Mencoba mengabaikan menjadi yang terasingkan, aku atur mood supaya kembali ceria. Ada hal penting yang harus dilakukan melebihi memikirkan perasaan sendiri. Bukankah selama ini aku sudah terbiasa disakiti oleh Mas Agus?Sementara papa? Jangankan menyakiti, menolak permintaanku saja tidak pernah, meski permintaan konyol sekali pun. Hal sepele sebenarnya saat aku tidak diikut sertakan dalam video call yang mereka lakukan. Tapi, tetap saja hatiku terasa pilu.“Pa ...,” panggilku tertahan. Banyak hal ingin kuceritakan, tapi aku kembali teringat jika Salman pasti sudah melaporkan semua yang terjadi di sini. Makanya papa terkesan santai, tidak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku karena papa sudah mengetahui semuanya.“Ya, Nak. Ada apa?” “Apa benar ... Papa menunjukku sebagai CEO di perusahaan di dekat rumahku?” tanyaku pelan.Rasanya tidak nyaman membicarakan hal seperti ini dengan orang tua yang sudah aku kecewakan.Bertahun-tahun meninggalkan rumah, melepaskan semua kemewahan yang
Pagi menjelang dengan menyingsingkan mentari begitu cerah. Dadaku tak berhenti berdegup kencang dari sehabis subuh tadi, mengingat hari ini aku akan menjadi seorang yang baru dengan profesi baru. Dalam hati selalu bertanya-tanya, sanggupkah aku?Usai menunaikan dua rakaat kewajiban kepada sang Pencipta, aku mulai mengubek-ngubek isi lemari. Mencari pakaian yang pantas aku kenakan untuk datang ke perusahaan. Tapi, profesiku sekarang berbanding terbalik dengan keseharianku selama ini, jadinya aku tidak menemukan sepotong pakaian pun yang cocok membalut tubuhku yang nanti akan memperkenalkan diri sebagai CEO baru. Duh, mengingatnya saja sudah membuat dadaku nyeri. Aku jadi penasaran bagaimana tanggapan mereka yang kenal denganku nanti melihat aku yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa memperkenalkan diri sebagai atasan mereka.“Gimana mau pergi kalau baju aja nggak ada,” gumamku sedih. Kebanyakan isi lemariku hanya baju tidur rumahan atau pun gamis untuk bepergian.Sempat terpiki
“Pakai saja. Nggak usah banyak tanya.” Salman mendelik padaku.Akhirnya kuraih juga kantong berisi pakaian tersebut. Semoga modelnya tidak membuatku malu ketika mengenakannya.“Terima kasih,” ucapku sungkan.“Ingat, ya. Kamu harus sudah selesai berganti baju ketika aku kembali ke sini dan kita siap untuk berangkat.” Salman kembali memperingatiku.Aku mengangguk pelan menyanggupi, sementara kedua anakku sudah berpegangan pada Salman. Pekerjaanku mengantar mereka sudah sepenuhnya diambil alih Salman.“Kita berangkat sekarang?” Salman beralih pada anak-anakku. Wajahnya yang semula serius ketika berbicara padaku berubah ceria ketika berhadapan dengan dua bocah itu. Memang pintar sekali Salman mengambil hati mereka.“Ayo.” Serempak Ayuni dan Rafni menjawab.Aku kira mereka akan pergi begitu saja tanpa berpamitan serta bersalaman denganku. Tapi, ucapan Salman kemudian membuat senyum kembali merekah di bibirku. “Salim dulu dong sama mama,” ujar Salman mengurai pegangan tangannya pada dua b
“Permak?” Dahiku mengernyit. Spontan aku menoleh ke bawah, celanaku terasa nyaman. Lagi pula bahannya bukan jeans, kenapa harus dipermak?“Apa yang mau dipermak?” tanyaku menyuarakan penasaran. Apa Salman menginginkanku memakai celana yang lebih ketat lagi? Kenapa harus diperkecil sekarang? Di saat hendak pergi ke perusahaan.“Itu ... wajah pucatmu perlu diberikan sedikit polesan make up supaya terlihat segar dan elegan. Jika kamu datang begini untuk memperkenalkan diri, siapa yang akan percaya jika kamu itu seorang CEO?” Salman mengangkat dagunya menunjuk wajahku yang kini terasa kuyup oleh keringat.Saking groginya menghadapi hari ini, aku sampai lupa dengan mulut lemesnya. Dadaku sudah terlanjur mengembang karena bahagia akan menyambut hari ini.“Aku tadi sudah pake bedak. Ngapain harus make up lagi?” sungutku protes. Meski hanya bedak dan lipstik murahan, tapi aku yakin masih menempel di wajahku.Bukannya menanggapi, Salman malah melangkah masuk ke dalam mobil di bangku sebelah so
“Ma–mantan suami? Ta–tapi kenapa kamu bisa berujung di sini?” Suaraku tercekat di tenggorokan mendapati kenyataan ini. Cukup syok mendengar Salman sudah pernah menikah. Sejauh ini berhubungan dengan Salman, dia memang tidak pernah membahas tentang keluarganya. Ingatanku kembali melayang ketika dulu aku sempat menanyakan tentang keluarganya dan dia diam saja. Ternyata ini alasannya.“Jadi Salman seorang duda?” pekikku lagi. Entah mengapa, terasa aneh saja ketika aku mengetahui statusnya.“Kapan kalian menikah dan kapan pula berpisahnya?” Aku kembali bertanya ketika Sonia hendak membuka mulut untuk menjawab.Seingatku, ketika dia mengawasiku dulu di masa SMA-ku, Salman masih bujangan. Dan, setelahnya aku memang tidak mengetahui kabarnya lagi sampai bertemu kembali satu bulan yang lalu.“Dia duda rasa perjaka karena kami belum sempat melakukan malam pertama. Pernikahan kami hanya berlangsung beberapa bulan saja karena aku memutuskan kabur dengan pria lain yang waktu itu aku cintai.” Ne
Mataku menyipit. Ucapan Sonia terlalu ambigu bagiku. Dia seperti bermain petak umpet denganku.“Bisa jelaskan lebih detail, Son? Daya tangkap otakku lambat, jadi aku kurang paham maksud ucapanmu,” tuturku berterus terang. Lebih baik dia ceritakan saja yang sebenarnya, dari pada sarkas begini. “Sudahlah, abaikan saja. Masih banyak waktu untuk kita bercerita, setelah ini kita akan sering berjumpa. Aku harap kita bisa akur, ya.” Sonia mengerlingkan sebelah matanya.Bukannya membuat aku mengerti, ucapannya justru menambah kebingunganku.“Masih ada sesi makeup selanjutnya?” tanyaku penasaran. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan di belakangku.“Kita lihat saja nanti. Sekarang ayo ke depan. Pasti Salman sudah tak sabar menunggu,” jawab Sonia mulai melangkah. Terpaksa aku pun mengikut dari belakang.Langkahku terasa kikuk ketika jarakku dengan Salman semakin dekat. Entah kenapa ucapan Sonia tadi kembali terngiang ketika netra Salman menatap lamat ke arahku. Terasa ada yang menjalar hanga
“Yuni!” pekikku tertahan mendapati seseorang yang berdiri di balik pintu. Aku mendengar suaranya yang begitu keras menyuruhku keluar.“Ngapain dia ke sini? Apa dia tahu aku yang ada di dalam mobil ini?” tanyaku heran melihat wajah Yuni yang sudah menempel di kaca, memperhatikan kami yang ada di dalam.Ternyata dia masih bekerja. Aku kira karena kejadian kemarin dia akan dipecat dari pekerjaannya. Selain itu, dia sudah kembali terlihat cantik dengan rambut panjang menutupi kepalanya. “Dia pake rambut palsu nggak sih? Cepat banget tumbuh rambutnya,” gumamku lebih ke berbicara sendiri.“Begitulah penjilatnya si ular itu,” ujar Salman ternyata juga ikut melirik pada Yuni. Entah pertanyaanku yang mana yang dijawabnya.“Apa dia tahu kita yang ada di dalam sini?” Heran juga melihat Yuni yang langsung menyambutku jika dia sudah mengetahui bahwa aku yang menjadi pimpinan barunya.Aku saja sejak tadi sudah berkeringat dingin mengingat akan bertemu dia di sini, berharap-harap dia sudah tidak bek
“Apa?” Netra Yuni membulat sempurna.Sudah kuduga dia akan bereaksi seperti itu. Masih untung dia tidak pingsan mendengarnya. Beberapa detik Yuni terpaku di tempatnya, kemudian berhasil mengembalikan kesadaran.“Mana mungkin perempuan udik ini menjadi CEO di sini?” Tentu saja Yuna akan menyangkal. Dari segi mana pun, aku tidak mempunyai latar belakang yang bisa menjadikanku sebagai CEO. Apalagi semua orang mengetahui aku di sini seorang yang sebatang kara. Aku yakin Yuni akan tetap berpegang teguh dengan ceritaku yang seperti itu. Meski kemarin Salman sudah memberi bayangan padanya jika aku ini akan menjadi atasannya.“Tapi memang begitu kenyataannya, Buk. Hari ini dijanjikan beliau datang untuk memperkenalkan diri,” timpal Tomo sopan. Semenjak semula pria berwajah mulus ini memang terlihat tenang menghadapi Yuni, tidak terpancing dengan suara Yuni yang meninggi.“Hah? Bagaimana mungkin ini terjadi?” Terdengar Yuni masih saja menyangkal. Tapi kali ini suaranya sudah melunak, bahka