Tanpa melihat orangnya, kami sudah tahu itu suara siapa. Kulirik Tika langsung menegang di tempatnya, sementara aku pun tak kalah takut. Rasanya benar celanaku sudah basah karena cairan berbau pesing itu sudah meluncur keluar.
Diam-diam Mbak Jum yang semula duduk di depan kami kabur masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang warung. Sementara aku dan Tika tidak bisa ke mana-mana karena terperangkap di bangku panjang. Dan, Yuni sudah berdiri di depan pintu warung.“Tika! Kamu kan yang melaporkan tidak-tidak pada bapak-bapak itu? Sampai aku dan suamiku menjadi korban amukan mereka.” Suara Yuni terdengar seperti halilintar yang menggelegar di telingaku. Meski kemarahannya bukan ditunjukkan padaku, tapi nyaliku tetap saja menciut mendengarnya.“Me–melaporkan apa? Aku tidak melakukan apa-apa,” balas Tika dengan suara bergetar. Aku tahu dia takut, tapi masih berani melawan. Anaknya yang duduk di atas meja dia pegang dengan kuat.“Halah, nggak usaApa? Menjadi CEO di perusahaan Mas Agus bekerja?“Salman ... sepertinya kali ini aku setuju dengan Yu–ni.” Berat kutelan saliva ketika menyebut nama istri kedua Mas Agus itu. Tapi, ucapannya ada benarnya.“Setuju apa?”“Kalau kamu itu mimpinya kelamaan. Barusan udah cuci muka belum?” ujarku sambil menelisik wajahnya yang selalu cerah itu. Sulit membedakan antara bangun tidur atau baru selesai mandi.“Iya nih, kayaknya Mas wartawan ngelintur deh. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah datang ke pabrik menjadi atasan paling tinggi di sana, ngadi-ngadi aja,” celetuk Tika ikut tidak percaya dengan ucapan Salman. Sepertinya dia tahu arti CEO.Aku manggut setuju, selama tinggal di sini memang belum pernah aku menginjakkan kaki ke perusahaan pengelolaan kelapa sawit itu. Dan, sekarang Salman justru mengatakan kalau aku akan menjadi pimpinan tertinggi di sana? Sudah jelas itu mimpi di siang bolong.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan papamu sendiri?” Salman justru berbalik menuduhku.“Gimana
Sepulang dari warung Mbak Jum, segera kucari ponsel yang sudah lama terabaikan itu. Jika tidak ada orang yang mengambil, pasti ada di suatu tempat di rumah ini.Aku harus memastikan perintah Salman pada papa. Masak menyuruhku datang ke perusahaan untuk memperkenalkan diri sebagai pimpinan baru seperti menyuruh belanja ke warung saja. Jangan-jangan itu cuma akal-akalan Salman saja.“Nah, ini dia barangnya,” gumamku ketika berhasil menemukan alat komunikasi tersebut di bawah bantal.Ponsel yang sudah lama tidak tersentuh itu kehabisan dayanya. Wajar, sudah seminggu lebih tergeletak di sana.Sembari menunggu baterainya terisi, aku pergi memeriksa bahan kue ke dapur. Teringat tadi di warung Mbak Jum ada yang meminta aku untuk jualan kue lagi. Mbak Atun, atau siapa itu, aku lupa. “Mbak Selvi udah sehat? Jualan kue lagi napa, Mbak? Udah kangen pengen menikmati bolu buatan Mbak Selvi.” Aku teringat dengan ucapannya tadi.Ternyata banyak sekali yang perhatian padaku, selama berada di warung
Mencoba mengabaikan menjadi yang terasingkan, aku atur mood supaya kembali ceria. Ada hal penting yang harus dilakukan melebihi memikirkan perasaan sendiri. Bukankah selama ini aku sudah terbiasa disakiti oleh Mas Agus?Sementara papa? Jangankan menyakiti, menolak permintaanku saja tidak pernah, meski permintaan konyol sekali pun. Hal sepele sebenarnya saat aku tidak diikut sertakan dalam video call yang mereka lakukan. Tapi, tetap saja hatiku terasa pilu.“Pa ...,” panggilku tertahan. Banyak hal ingin kuceritakan, tapi aku kembali teringat jika Salman pasti sudah melaporkan semua yang terjadi di sini. Makanya papa terkesan santai, tidak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku karena papa sudah mengetahui semuanya.“Ya, Nak. Ada apa?” “Apa benar ... Papa menunjukku sebagai CEO di perusahaan di dekat rumahku?” tanyaku pelan.Rasanya tidak nyaman membicarakan hal seperti ini dengan orang tua yang sudah aku kecewakan.Bertahun-tahun meninggalkan rumah, melepaskan semua kemewahan yang
Pagi menjelang dengan menyingsingkan mentari begitu cerah. Dadaku tak berhenti berdegup kencang dari sehabis subuh tadi, mengingat hari ini aku akan menjadi seorang yang baru dengan profesi baru. Dalam hati selalu bertanya-tanya, sanggupkah aku?Usai menunaikan dua rakaat kewajiban kepada sang Pencipta, aku mulai mengubek-ngubek isi lemari. Mencari pakaian yang pantas aku kenakan untuk datang ke perusahaan. Tapi, profesiku sekarang berbanding terbalik dengan keseharianku selama ini, jadinya aku tidak menemukan sepotong pakaian pun yang cocok membalut tubuhku yang nanti akan memperkenalkan diri sebagai CEO baru. Duh, mengingatnya saja sudah membuat dadaku nyeri. Aku jadi penasaran bagaimana tanggapan mereka yang kenal denganku nanti melihat aku yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa memperkenalkan diri sebagai atasan mereka.“Gimana mau pergi kalau baju aja nggak ada,” gumamku sedih. Kebanyakan isi lemariku hanya baju tidur rumahan atau pun gamis untuk bepergian.Sempat terpiki
“Pakai saja. Nggak usah banyak tanya.” Salman mendelik padaku.Akhirnya kuraih juga kantong berisi pakaian tersebut. Semoga modelnya tidak membuatku malu ketika mengenakannya.“Terima kasih,” ucapku sungkan.“Ingat, ya. Kamu harus sudah selesai berganti baju ketika aku kembali ke sini dan kita siap untuk berangkat.” Salman kembali memperingatiku.Aku mengangguk pelan menyanggupi, sementara kedua anakku sudah berpegangan pada Salman. Pekerjaanku mengantar mereka sudah sepenuhnya diambil alih Salman.“Kita berangkat sekarang?” Salman beralih pada anak-anakku. Wajahnya yang semula serius ketika berbicara padaku berubah ceria ketika berhadapan dengan dua bocah itu. Memang pintar sekali Salman mengambil hati mereka.“Ayo.” Serempak Ayuni dan Rafni menjawab.Aku kira mereka akan pergi begitu saja tanpa berpamitan serta bersalaman denganku. Tapi, ucapan Salman kemudian membuat senyum kembali merekah di bibirku. “Salim dulu dong sama mama,” ujar Salman mengurai pegangan tangannya pada dua b
“Permak?” Dahiku mengernyit. Spontan aku menoleh ke bawah, celanaku terasa nyaman. Lagi pula bahannya bukan jeans, kenapa harus dipermak?“Apa yang mau dipermak?” tanyaku menyuarakan penasaran. Apa Salman menginginkanku memakai celana yang lebih ketat lagi? Kenapa harus diperkecil sekarang? Di saat hendak pergi ke perusahaan.“Itu ... wajah pucatmu perlu diberikan sedikit polesan make up supaya terlihat segar dan elegan. Jika kamu datang begini untuk memperkenalkan diri, siapa yang akan percaya jika kamu itu seorang CEO?” Salman mengangkat dagunya menunjuk wajahku yang kini terasa kuyup oleh keringat.Saking groginya menghadapi hari ini, aku sampai lupa dengan mulut lemesnya. Dadaku sudah terlanjur mengembang karena bahagia akan menyambut hari ini.“Aku tadi sudah pake bedak. Ngapain harus make up lagi?” sungutku protes. Meski hanya bedak dan lipstik murahan, tapi aku yakin masih menempel di wajahku.Bukannya menanggapi, Salman malah melangkah masuk ke dalam mobil di bangku sebelah so
“Ma–mantan suami? Ta–tapi kenapa kamu bisa berujung di sini?” Suaraku tercekat di tenggorokan mendapati kenyataan ini. Cukup syok mendengar Salman sudah pernah menikah. Sejauh ini berhubungan dengan Salman, dia memang tidak pernah membahas tentang keluarganya. Ingatanku kembali melayang ketika dulu aku sempat menanyakan tentang keluarganya dan dia diam saja. Ternyata ini alasannya.“Jadi Salman seorang duda?” pekikku lagi. Entah mengapa, terasa aneh saja ketika aku mengetahui statusnya.“Kapan kalian menikah dan kapan pula berpisahnya?” Aku kembali bertanya ketika Sonia hendak membuka mulut untuk menjawab.Seingatku, ketika dia mengawasiku dulu di masa SMA-ku, Salman masih bujangan. Dan, setelahnya aku memang tidak mengetahui kabarnya lagi sampai bertemu kembali satu bulan yang lalu.“Dia duda rasa perjaka karena kami belum sempat melakukan malam pertama. Pernikahan kami hanya berlangsung beberapa bulan saja karena aku memutuskan kabur dengan pria lain yang waktu itu aku cintai.” Ne
Mataku menyipit. Ucapan Sonia terlalu ambigu bagiku. Dia seperti bermain petak umpet denganku.“Bisa jelaskan lebih detail, Son? Daya tangkap otakku lambat, jadi aku kurang paham maksud ucapanmu,” tuturku berterus terang. Lebih baik dia ceritakan saja yang sebenarnya, dari pada sarkas begini. “Sudahlah, abaikan saja. Masih banyak waktu untuk kita bercerita, setelah ini kita akan sering berjumpa. Aku harap kita bisa akur, ya.” Sonia mengerlingkan sebelah matanya.Bukannya membuat aku mengerti, ucapannya justru menambah kebingunganku.“Masih ada sesi makeup selanjutnya?” tanyaku penasaran. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan di belakangku.“Kita lihat saja nanti. Sekarang ayo ke depan. Pasti Salman sudah tak sabar menunggu,” jawab Sonia mulai melangkah. Terpaksa aku pun mengikut dari belakang.Langkahku terasa kikuk ketika jarakku dengan Salman semakin dekat. Entah kenapa ucapan Sonia tadi kembali terngiang ketika netra Salman menatap lamat ke arahku. Terasa ada yang menjalar hanga