“Coba diperbesar gambarnya lagi!” perintah Tomo.Rekan kerja Rudi itu kembali menuruti, jemarinya begitu lincah bergerak di atas kursor.Beberapa saat kami fokus mengamati pria yang tertangkap kamera sedang mengendap-endap masuk ke ruangan CEO sambil membawa sesuatu di tangannya. Meski tidak terlalu jelas di kamera, tapi aku yakin yang dibawanya itu adalah kotak berisi tikus berlumuran darah yang tadi kami temukan.“Itu ‘kan ....” Suara Salman tertahan.Kemudian dalam satu gerakan kompak, kami menoleh pada Rudi yang ternyata sudah berdiri gelisah di belakang kami.Pantas Rudi bersikeras tidak mau memperlihatkan rekamannya, itu karena dia ingin menutupi kejahatannya. Masih untung rekan kerjanya tidak bersekongkol dengannya.Posisiku yang paling dekat dengannya, kegelisahannya terlihat nyata di mataku.“Kenapa kamu lakukan itu, Rudi?” tanyaku.“Bu–bukan saya, Buk. Sumpah sa–saya hanya disuruh mengantar bingkisan ke ruangan Ibuk. Sa–saya tidak tahu apa isi di dalamnya.” Rudi menjawab g
“Baca ini.” Salman melempar sebuah buku yang cukup tebal ke atas meja di depanku. Aku lihat dia mengeluarkannya dari dalam tas kerja yang tadi dibawanya.Mungkin dia menyadari aku yang mulai bosan. Tidak ada yang bisa kulakukan di sini, kecuali menunggu instruksi dari dia. Aku mana tahu tata kerja di sini, datang aja baru pertama ini.Para karyawan yang tadi berkerumun sudah kembali ke meja masing-masing. Tidak ada lagi yang bisa kuperhatikan, pegel juga kaki berdiri lama-lama di depan jendela. Maka kuputuskan untuk duduk, meski agak takut mengingat bingkisan berisi bangkai tikus tadi terletak di atas kursi yang sekarang aku duduki.“Buku panduan?” cicitku mengernyit. Dia kira aku seorang yang tersesat? Sampai harus membaca buku panduan yang lebih tebal dari buku pelajaran Rafni ini?Aku kira dia akan memberikan semacam laporan keuangan begitu yang harus aku pelajari. “Itu buku tentang perusahaan. Semuanya ada di sana, sebaiknya kamu pahami semua yang ada di dalamnya,” ujarnya datar.
“Perkenalannya diundur dulu. Keadaan masih belum kondusif. Kita belum mengetahui siapa orang di belakang Rudi, bisa berbahaya,” ujar Salman dingin. Sepertinya dia belum mendapatkan informasi dari kepolisian. Padahal sejak tadi ponsel tidak terlepas dari genggamannya, sesekali pun dia terlihat menerima panggilan telepon.Harapanku tampil mempesona di depan semua karyawan pupus sudah. Keputusan Salman tidak bisa diganggu gugat.Sebenarnya siapa sih yang menjadi CEO? Aku atau dia?Tapi memang saat ini aku ibarat boneka yang dia kendalikan. Apa pun yang dia perintahkan, harus kulakukan. Itu karena aku belum mengetahui apa-apa tentang perusahaan ini, kecuali informasi yang aku baca dari buku panduan barusan.“Padahal Sonia sudah capek-capek mendandaniku cantik begini. Sayang sekali kalau tidak jadi perkenalan,” sungutku berbicara sendiri.Kuelus pipi yang terasa lembut karena tumpukan bedak ini. Produk mahal memang beda, aku mulai merindukan masa-masaku dulu yang selalu di kelilingi baran
Ceklek!Terdengar suara pintu di sampingku dibuka, aku sudah kepalang tanggung memejamkan mata saat melihat wajahnya yang kian mendekat.Otakku sudah traveling ke mana-mana, apalagi tatapannya itu begitu lekat kurasakan sedang menatapku. Tapi yang dia lakukan setelahnya sungguh membuat wajahku terasa kebas, seakan semua aliran darah menumpuk di sana.“Silakan keluar.” Suaranya terdengar datar dan sudah menjauh dariku.Aku tak sanggup membuka mata, malu sekali rasanya.Entah apa yang ada di kepalaku barusan sehingga mengira akan melakukan sesuatu padaku.Oh, sial. Aku malu sekali.“Kenapa diam saja? Kamu kecewa karena aku tidak melakukan apa yang kamu pikirkan?” Salman seperti bisa membaca isi kepalaku, atau terlihat jelas dari wajahku yang mungkin sudah semerah tomat ranum.“Me–memangnya apa yang aku pikirkan? Jangan sok tahu deh,” kilahku terdengar gugup.Jantung yang berdebar dua kali lebih cepat membuat napasku memburu, memperjelas jika jawabanku bertolak belakang dengan sikapku.“
“Mas Agus? Ngapain dia ke sini?” desisku melihat seseorang yang berdiri di depan pintu. Mood-ku yang memang mulai buruk setelah bertemu Mbak Atun kian bertambah buruk melihat Mas Agus.Jarak kami tinggal beberapa langkah lagi sampai di depan rumah, Ayuni melepas genggaman tanganku, bocah berusia lima tahun itu berlari menuju papanya.“Papa ...,” panggilnya girang.Aku pun mempercepat langkah, penasaran dengan kedatangan pria yang sampai saat ini masih berstatus sebagai suami itu tapi sudah lepas tanggung jawabnya.“Ke mana aja sih! Orang mau masuk ke rumah nggak bisa!” Garang suara Mas Agus menyambut kedatangan kami.Putri bungsunya yang sudah merentangkan tangan ingin memeluknya tidak dihiraukannya.Aku lihat Ayuni menunduk sedih karena diacuhkan papanya. Kutarik lengannya lembut mendekatiku, kulingkarkan tangan kiriku ke bahunya, berusaha menenangkannya.“Oh, masih ingat jalan pulang, Mas? Aku kira sudah lupa dengan rumah ini,” sindirku.“Jangan mulai deh, buruan buka pintunya. Aku
Mas Agus ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Di sore hari, dia benar-benar kembali pulang ke sini.“Sudah pulang, Mas?” sapaku basa basi menyambut kedatangannya ke depan pintu. Tapi, aku hanya menghampiri, aku tidak meraih tangannya untuk kusalami seperti yang dulu biasa kulakukan. Mas Agus pun sepertinya tidak mempermasalahkan hal itu.“Nggak liat ini aku sudah sampai di sini? Tandanya sudah pulang,” balasnya ketus sambil melewatiku.Emosinya tidak kunjung mereda sepertinya. Jika masih marah padaku, kenapa pulang ke sini? Pulang saja tuh ke rumah istri mudanya yang bisa dia manja-manja.Enggan menjadi sasaran kemarahan Mas Agus, aku tidak lagi menanggapinya, lebih baik menghindar jika tidak ingin menambah sakit hati. Kuajak Ayuni untuk masuk ke kamar, dia awalnya ingin mendekati Mas Agus, tapi urung. Mungkin teringat kejadian siang tadi.“Kamu nggak masak, Dek? Ini masih sisa sambal tadi siang!” Terdengar Mas Agus berteriak dari meja makan.Suaranya yang menggelegar terdengar
“Kamu bilang apa tadi, Mas?” tanyaku memastikan seraya menyerahkan kantong plastik yang berisi nasi bungkus dari warung Mbak Jum. Aku yakin mendengar dia menyinggung masalah CEO ketika aku keluar tadi.“Nggak bilang apa-apa, telinga kamu tuh yang terlalu sensitif,” jawab Mas Agus sekenanya dengan mulut yang sudah terisi penuh.Hanya beberapa suap, nasi yang dibungkus daun pisang itu sudah berpindah ke lambungnya.“Minta tambah nasi!” titahnya.Belum ada kesempatanku untuk menjauh darinya, mulutnya sudah mengeluarkan perintah untukku.Mau tak mau aku tetap mengambil tambahan nasi yang dia pinta.“Nih.”Kuletakkan piring berisi nasi di depannya sedikit kasar. Setelahnya gegas aku menjauh dari sana. Dalam hati tak henti aku merutuki diri yang masih saja kalah.Sial. Padahal aku ini sekarang adalah seorang CEO. Aku yang seharusnya memberi perintah.**“Kamu ngapain, Mas?” Aku tersentak mendapati kasur di sebelahku bergerak.Ternyata Mas Agus sudah berbaring di sana. “Ya tidur lah, meman
“Mama dan Kakak sama aja! Kalian yang membuat papa pergi.” Ayuni berteriak histeris.Dia berlari keluar. Sempat kulihat dia mengusap sudut matanya ketika melewatiku.Aku masih mencoba untuk memahami dia yang belum mengerti dengan kondisi saat ini. Usianya baru mendekati 5 tahun. Tapi kubiarkan dia pergi meluapkan emosinya.Dia tidak akan pergi jauh, palingan ke rumah Mbak Jum atau ke rumah sebelah, mengadu pada Salman.Putri bungsuku itu memang lebih cepat berbaur dengan orang lain, selain pada Mas Agus, dia juga berhasil mengambil hati Salman.Sedikit menyesal rasanya ketika aku ikut-ikutan memojokkan dia. Putri bungsuku itu memang belum bisa menerima kejelekan papanya karena selama ini dia cukup dekat dengan Mas Agus.“Dia yang bandel malah menuduh orang lain membuat masalah,” dengkus Rafni cemberut.“Jangan hiraukan adikmu, dia belum paham dengan keadaan yang terjadi.” Kuelus kepala Rafni lembut, berharap kerutan di wajahnya menghilang. Masih terlalu pagi untuk merusak hari ini.“A