“Kurang ajar! Jangan seenaknya bicara, dia itu istriku!” seru Mas Agus lebih garang.
Kini aku bisa melihat wajah Mas Agus karena Salman mengubah posisi kami. Terlihat Mas Agus berusaha berontak dalam dekapan beberapa orang yang memegangnya.“Lepaskan aku!” teriaknya.“Dekap terus Mbak Selvi-nya Mas Wartawan. Jangan berikan ke tangan Agus. Suami tidak tahu diri seperti dia tidak pantas untuk Mbak Selvi!” Terdengar seseorang ikut meningkahi, dekat sekali denganku.Oh, ternyata Tika yang berdiri di sampingku ikut bersuara. Sepertinya sudah habis kesabarannya menahan-nahan geram sejak tadi.Sesaat setelahnya kurasakan tubuh Salman semakin merapat ke arahku, bukan Salman yang bergerak, melainkan ada seseorang yang mendorong tubuhnya dari belakang. Pijakan Salman bahkan sempat goyah karena dorongan tersebut, tubuh kami yang bersidekap sempat terhuyung. Beruntung tenaga Salman cukup kuat sehingga dia mampu menahan tubuh kami supaya tidak terjatuh.“Hei, jangan dorong-dorong dong. Kalian tenang aja, Selvi tidak akan kulepaskan,” ujar Salman menoleh ke belakang, kemudian tangannya bergerak mempererat pelukannya.“Dasar pria kurang ajar! Jauhkan tubuhmu dari istriku!” Lengkingan Mas Agus semakin lantang. Tapi, Salman seakan tidak mendengar teriakan Mas Agus, dia santai saja memelukku.“Ti–tidak bisa na ... pas,” gagapku megap-megap seperti ikan kelamaan berada di darat.Pelukan Salman terlalu erat, sehingga membuat saluran pernapasanku terhambat. Dadaku rasa terbakar. Sedetik lagi dia tidak melonggarkan pelukannya, mungkin aku sudah berpindah alam.“To ... long le–lepaskan pelukanmu–“ Tanganku menepuk lemah punggung Salman. Bola mataku seperti mau meloncat rasanya dengan ubun-ubun sudah mulai terasa kebas, pandangan pun sudah mulai buram.“Oh, maaf, maaf. Kamu tidak apa-apa, Selvi?” Salman akhirnya menyadari juga keadaanku yang hampir koit. Dia segera melepaskan pelukannya.Uhuuk! Uhuuk! Aku terbatuk-batuk begitu tenggorokan kembali dialiri oksigen. Rasa terbakar di sana terganti dengan perih saat menarik napas.“Kalau mau membunuhku jangan tanggung-tanggung. Sekali libas aja, jika membuat aku menderita gini, sama saja kamu cari masalah denganku. Akan kuhantui kau ke mana pun,” umpatku sembari memegangi leher.Sekejap yang lalu aku benar-benar sudah pasrah dengan hidupku jika harus berakhir di tangan Salman.“Ya, maaf. Aku nggak tau kalau kamu terjepit. Punya badan mungil sih, gampang kelelepnya,” ledek Salman. Bukannya bersimpati melihat penderitaanku, dia justru tersenyum lebar memandangi wajahku.Ingin kuhadiahi bogem mentah ke bingkainya yang merekah itu, tapi tenagaku hilang akibat kehabisan napas barusan. Biar kutabung dulu, jika ada kesempatan nanti akan segera kubalas.“Cieee, yang sempat-sempatnya bermesraan. Dunia serasa jadi milik berdua. Suami sendiri pun sampai lupa,” ledek seseorang dari arah belakang kami, tapi itu bukan suara Tika.Semua orang yang mendengar, meningkahinya dengan bertepuk tangan sambil bersuit-suitan, membuat perasaanku tak nyaman saja. Kupegangi wajahku yang terasa menghangat karenanya. Malu disoraki seperti itu tengah keramaian, apalagi di depan suamiTidak ingin menambah kesalahpahaman, spontan kuambil beberapa langkah menjauhi Salman. Aku harus sadar diri jika statusku masih sebagai istri orang, terlebih aku harus tetap menjaga Marwah suamiku. Takut-takut kuarahkan sudut mataku ke Mas Agus, mencari tahu bagai mana reaksinya.“Apaan sih mereka ini. Membuat orang salah paham aja!” dengkusku kesal. Perasaanku langsung tidak nyaman melihat wajah Mas Agus, kemarahannya terlihat nyata. Jika dia tidak dipegangi beberapa orang, mungkin tangannya sudah melayang ke tubuhku. Tanpa sadar aku bergidik membayangkan ayunan tangannya.“Siapa yang salah paham? Suamimu? Kamu lebih mementingkan perasaannya? Nggak lihat, dia berada di samping istri barunya?” Sudah kubilang, Salman memang keahliannya membuat orang lain sakit hati. Ucapannya langsung menusuk ulu hatiku begitu pedih.“Mataku masih sehat dan tidak rabun, tidak perlu kamu sampaikan begitu aku juga sudah tahu,” gerutuku membuang muka. Menyesal rasanya sempat mengagumi dia yang bisa memberi rasa nyaman, jika ternyata kebaikannya itu dikikis habis oleh mulut pedasnya.“Secara nyata memang matamu itu terpasang sempurna. Tapi, sudah ditutupi oleh cinta yang membuatmu buta.”Duh, tanganku udah gatal ingin menghadiahi mulut lemesnya itu. Sekali pukulan nggak apa-apa kali.Bugh! Tinjuku mendarat cantik di sudut bibirnya. Memang tidak sampai membuat berdarah, tapi setidaknya bisa membuat fokusnya teralih. Sekuat tenaga kukerahkan, tapi sepertinya Salman tidak apa-apa.“Aauu, sakit tau! Main pukul aja,” ringis Salman memegang pipinya. Aku tau dia hanya pura-pura kesakitan, berbekas saja tidak pukulanku di wajahnya, yang ada buku-buku tanganku yang kesakitan. Aku serasa memukul batu, saking keras wajahnya. Entah terbuat dari apa tulangnya, tapi melihat tubuhnya yang kekar, sepertinya Salman sudah terlatih melakukan bela diri, maka pukulanku tidak ada artinya mendarat di wajahnya sekali pun.“Masak iya, badan kekar begitu sakit dengan pukulan ringan aja. Cemen kali aaah.” Aku membalas ledekannya. Cukup puas bisa memberinya pelajaran.Kehebohan pun kembali tercipta melihat tindakanku memukul Salman. Ada yang bersorak, dan tak sedikit yang meneriakiku karena begitu lancang memukul Salman. Secara, fans garis keras pria berusia matang ini cukup banyak di sini.“Jangan main pukul dong, Mbak Selvi. Mas wartawan udah begitu ikhlas membantumu!” seru seseorang dari tengah kerumunan yang ternyata Mbak Atun.“Iya!”“Hargai dong orang yang sudah menolongmu!”“Nggak tahu diri banget!”Ibu-ibu yang lain pun ikut meningkahi. Ternyata begini rasanya menyerang seseorang yang banyak penggemarnya, bukan orang tersebut yang membalas, melainkan pemuja setianya yang menyerang.Salman saja terlihat tidak masalah dengan pukulanku. Kenapa orang lain pula yang sewot? Seolah mereka itu sudah kenal luar dalam dengan Salman. Padahal, pekerjaan asli Salman saja mereka tidak tahu."Aku yang lebih tahu tentang dia. Kenapa pula kalian yang sewot?" Emosi juga aku diserang begitu banyak orang. Dari semua orang di sini aku lah yang paling lama mengenal Salman, mereka tahu apa?Sekilas aku melirik pada Salman yang sedang mengulum senyum menatapku. Kenapa pula dia?"Kenapa?" tanyaku menyuarakan penasaran."Tau nggak, kamu membela laki-laki lain di depan suamimu sendiri."Tak pelak ucapan Salman membuat aku melongo. Bukan begitu maksudku, aku tidak membela siapa pun atau memanasi siapa pun. Hanya berucap begitu saja karena terpancing emosi oleh omongan mereka.“Siapa bilang aku membelamu? Aku hanya nggak terima mereka memakiku,” ucapku membela diri. Tapi tatapan tajam Mas Agus seolah membenarkan ucapan Salman.Mas Agus terlihat aneh dengan kepalanya yang botak, begitu pun dengan Yuni yang sedari tadi hanya diam saja sambil terus menunduk. Aku penasaran apa yang dia pikirkan saat ini, menyesal kah dia telah menikah dengan Mas Agus?“Keduanya telah selesai dibotaki. Apa kita arak sekarang? Masalahnya malam kian menjelang,” ujar bapak-bapak yang berdiri di samping Mas Agus, dia baru saja selesai melakukan ritual pembotakan kepala Mas Agus dengan alat cukur di tangannya.“Sudah kepalang tanggung. Kita arak saja, biar semua orang pada tahu,” timpal bapak-bapak yang lain penuh semangat. Aku yakin, mereka yang berucap itu adalah rekan kerja Mas Agus. Heran
“Mas!” bentakku.“Ini adalah rumahku. Aku tidak mengizinkan dia masuk ke rumah ini, apalagi sampai tinggal di sini.” Aku kira Mas Agus akan menghargai niat baikku telah menyelamatkan mereka. Ternyata malah menjadi bumerang untukku.“Rumahmu? Hei, sadar diri dong! Selama ini aku yang bekerja banting tulang. Kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah, mau mengakui ini rumahmu? Jangan ngimpi!” Keras suaraku, lebih keras lagi suara Mas Agus membentakku.Memang rumah ini dibuat atas nama Mas Agus karena semua biayanya dia yang tanggung. Sebagai istri yang tidak bekerja, aku tentu sadar diri tidak ingin egois dengan mencantumkan namaku di sertifikatnya. Pikirku dulu, Mas Agus akan tetap sama, mencintaiku dan anak-anak selamanya.Sikap Mas Agus berubah 180° dibanding saat dikerubungi masa tadi. Kini Mas Agus berani mengeluarkan taringnya di depanku. Dia hanya berani padaku saja, masih kuingat betul wajah memelasnya tadi meminta tolong padaku ketika beberapa orang memegang tubuhnya.“Kamu l
Sumpah itu bukan aku yang bicara. Mana berani aku mengancam Mas Agus seperti itu. Biar bagai mana pun, rasa hormatku masih besar untuk pria yang bergelar suami ini.Aku dan Mas Agus serentak menoleh pada sumber suara dari arah pintu depan, pada seseorang yang baru saja ikut berbicara. Salman. Ya, bodyguard-ku sudah kembali.Tanpa sadar sudut bibirku langsung tertarik ke atas, membentuk senyuman ceria. Salman memang selalu datang di saat aku membutuhkannya. Dia pria terbaik, eeh.“Salman ... mana mereka?” ujarku langsung menanyakan anak-anak yang tidak datang bersama pria berusia matang ini.“Sudah tidur di rumah Mbak pemilik warung. Katanya biar anak-anak tidur di sana aja. Kasian kalau dibangunin,” balas Salman sambil berjalan mendekat.Benar dugaanku, anak-anak sudah diselamatkan Mbak Jum. Ini kali pertama mereka tidur di rumah orang lain tanpa aku, semoga saja kedua putriku tidak rewel sehingga tidak menyusahkan Mbak Jum.“Hei, pria asing! Jangan seenaknya nyelonong masuk ke rumah
Kutarik lengan baju Salman supaya mendekat, kemudian berbisik padanya, “Hei, bercanda boleh saja, tapi jangan kelewatan.” Aku tak sanggup menghadapi cercaan Yuni, mulutnya super lancang menghina orang lain. Kadang Salman ini tidak berpikir juga sebelum bicara.“Siapa yang bercanda. Memang kenyataannya seperti itu kok.” Salman berujar masih dengan sikap percaya diri.Bagai mana ceritanya aku bisa menjadi atasan Yuni, sementara latar pekerjaan kami bertolak belakang.“Mimpi itu jangan kelamaan, jadi susah ‘kan bedain mana yang kenyataan sama alam mimpi. Tidak akan pernah terjadi dalam sejarah mana pun aku yang seorang sarjana ini menjadi bawahan dia yang hanya seorang ibu rumah tangga tanpa kemampuan itu,” timpal Yuni pongah. Tanpa dia bilang seperti itu pun aku sudah sadar diri duluan.Ingin kugeprek juga nih si Salman. Membuatku hilang muka saja, berbicara tanpa pertanggung jawaban begitu.“Sombong lah sepuasmu, kalau dia
Tanpa melihat orangnya, kami sudah tahu itu suara siapa. Kulirik Tika langsung menegang di tempatnya, sementara aku pun tak kalah takut. Rasanya benar celanaku sudah basah karena cairan berbau pesing itu sudah meluncur keluar.Diam-diam Mbak Jum yang semula duduk di depan kami kabur masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang warung. Sementara aku dan Tika tidak bisa ke mana-mana karena terperangkap di bangku panjang. Dan, Yuni sudah berdiri di depan pintu warung. “Tika! Kamu kan yang melaporkan tidak-tidak pada bapak-bapak itu? Sampai aku dan suamiku menjadi korban amukan mereka.” Suara Yuni terdengar seperti halilintar yang menggelegar di telingaku. Meski kemarahannya bukan ditunjukkan padaku, tapi nyaliku tetap saja menciut mendengarnya.“Me–melaporkan apa? Aku tidak melakukan apa-apa,” balas Tika dengan suara bergetar. Aku tahu dia takut, tapi masih berani melawan. Anaknya yang duduk di atas meja dia pegang dengan kuat.“Halah, nggak usa
Apa? Menjadi CEO di perusahaan Mas Agus bekerja?“Salman ... sepertinya kali ini aku setuju dengan Yu–ni.” Berat kutelan saliva ketika menyebut nama istri kedua Mas Agus itu. Tapi, ucapannya ada benarnya.“Setuju apa?”“Kalau kamu itu mimpinya kelamaan. Barusan udah cuci muka belum?” ujarku sambil menelisik wajahnya yang selalu cerah itu. Sulit membedakan antara bangun tidur atau baru selesai mandi.“Iya nih, kayaknya Mas wartawan ngelintur deh. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah datang ke pabrik menjadi atasan paling tinggi di sana, ngadi-ngadi aja,” celetuk Tika ikut tidak percaya dengan ucapan Salman. Sepertinya dia tahu arti CEO.Aku manggut setuju, selama tinggal di sini memang belum pernah aku menginjakkan kaki ke perusahaan pengelolaan kelapa sawit itu. Dan, sekarang Salman justru mengatakan kalau aku akan menjadi pimpinan tertinggi di sana? Sudah jelas itu mimpi di siang bolong.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan papamu sendiri?” Salman justru berbalik menuduhku.“Gimana
Sepulang dari warung Mbak Jum, segera kucari ponsel yang sudah lama terabaikan itu. Jika tidak ada orang yang mengambil, pasti ada di suatu tempat di rumah ini.Aku harus memastikan perintah Salman pada papa. Masak menyuruhku datang ke perusahaan untuk memperkenalkan diri sebagai pimpinan baru seperti menyuruh belanja ke warung saja. Jangan-jangan itu cuma akal-akalan Salman saja.“Nah, ini dia barangnya,” gumamku ketika berhasil menemukan alat komunikasi tersebut di bawah bantal.Ponsel yang sudah lama tidak tersentuh itu kehabisan dayanya. Wajar, sudah seminggu lebih tergeletak di sana.Sembari menunggu baterainya terisi, aku pergi memeriksa bahan kue ke dapur. Teringat tadi di warung Mbak Jum ada yang meminta aku untuk jualan kue lagi. Mbak Atun, atau siapa itu, aku lupa. “Mbak Selvi udah sehat? Jualan kue lagi napa, Mbak? Udah kangen pengen menikmati bolu buatan Mbak Selvi.” Aku teringat dengan ucapannya tadi.Ternyata banyak sekali yang perhatian padaku, selama berada di warung
Mencoba mengabaikan menjadi yang terasingkan, aku atur mood supaya kembali ceria. Ada hal penting yang harus dilakukan melebihi memikirkan perasaan sendiri. Bukankah selama ini aku sudah terbiasa disakiti oleh Mas Agus?Sementara papa? Jangankan menyakiti, menolak permintaanku saja tidak pernah, meski permintaan konyol sekali pun. Hal sepele sebenarnya saat aku tidak diikut sertakan dalam video call yang mereka lakukan. Tapi, tetap saja hatiku terasa pilu.“Pa ...,” panggilku tertahan. Banyak hal ingin kuceritakan, tapi aku kembali teringat jika Salman pasti sudah melaporkan semua yang terjadi di sini. Makanya papa terkesan santai, tidak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku karena papa sudah mengetahui semuanya.“Ya, Nak. Ada apa?” “Apa benar ... Papa menunjukku sebagai CEO di perusahaan di dekat rumahku?” tanyaku pelan.Rasanya tidak nyaman membicarakan hal seperti ini dengan orang tua yang sudah aku kecewakan.Bertahun-tahun meninggalkan rumah, melepaskan semua kemewahan yang