Apa? Menjadi CEO di perusahaan Mas Agus bekerja?
“Salman ... sepertinya kali ini aku setuju dengan Yu–ni.” Berat kutelan saliva ketika menyebut nama istri kedua Mas Agus itu. Tapi, ucapannya ada benarnya.“Setuju apa?”“Kalau kamu itu mimpinya kelamaan. Barusan udah cuci muka belum?” ujarku sambil menelisik wajahnya yang selalu cerah itu. Sulit membedakan antara bangun tidur atau baru selesai mandi.“Iya nih, kayaknya Mas wartawan ngelintur deh. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah datang ke pabrik menjadi atasan paling tinggi di sana, ngadi-ngadi aja,” celetuk Tika ikut tidak percaya dengan ucapan Salman. Sepertinya dia tahu arti CEO.Aku manggut setuju, selama tinggal di sini memang belum pernah aku menginjakkan kaki ke perusahaan pengelolaan kelapa sawit itu. Dan, sekarang Salman justru mengatakan kalau aku akan menjadi pimpinan tertinggi di sana? Sudah jelas itu mimpi di siang bolong.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan papamu sendiri?” Salman justru berbalik menuduhku.“Gimana aku bisa percaya, papa sendiri tidak pernah mengabariku tentang hal ini. Semuanya keluar dari mulutmu. Kalau ada mandat yang keluar dari papa baru aku percaya,” ujarku mantap.“Kamu aja yang sulit Pak Bos hubungi. Ponsel kamu mana, coba? Sudah berapa hari tidak memegang benda komunikasi tersebut?”Aku baru teringat dengan ponselku yang sekarang entah berada di mana. Memang benar sudah lebih seminggu sepertinya aku tidak memegang benda tersebut, semenjak Mas Agus pergi untuk menikah dengan Yuni itu lah.“Entah lah. Berada di mana ya ponselku?” ujarku bingung sendiri. Jujur aku beneran lupa dengan keberadaan alat komunikasiku itu.“Serius kamu udah lama nggak pegang ponsel, Mbak Selvi? Bisa tahan gitu? Aku satu jam aja tinggal ngecas, udah pusing kliyengan,” celetuk Tika melongo tak percaya.Memang siapa yang tahan lama-lama tanpa ponsel pintar di zaman sekarang? Hanya aku kayaknya.“Aku bahkan lupa di mana letaknya, Tik,” timpalku cengengesan. Ketika hati sedang gundah, mana peduli dengan apa pun. Untuk mengisi perut pun aku tidak berselera. Masa paling menyedihkan dalam hidupku ya kemarin itu, ketika Mas Agus pergi meninggalkan kami untuk menikah lagi.Sekarang, luka itu masih menganga lebar. Hanya saja aku berusaha untuk mengabaikan. Jika terus berkubang dalam keterpurukan, kasihan anak-anakku bisa kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Aku tidak ingin menjadi Mas Agus ke dua di hati mereka, cukup Mas Agus saja yang menggoreskan luka, aku ingin menjadi penyembuh serta pelindung untuk mereka.Tidur sendirian semalam, membuat aku lebih banyak berpikir tentang setiap masalah yang menimpaku. Terlebih dengan dampak yang bisa didapatkan anak-anakku. Aku hidup sudah menuju tua, sementara mereka baru menginjak usia emas yang sedang bertumbuh. Seharusnya mereka terhindar dari hal-hal buruk yang bisa merusak pola pikir dan mental mereka.Dari pada berlarut-larut dalam kesedihan dan menganggap diri sudah menjadi orang tua yang gagal, aku putuskan untuk lebih fokus pada anak-anak, berharap bisa memperbaiki perasaan mereka setelah ikut mengalami kejadian buruk beberapa hari belakangan.“Tetap saja aku tidak percaya. Sejak kapan papa mengambil alih perusahaan itu sehingga sekarang menunjukku sebagai CEO?” ujarku kemudian setelah puas bermain dengan pikiran sendiri.Aku tahu papa memang seorang pengusaha, tapi usaha cinta pertamaku itu bergerak di bidang makanan. Kenapa sekarang bisa berpindah haluan ke pabrik pengolahan buah sawit. Otak tamat SMA-ku ini tidak bisa menghubungkan keduanya. Selain itu aku beranggapan membeli sebuah perusahaan besar pasti membutuhkan uang yang sangat banyak? Apa uang yang papa dapatkan dari restorannya mencukupi?Aah, entahlah. Mungkin saja usaha papa sudah berkembang pesat. Sudah sepuluh tahun aku tidak mengetahui seperti apa perkembangan usaha papa.“Sudah sejak lama dan memang sengaja disembunyikan darimu.”“Kenapa harus disembunyikan? Toh, aku juga tidak akan me–“Pria kepercayaan papa itu langsung memotong ucapanku, “Nah, salah satu alasannya karena pikiran burukmu itu Pak Hermawan menyembunyikannya darimu. Belum apa-apa, kamu sudah berpikiran aneh.”“Enak saja pikiran buruk. Memangnya kamu tahu isi kepalaku?” dengkusku merengut kesal. Seenaknya menyimpulkan ucapan yang belum kuselesaikan.“Ya itu, yang mau kamu ucapkan barusan,” timpal Salman enteng.Aku mendelik kesal ke arahnya, “Idih, sok tahu banget.”Jika sudah ada Salman di dekatku, aku seakan lupa dengan yang ada di sekitarku. Tenaga dan pikiranku sudah terkuras untuk menghadapinya. Seperti saat ini, aku melupakan Tika dan Mbak Jum yang ada di dekat kami.“Perbincangan kalian terlalu sulit untuk kami ikuti,” ujar Tika menengahi perbincanganku dengan Salman.“Iya bener. Dari tadi ingin ikut nimbrung, tapi arti CEO aja aku nggak tahu.” Mbak Jum ikut menimpali.Menyadari ada dua orang yang terabaikan, aku mengubah posisi duduk supaya tidak lagi terlalu fokus pada Salman. Bisa lama-lama korslet otakku jika terlalu sering berdebat dengannya."Intinya, tetangga super lemot kalian ini sebentar lagi akan menjadi pimpinan di perusahaan tempat suami kalian bekerja," ucap Salman membalas Tika dan Mbak Jum sekaligus."Beneran, Mbak Selvi?" Wajah Mbak Jum berbinar menatapku, berbeda dengan Tika yang terkesan biasa aja. Sama dengan tadi, dia sepertinya tidak percaya dengan ucapan Salman."Nggak tau, Mbak. Aku meragukan ucapan dia," tukasku seraya menunjuk Salman dengan memonyongkan bibir."Kok bisa, Mbak Sel?" Kembali Mbak Jum bertanya, kali ini terlihat ekspresi tak percaya di wajahnya."Iya itu makanya aku minta bukti otentik dari dia, jangan cuma bualan aja.""Mas wartawan, jangan berlebihan deh ngerjain Mbak Selvi. Kasihan, dia baru saja melewati hari-hari yang berat." Wajah serius Tika membuatku ingin tertawa, bukan dia sekali seperti itu. Tapi, salut juga dia selalu membelaku.Bagi Tika yang selama ini melihatku sebagai ibu rumah tangga biasa, tentu ucapan Salman terdengar sebagai bualan belaka. Walau pun dia sudah mengetahui jika aku ini anak orang kaya, tetap saja sulit baginya percaya jika melihat kehidupanku tetap saja seperti sebelumnya."Tau nih Mas wartawan. Yang terang-terangan suka sama dia itu Tika, tapi Mbak Selvi yang selalu dikerjainya. Puas banget liat orang susah malah dia timpahi tangga." Mbak Jum tak mau kalah, dia ikut menyudutkan Salman.Sebelum mereka memarahi Salman, ada yang ingin aku luruskan dulu. Salman tidak sepenuhnya salah menurutku. Hanya mereka yang tidak mengetahui duduk permasalahannya."Eem, Tik, Mbak Jum ... sebenarnya Salman itu bukan wartawan, dia orang khusus yang diperintahkan papaku datang ke sini untuk memantau sekaligus menjagaku. Jadi, berhenti memanggilnya Mas wartawan, panggil aja Salman, atau kalau nggak panggil aja pria songong," ucapku memberi penjelasan.Aku tidak tahu apa ini sebuah kebenaran yang mengejutkan atau mereka sudah mengetahuinya. Tapi melihat keduanya langsung melongo, Tika bahkan sampai menutup mulutnya dengan telapak tangan, aku mengganggap jika mereka cukup terkejut mendengarnya."Aku sudah menduga, melihat kalian sudah tidak canggung saat bertemu." Tika yang semula melongo, berbicara datar. Aku tahu dia berusaha menjaga image. Entah apa maksudnya."Bener juga sih, jika tidak saling kenal sebelumnya, mana mungkin Mas war–eh, Mas Salman selalu berada di garda terdepan membantu Mbak Selvi. Aku malah curiga jika ada udang di balik bakwan atas sikap sigap Mas-nya," imbuh Mbak Jum tersenyum."Apaan sih, Mbak Jum. Dia ini orang kepercayaan papa." Wajahku tiba-tiba menghangat mendengar ucapan Mbak Jum."Enak tuh, udang di balik bakwan," celetuk Salman. Dia sepertinya tidak paham dengan bahasa sindiran."Enak katanya, Mbak Sel." Mbak Jum terkekeh. Sementara wajahku semakin panas rasanya.Duh, kenapa denganku? Salman yang diledekin, tapi aku yang tersipu.Sepulang dari warung Mbak Jum, segera kucari ponsel yang sudah lama terabaikan itu. Jika tidak ada orang yang mengambil, pasti ada di suatu tempat di rumah ini.Aku harus memastikan perintah Salman pada papa. Masak menyuruhku datang ke perusahaan untuk memperkenalkan diri sebagai pimpinan baru seperti menyuruh belanja ke warung saja. Jangan-jangan itu cuma akal-akalan Salman saja.“Nah, ini dia barangnya,” gumamku ketika berhasil menemukan alat komunikasi tersebut di bawah bantal.Ponsel yang sudah lama tidak tersentuh itu kehabisan dayanya. Wajar, sudah seminggu lebih tergeletak di sana.Sembari menunggu baterainya terisi, aku pergi memeriksa bahan kue ke dapur. Teringat tadi di warung Mbak Jum ada yang meminta aku untuk jualan kue lagi. Mbak Atun, atau siapa itu, aku lupa. “Mbak Selvi udah sehat? Jualan kue lagi napa, Mbak? Udah kangen pengen menikmati bolu buatan Mbak Selvi.” Aku teringat dengan ucapannya tadi.Ternyata banyak sekali yang perhatian padaku, selama berada di warung
Mencoba mengabaikan menjadi yang terasingkan, aku atur mood supaya kembali ceria. Ada hal penting yang harus dilakukan melebihi memikirkan perasaan sendiri. Bukankah selama ini aku sudah terbiasa disakiti oleh Mas Agus?Sementara papa? Jangankan menyakiti, menolak permintaanku saja tidak pernah, meski permintaan konyol sekali pun. Hal sepele sebenarnya saat aku tidak diikut sertakan dalam video call yang mereka lakukan. Tapi, tetap saja hatiku terasa pilu.“Pa ...,” panggilku tertahan. Banyak hal ingin kuceritakan, tapi aku kembali teringat jika Salman pasti sudah melaporkan semua yang terjadi di sini. Makanya papa terkesan santai, tidak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku karena papa sudah mengetahui semuanya.“Ya, Nak. Ada apa?” “Apa benar ... Papa menunjukku sebagai CEO di perusahaan di dekat rumahku?” tanyaku pelan.Rasanya tidak nyaman membicarakan hal seperti ini dengan orang tua yang sudah aku kecewakan.Bertahun-tahun meninggalkan rumah, melepaskan semua kemewahan yang
Pagi menjelang dengan menyingsingkan mentari begitu cerah. Dadaku tak berhenti berdegup kencang dari sehabis subuh tadi, mengingat hari ini aku akan menjadi seorang yang baru dengan profesi baru. Dalam hati selalu bertanya-tanya, sanggupkah aku?Usai menunaikan dua rakaat kewajiban kepada sang Pencipta, aku mulai mengubek-ngubek isi lemari. Mencari pakaian yang pantas aku kenakan untuk datang ke perusahaan. Tapi, profesiku sekarang berbanding terbalik dengan keseharianku selama ini, jadinya aku tidak menemukan sepotong pakaian pun yang cocok membalut tubuhku yang nanti akan memperkenalkan diri sebagai CEO baru. Duh, mengingatnya saja sudah membuat dadaku nyeri. Aku jadi penasaran bagaimana tanggapan mereka yang kenal denganku nanti melihat aku yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa memperkenalkan diri sebagai atasan mereka.“Gimana mau pergi kalau baju aja nggak ada,” gumamku sedih. Kebanyakan isi lemariku hanya baju tidur rumahan atau pun gamis untuk bepergian.Sempat terpiki
“Pakai saja. Nggak usah banyak tanya.” Salman mendelik padaku.Akhirnya kuraih juga kantong berisi pakaian tersebut. Semoga modelnya tidak membuatku malu ketika mengenakannya.“Terima kasih,” ucapku sungkan.“Ingat, ya. Kamu harus sudah selesai berganti baju ketika aku kembali ke sini dan kita siap untuk berangkat.” Salman kembali memperingatiku.Aku mengangguk pelan menyanggupi, sementara kedua anakku sudah berpegangan pada Salman. Pekerjaanku mengantar mereka sudah sepenuhnya diambil alih Salman.“Kita berangkat sekarang?” Salman beralih pada anak-anakku. Wajahnya yang semula serius ketika berbicara padaku berubah ceria ketika berhadapan dengan dua bocah itu. Memang pintar sekali Salman mengambil hati mereka.“Ayo.” Serempak Ayuni dan Rafni menjawab.Aku kira mereka akan pergi begitu saja tanpa berpamitan serta bersalaman denganku. Tapi, ucapan Salman kemudian membuat senyum kembali merekah di bibirku. “Salim dulu dong sama mama,” ujar Salman mengurai pegangan tangannya pada dua b
“Permak?” Dahiku mengernyit. Spontan aku menoleh ke bawah, celanaku terasa nyaman. Lagi pula bahannya bukan jeans, kenapa harus dipermak?“Apa yang mau dipermak?” tanyaku menyuarakan penasaran. Apa Salman menginginkanku memakai celana yang lebih ketat lagi? Kenapa harus diperkecil sekarang? Di saat hendak pergi ke perusahaan.“Itu ... wajah pucatmu perlu diberikan sedikit polesan make up supaya terlihat segar dan elegan. Jika kamu datang begini untuk memperkenalkan diri, siapa yang akan percaya jika kamu itu seorang CEO?” Salman mengangkat dagunya menunjuk wajahku yang kini terasa kuyup oleh keringat.Saking groginya menghadapi hari ini, aku sampai lupa dengan mulut lemesnya. Dadaku sudah terlanjur mengembang karena bahagia akan menyambut hari ini.“Aku tadi sudah pake bedak. Ngapain harus make up lagi?” sungutku protes. Meski hanya bedak dan lipstik murahan, tapi aku yakin masih menempel di wajahku.Bukannya menanggapi, Salman malah melangkah masuk ke dalam mobil di bangku sebelah so
“Ma–mantan suami? Ta–tapi kenapa kamu bisa berujung di sini?” Suaraku tercekat di tenggorokan mendapati kenyataan ini. Cukup syok mendengar Salman sudah pernah menikah. Sejauh ini berhubungan dengan Salman, dia memang tidak pernah membahas tentang keluarganya. Ingatanku kembali melayang ketika dulu aku sempat menanyakan tentang keluarganya dan dia diam saja. Ternyata ini alasannya.“Jadi Salman seorang duda?” pekikku lagi. Entah mengapa, terasa aneh saja ketika aku mengetahui statusnya.“Kapan kalian menikah dan kapan pula berpisahnya?” Aku kembali bertanya ketika Sonia hendak membuka mulut untuk menjawab.Seingatku, ketika dia mengawasiku dulu di masa SMA-ku, Salman masih bujangan. Dan, setelahnya aku memang tidak mengetahui kabarnya lagi sampai bertemu kembali satu bulan yang lalu.“Dia duda rasa perjaka karena kami belum sempat melakukan malam pertama. Pernikahan kami hanya berlangsung beberapa bulan saja karena aku memutuskan kabur dengan pria lain yang waktu itu aku cintai.” Ne
Mataku menyipit. Ucapan Sonia terlalu ambigu bagiku. Dia seperti bermain petak umpet denganku.“Bisa jelaskan lebih detail, Son? Daya tangkap otakku lambat, jadi aku kurang paham maksud ucapanmu,” tuturku berterus terang. Lebih baik dia ceritakan saja yang sebenarnya, dari pada sarkas begini. “Sudahlah, abaikan saja. Masih banyak waktu untuk kita bercerita, setelah ini kita akan sering berjumpa. Aku harap kita bisa akur, ya.” Sonia mengerlingkan sebelah matanya.Bukannya membuat aku mengerti, ucapannya justru menambah kebingunganku.“Masih ada sesi makeup selanjutnya?” tanyaku penasaran. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan di belakangku.“Kita lihat saja nanti. Sekarang ayo ke depan. Pasti Salman sudah tak sabar menunggu,” jawab Sonia mulai melangkah. Terpaksa aku pun mengikut dari belakang.Langkahku terasa kikuk ketika jarakku dengan Salman semakin dekat. Entah kenapa ucapan Sonia tadi kembali terngiang ketika netra Salman menatap lamat ke arahku. Terasa ada yang menjalar hanga
“Yuni!” pekikku tertahan mendapati seseorang yang berdiri di balik pintu. Aku mendengar suaranya yang begitu keras menyuruhku keluar.“Ngapain dia ke sini? Apa dia tahu aku yang ada di dalam mobil ini?” tanyaku heran melihat wajah Yuni yang sudah menempel di kaca, memperhatikan kami yang ada di dalam.Ternyata dia masih bekerja. Aku kira karena kejadian kemarin dia akan dipecat dari pekerjaannya. Selain itu, dia sudah kembali terlihat cantik dengan rambut panjang menutupi kepalanya. “Dia pake rambut palsu nggak sih? Cepat banget tumbuh rambutnya,” gumamku lebih ke berbicara sendiri.“Begitulah penjilatnya si ular itu,” ujar Salman ternyata juga ikut melirik pada Yuni. Entah pertanyaanku yang mana yang dijawabnya.“Apa dia tahu kita yang ada di dalam sini?” Heran juga melihat Yuni yang langsung menyambutku jika dia sudah mengetahui bahwa aku yang menjadi pimpinan barunya.Aku saja sejak tadi sudah berkeringat dingin mengingat akan bertemu dia di sini, berharap-harap dia sudah tidak bek