa aku harus bertahan membelanya? “Itu gunanya aku jauh-jauh datang ke sini.” Jawaban Salman terdengar meyakinkan.Kehidupanku benar-benar menyedihkan sekali saat ini. Apalagi semenjak kepergian Mas Agus bersama Yuni untuk menikah. Selama tiga hari mereka pergi, selama itu pula aku tidak makan dan minum, benar-benar menyiksa diri sendiri.Ketika kebodoha
“Mbak Selvi, makan dulu sebelum pulang, ya.” Bidan Fitri kembali mengunjungiku satu jam kemudian. Dia datang sambil membawa nampan yang berisi dua piring nasi lengkap dengan lauknya.Piring tersebut kemudian dia berikan satu padaku, kemudian satu lagi dia berikan pada Salman.“Dimakan ya, Mas wartawan. Maaf, lauknya seadanya. Tidak seperti makanan di kota yang lezat-lezat,” ucap Bidan Fitri ketika mengulurkan piring berisi nasi tersebut pada Salman.“Nggak perlu repot begini, Bu Fit. Suruh aja aku pulang, nanti biar aku cari makan di sana,” ucapku sedikit sungkan dengan perhatian Bidan Fitri. Kebaikan bidan ini memang sudah terkenal seantero komplek.Meski begitu, nasi yang dia berikan tanpa sungkan masuk ke mulutku. Memang perutku sudah keroncongan sejak tadi, tapi aku tidak berani memberitahu Salman. Takut terlalu banyak merepotkannya.Apalagi aroma kalio ayam masakan Bidan Fitri tercium harum sekali. Langsung membangkitkan selera makanku.“Dihabiskan ya, Mbak Selvi. Anggap saja seb
“Cepat, Mbak! Cepat liat ke sana. Barusan, kedua anakmu yang berusaha melarang Yuni ular itu masuk ke dalam rumahmu,” imbuh Tika lagi.Dia bahkan belum sempat mengatur nafasnya yang tersengal ketika kembali melaporkan apa yang dilihatnya.Melihat pundak Tika yang naik turun saat bernapas membuat dadaku ikut sesak. Sepertinya dia berlari sepanjang jalan menuju ke sini.“Kamu tenang dulu, Tik. Coba ceritakan dengan pelan-pelan, apa yang terjadi di sana,” ucapku sambil mengajaknya untuk menarik napas. Kuusap kedua bahunya supaya tubuhnya menjadi lebih rileks.Bukannya aku tidak mendengar apa yang barusan disampaikannya, tapi aku ingin memastikan saja biar lebih jelas.“Itu ... suamimu sudah kembali bersama istri barunya, eeh, Yuni. Mereka sekarang berada di depan rumahmu. Mau masuk ke dalam, tapi di halangi anak-anak Mbak yang dibantu Mbak Jum.” Meski masih dengan napas tersengal, suara Tika sudah semakin jelas terdengar.“Apa? Mas Agus mau membawa Yuni ke rumahku?” tanyaku dengan peki
“Seharusnya kamu mencari pria dengan tubuh seperti aku ini sebagai suami. Biar tidak ada yang berani gangguin kamu,” ucap Salman kembali membanggakan diri.“Jika kenyataannya suami itu sendiri yang menggangguku? Bisa remuk tubuhku jika mendapati suami kasar yang badannya macam kamu,” balasku sengit.“Benar juga. Ya sudah, biar aku jadi bodyguard kamu aja, melindungimu dari segala mara bahaya.” Tidak ada angin sejuk berembus, tiba-tiba Salman berucap lembut sekali. “Dih, saat genting begini masih bisa-bisanya ngeluarin gombalan. Mbak Selvi pun tersipu pula,” celetuk Tika yang ternyata memperhatikan pertikaian kecil kami.Diam-diam aku memegang pipi yang terasa menghangat. Cukup aneh karena aku mulai terpengaruh gombalan Salman. Tanpa menanggapi ledekan Tika, aku melangkah pelan mengikuti Salman yang sudah keluar kamar lebih dulu.Tidak ada perlengkapan yang harus kubawa pulang karena aku dirawat di sini tidak sampai sehari bahkan sampai bermalam.“Yakin ini kita pergi begitu saja Mbak
“Astaghfirullah!” pekikku histeris melihat pemandangan di depan pintu rumahku.Semua orang sedang berkumpul di sana, tapi yang membuatku syok adalah Mas Agus bersama Yuni yang berada di tengah kerumunan. Mereka jongkok dengan posisi berlutut yang dipegangi beberapa orang dan beberapa orang yang lain mulai bekerja membotaki kepala keduanya. Sementara dua orang yang menjadi korban itu terlihat pasrah dengan perlakuan yang mereka terima.“Ada apa ini? Siapa yang menyuruh membotaki kepala mereka?” tanyaku lantang. Bukan aku ingin membela mereka, tapi rasanya tidak manusiawi memperlakukan mereka seperti ini. “Mereka memang pantas mendapatkan itu. Jangan berhenti! Cukur semua rambutnya sampai habis, setelah itu kita arak dua manusia bejat ini keliling kampung, kapan perlu sampai ke kampung sebelah kita seret. Biar semua orang tahu dengan perbuatan buruk mereka!” Terdengar seorang bapak-bapak menimpali ucapanku dari tengah kerumunan, tapi aku tidak tahu siapa orangnya.Kulihat Mas Agus sed
“Kurang ajar! Jangan seenaknya bicara, dia itu istriku!” seru Mas Agus lebih garang.Kini aku bisa melihat wajah Mas Agus karena Salman mengubah posisi kami. Terlihat Mas Agus berusaha berontak dalam dekapan beberapa orang yang memegangnya.“Lepaskan aku!” teriaknya.“Dekap terus Mbak Selvi-nya Mas Wartawan. Jangan berikan ke tangan Agus. Suami tidak tahu diri seperti dia tidak pantas untuk Mbak Selvi!” Terdengar seseorang ikut meningkahi, dekat sekali denganku.Oh, ternyata Tika yang berdiri di sampingku ikut bersuara. Sepertinya sudah habis kesabarannya menahan-nahan geram sejak tadi. Sesaat setelahnya kurasakan tubuh Salman semakin merapat ke arahku, bukan Salman yang bergerak, melainkan ada seseorang yang mendorong tubuhnya dari belakang. Pijakan Salman bahkan sempat goyah karena dorongan tersebut, tubuh kami yang bersidekap sempat terhuyung. Beruntung tenaga Salman cukup kuat sehingga dia mampu menahan tubuh kami supaya tidak terjatuh.“Hei, jangan dorong-dorong dong. Kalian tena
Tak pelak ucapan Salman membuat aku melongo. Bukan begitu maksudku, aku tidak membela siapa pun atau memanasi siapa pun. Hanya berucap begitu saja karena terpancing emosi oleh omongan mereka.“Siapa bilang aku membelamu? Aku hanya nggak terima mereka memakiku,” ucapku membela diri. Tapi tatapan tajam Mas Agus seolah membenarkan ucapan Salman.Mas Agus terlihat aneh dengan kepalanya yang botak, begitu pun dengan Yuni yang sedari tadi hanya diam saja sambil terus menunduk. Aku penasaran apa yang dia pikirkan saat ini, menyesal kah dia telah menikah dengan Mas Agus?“Keduanya telah selesai dibotaki. Apa kita arak sekarang? Masalahnya malam kian menjelang,” ujar bapak-bapak yang berdiri di samping Mas Agus, dia baru saja selesai melakukan ritual pembotakan kepala Mas Agus dengan alat cukur di tangannya.“Sudah kepalang tanggung. Kita arak saja, biar semua orang pada tahu,” timpal bapak-bapak yang lain penuh semangat. Aku yakin, mereka yang berucap itu adalah rekan kerja Mas Agus. Heran