“Apa?” Netra Yuni membulat sempurna.Sudah kuduga dia akan bereaksi seperti itu. Masih untung dia tidak pingsan mendengarnya. Beberapa detik Yuni terpaku di tempatnya, kemudian berhasil mengembalikan kesadaran.“Mana mungkin perempuan udik ini menjadi CEO di sini?” Tentu saja Yuna akan menyangkal. Dari segi mana pun, aku tidak mempunyai latar belakang yang bisa menjadikanku sebagai CEO. Apalagi semua orang mengetahui aku di sini seorang yang sebatang kara. Aku yakin Yuni akan tetap berpegang teguh dengan ceritaku yang seperti itu. Meski kemarin Salman sudah memberi bayangan padanya jika aku ini akan menjadi atasannya.“Tapi memang begitu kenyataannya, Buk. Hari ini dijanjikan beliau datang untuk memperkenalkan diri,” timpal Tomo sopan. Semenjak semula pria berwajah mulus ini memang terlihat tenang menghadapi Yuni, tidak terpancing dengan suara Yuni yang meninggi.“Hah? Bagaimana mungkin ini terjadi?” Terdengar Yuni masih saja menyangkal. Tapi kali ini suaranya sudah melunak, bahka
“Ada apa?” Dalam satu gerakan cepat, Salman sudah menghambur ke dekatku.Dia berjinjit mendekati kursi kerja yang aku tunjuk. Di atasnya terdapat kotak, di dalamnya terlihat sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.“Apa itu? Kenapa berlumuran darah begitu?” tanyaku penasaran. Meski takut, tapi aku tetap mengintip dari balik punggung Salman.“Ini ... bangkai tikus yang di lumuri darah.” Salman mengangkat sesuatu yang mengerikan itu, darahnya menetes ketika Salman mengangkat buntang tersebut. Tapi dia tidak terlihat jijik ataupun takut.“Astaghfirullahal'azim! Siapa yang tega menarohnya di sana?” pekikku syok. Jelas ini sebuah bentuk kejahatan.“Sudah pasti seseorang yang tidak menyukai kamu sebagai CEO baru,” gumam Salman sembari mengamati isi dari kotak di atas kursi itu. Mana tahu ada surat ancaman atau semacamnya.“Cepat buang sana! Ngeri kali ih.” Aku bergidik melihat Salman mengaduk-aduk kotak yang dilumuri darah itu.Pikiranku langsung teringat pada Yuni atau Mas Agus yang me
“Gini aja, biarkan saja Sel ... eh, Bu CEO ikut bareng kita.” Salman mengubah panggilan yang biasa dia gunakan menjadi panggilan formal di depan Tomo.Aneh juga mendengarnya jika dia tetap memanggilku dengan sebutan nama, sementara aku adalah atasannya di perusahaan ini. Apa lagi dia memanggilnya di depan karyawan lain.“Lebih aman sepertinya begitu. Dari pada Bu CEO sendirian di sini, atau salah satu dari kita tinggal di sini,” sambung Salman akhirnya membuat keputusan.“Hmm. Iya, dari pada Bu CEO ketakutan sendirian di sini. Lebih baik ikut saja.” Tomo menyetujui.Kami pun akhirnya bergerak menuju ruang kendali CCTV yang terletak di lantai satu.Benar dugaan Tomo, keberadaanku yang berjalan bersama mereka menarik perhatian karyawan lain yang memang sudah menunggu kedatangan pimpinan baru mereka.Beberapa karyawan bahkan ada yang datang menghampiri kami untuk sekadar menyapa.“Selamat datang, Bu CEO,” sapa mereka ketika kami lewat di dekat mereka.Aku mengangguk sopan menanggapi sapa
“Coba diperbesar gambarnya lagi!” perintah Tomo.Rekan kerja Rudi itu kembali menuruti, jemarinya begitu lincah bergerak di atas kursor.Beberapa saat kami fokus mengamati pria yang tertangkap kamera sedang mengendap-endap masuk ke ruangan CEO sambil membawa sesuatu di tangannya. Meski tidak terlalu jelas di kamera, tapi aku yakin yang dibawanya itu adalah kotak berisi tikus berlumuran darah yang tadi kami temukan.“Itu ‘kan ....” Suara Salman tertahan.Kemudian dalam satu gerakan kompak, kami menoleh pada Rudi yang ternyata sudah berdiri gelisah di belakang kami.Pantas Rudi bersikeras tidak mau memperlihatkan rekamannya, itu karena dia ingin menutupi kejahatannya. Masih untung rekan kerjanya tidak bersekongkol dengannya.Posisiku yang paling dekat dengannya, kegelisahannya terlihat nyata di mataku.“Kenapa kamu lakukan itu, Rudi?” tanyaku.“Bu–bukan saya, Buk. Sumpah sa–saya hanya disuruh mengantar bingkisan ke ruangan Ibuk. Sa–saya tidak tahu apa isi di dalamnya.” Rudi menjawab g
“Baca ini.” Salman melempar sebuah buku yang cukup tebal ke atas meja di depanku. Aku lihat dia mengeluarkannya dari dalam tas kerja yang tadi dibawanya.Mungkin dia menyadari aku yang mulai bosan. Tidak ada yang bisa kulakukan di sini, kecuali menunggu instruksi dari dia. Aku mana tahu tata kerja di sini, datang aja baru pertama ini.Para karyawan yang tadi berkerumun sudah kembali ke meja masing-masing. Tidak ada lagi yang bisa kuperhatikan, pegel juga kaki berdiri lama-lama di depan jendela. Maka kuputuskan untuk duduk, meski agak takut mengingat bingkisan berisi bangkai tikus tadi terletak di atas kursi yang sekarang aku duduki.“Buku panduan?” cicitku mengernyit. Dia kira aku seorang yang tersesat? Sampai harus membaca buku panduan yang lebih tebal dari buku pelajaran Rafni ini?Aku kira dia akan memberikan semacam laporan keuangan begitu yang harus aku pelajari. “Itu buku tentang perusahaan. Semuanya ada di sana, sebaiknya kamu pahami semua yang ada di dalamnya,” ujarnya datar.
“Perkenalannya diundur dulu. Keadaan masih belum kondusif. Kita belum mengetahui siapa orang di belakang Rudi, bisa berbahaya,” ujar Salman dingin. Sepertinya dia belum mendapatkan informasi dari kepolisian. Padahal sejak tadi ponsel tidak terlepas dari genggamannya, sesekali pun dia terlihat menerima panggilan telepon.Harapanku tampil mempesona di depan semua karyawan pupus sudah. Keputusan Salman tidak bisa diganggu gugat.Sebenarnya siapa sih yang menjadi CEO? Aku atau dia?Tapi memang saat ini aku ibarat boneka yang dia kendalikan. Apa pun yang dia perintahkan, harus kulakukan. Itu karena aku belum mengetahui apa-apa tentang perusahaan ini, kecuali informasi yang aku baca dari buku panduan barusan.“Padahal Sonia sudah capek-capek mendandaniku cantik begini. Sayang sekali kalau tidak jadi perkenalan,” sungutku berbicara sendiri.Kuelus pipi yang terasa lembut karena tumpukan bedak ini. Produk mahal memang beda, aku mulai merindukan masa-masaku dulu yang selalu di kelilingi baran
Ceklek!Terdengar suara pintu di sampingku dibuka, aku sudah kepalang tanggung memejamkan mata saat melihat wajahnya yang kian mendekat.Otakku sudah traveling ke mana-mana, apalagi tatapannya itu begitu lekat kurasakan sedang menatapku. Tapi yang dia lakukan setelahnya sungguh membuat wajahku terasa kebas, seakan semua aliran darah menumpuk di sana.“Silakan keluar.” Suaranya terdengar datar dan sudah menjauh dariku.Aku tak sanggup membuka mata, malu sekali rasanya.Entah apa yang ada di kepalaku barusan sehingga mengira akan melakukan sesuatu padaku.Oh, sial. Aku malu sekali.“Kenapa diam saja? Kamu kecewa karena aku tidak melakukan apa yang kamu pikirkan?” Salman seperti bisa membaca isi kepalaku, atau terlihat jelas dari wajahku yang mungkin sudah semerah tomat ranum.“Me–memangnya apa yang aku pikirkan? Jangan sok tahu deh,” kilahku terdengar gugup.Jantung yang berdebar dua kali lebih cepat membuat napasku memburu, memperjelas jika jawabanku bertolak belakang dengan sikapku.“
“Mas Agus? Ngapain dia ke sini?” desisku melihat seseorang yang berdiri di depan pintu. Mood-ku yang memang mulai buruk setelah bertemu Mbak Atun kian bertambah buruk melihat Mas Agus.Jarak kami tinggal beberapa langkah lagi sampai di depan rumah, Ayuni melepas genggaman tanganku, bocah berusia lima tahun itu berlari menuju papanya.“Papa ...,” panggilnya girang.Aku pun mempercepat langkah, penasaran dengan kedatangan pria yang sampai saat ini masih berstatus sebagai suami itu tapi sudah lepas tanggung jawabnya.“Ke mana aja sih! Orang mau masuk ke rumah nggak bisa!” Garang suara Mas Agus menyambut kedatangan kami.Putri bungsunya yang sudah merentangkan tangan ingin memeluknya tidak dihiraukannya.Aku lihat Ayuni menunduk sedih karena diacuhkan papanya. Kutarik lengannya lembut mendekatiku, kulingkarkan tangan kiriku ke bahunya, berusaha menenangkannya.“Oh, masih ingat jalan pulang, Mas? Aku kira sudah lupa dengan rumah ini,” sindirku.“Jangan mulai deh, buruan buka pintunya. Aku