“Mama dan Kakak sama aja! Kalian yang membuat papa pergi.” Ayuni berteriak histeris.Dia berlari keluar. Sempat kulihat dia mengusap sudut matanya ketika melewatiku.Aku masih mencoba untuk memahami dia yang belum mengerti dengan kondisi saat ini. Usianya baru mendekati 5 tahun. Tapi kubiarkan dia pergi meluapkan emosinya.Dia tidak akan pergi jauh, palingan ke rumah Mbak Jum atau ke rumah sebelah, mengadu pada Salman.Putri bungsuku itu memang lebih cepat berbaur dengan orang lain, selain pada Mas Agus, dia juga berhasil mengambil hati Salman.Sedikit menyesal rasanya ketika aku ikut-ikutan memojokkan dia. Putri bungsuku itu memang belum bisa menerima kejelekan papanya karena selama ini dia cukup dekat dengan Mas Agus.“Dia yang bandel malah menuduh orang lain membuat masalah,” dengkus Rafni cemberut.“Jangan hiraukan adikmu, dia belum paham dengan keadaan yang terjadi.” Kuelus kepala Rafni lembut, berharap kerutan di wajahnya menghilang. Masih terlalu pagi untuk merusak hari ini.“A
“Kok diusir tengah malam sih suaminya, Bu Selvi? Status kalian masih suami istri kan? Semakin berani ya semenjak menjadi bos,” celetuk Mbak Atik membuyarkan lamunanku.Pikiranku yang berkelana memikirkan kepergian Mas Agus pada tengah malam tadi seakan dipaksa untuk kembali pada kenyataan. Aku juga baru tahu ternyata dia perginya dini hari setelah mendengar dari Mbak Atik karena memang setelah aku pergi ke kamar anak-anak, aku tidak lagi peduli dengan apa yang dia lakukan.Pas bangun subuh tadi aku juga tidak curiga jika dia sudah pergi. Pikirku dia masih tidur di kamar sebelah.“Kenapa membawa-bawa jabatan, Mbak. Nggak ada hubungannya kali, lagian Mas Agus sendiri kok yang memilih pergi.” Tersinggung juga mendengarnya, tapi aku berusaha menjawab dengan nada yang dipaksa lembut.Dari semenjak aku menjadi pimpinan di perusahaan tempat suaminya bekerja, Mbak Atik sudah memperlihatkan raut tidak suka padaku. Padahal, dengan keberadaanku di perusahaan tidak mengubah status suaminya yang
Aku berseru girang melihat pintu rumah Salman yang dibuka dari dalam. Seakan dia yang hendak keluar itu Tuhan datangkan sebagai jawaban atas gundah di dadaku. Memang Salman yang bisa menjawab penasaranku ini.Kupercepat langkah menuju depan rumahnya. Harapku bisa langsung berhadapan dengannya ketika dia melangkah keluar. Namun ....“Loh, Pak Tomo? Kenapa keluar dari rumah Salman? Dia mana?” Ternyata bukan penghuni rumah yang hendak keluar. Perasaanku seketika berubah kecewa menyadari orang di depanku bukan dia yang sedang kucari.Aku baru ingat tadi Salman kembali pergi setelah mengantar Rafni pulang. Dan, memang benar mobil yang dia bawa tidak ada di sana, hanya ada motor matic hitam terparkir tepat di depan rumahnya yang aku yakin milik Tomo.“Eh, Bu CEO. Pak Salman di kantor, Bu. Saya ke sini karena disuruh menjemput sesuatu.” Tomo menjelaskan alasannya keluar dari rumah Salman. Netraku pun langsung beralih ke tangan kanan Tomo yang sedang memegang sebuah map berwarna coklat.“Oh,
“Anak gadis dua mau makan apa? Kita makan dulu ya, setelah itu nanti baru pergi membeli mainan.” Suara berat Salman memecah keheningan yang tercipta. Ternyata mobil yang dia kendarai sudah menepi di pinggir jalan, aku bahkan tidak sadar kapan dia berhenti menginjak gas. Aku terlalu sibuk berperang dengan pikiran sendiri, aku merasa jalanan yang akan aku lalui ke depannya akan semakin berliku, terlebih melihat kedua putriku yang begitu girang di ajak jalan-jalan oleh Salman. Sanggup kah nanti aku membahagiakan mereka seperti yang dilakukan Salman ini? Sementara keadaanku tak kunjung berubah meski status CEO sudah bertengger di pundak. “Ayuni mau makan ayam goreng seperti Upin Ipin itu Om. Ayuni suka ayam goreng,” jawab Ayuni penuh semangat dari bangku belakang. Dia bangkit dari duduknya kemudian berdiri di belakang sandaran kursi Salman, wajahnya tentu saja bersinar penuh girang. “Oke! Kita cari tempat makan yang jual ayam goreng,” jawab Salman ikut bersemangat. “Kalau kakak Rafni
Aku mengerjap untuk menjernihkan pandangan yang buram akibat genangan air mata yang belum sampai menetes. Netraku tidak bisa membaca deretan huruf yang tercetak pada kartu yang dipegang Salman untuk meyakinkan jika ATM tersebut memang benar punyaku.Tapi, aku tidak pernah mempunyai ATM selama ini. Bagai mana ceritanya jika kartu ajaib itu milikku?Setengah detik memperhatikan, netraku akhirnya berhasil membaca nama yang tercetak di sana, memang namaku, Selvi Yunira. “Itu ... itu ATM lamaku,” pekikku tertahan dengan suara bergetar. Bendungan yang sejak tadi berusaha kutahan, akhirnya runtuh juga. Bukan lagi karena amarah, melainkan perasaan bersalah bercampur aduk penyesalan menyeruak memenuhi dada.Aku rasa, rasa syukur yang lebih dominan. Tidak menyangka papa akan kembali menyerahkan kartu ajaib yang dulu pernah kumiliki. Aku menyebutnya begitu karena dengan satu gesekan dari kartu itu saja aku bisa membeli apa pun yang kuinginkan. Dulu papa mengisinya dengan nominal yang lumayan b
Keningku berlipat mendengar ucapan Salman. Begitu santai dia mengatakan pada anak-anakku untuk melupakan papa mereka. Sejahatnya Mas Agus, tetap mengalir darahnya di tubuh anak-anakku.“Aku rasa ucapanmu sudah keterlaluan, Salman. Tidak baik anak-anak mendengar hal begitu,” kataku protes.Jika memang benar papa memberikan syarat seperti itu, tidak perlu dia sampaikan di depan anak-anak. Biar mereka menyimpan kenangan tentang kebaikan Mas Agus saja, meski secara garis besar mereka sudah menyaksikan beberapa tragedi yang disebabkan oleh Mas Agus dengan mata sendiri.“Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri, Selvi. Jangan kamu yang mendikte pikiran mereka,” timpal Salman menentangku.“Tetap saja aku tidak ingin memasukkan hal buruk ke pikiran mereka mengenai salah satu dari orang tuanya. Kamu mana tahu seperti apa sakitnya jauh dari orang tua, aku tidak ingin itu terjadi pada mereka.” Tetap aku bersikeras dengan pendapatku. Siapa Salman yang bisa ikut campur dengan aturan di dalam ru
Suara lembut nan mendayu itu langsung mengingatkanku pada sosoknya yang cantik bak artis ibu kota. Sonia, yaa mantan istri Salman itu berdiri di dekat pintu. Menatap kami, lebih tepatnya menatap Salman dengan senyum merekah di bibirnya yang poles lipstik berwana merah muda. Rambutnya yang sebahu diblow bagian bawah sehingga menambah kecantikannya. Aku sudah tentu jauh kalah."Eh, ada Selvi juga. Apa kabar Selvi?" sapa Sonia lembut menyadari keberadaanku di balik punggung mantan suaminya."Aku ba–baik, kamu gimana?" balasku gugup. Perasaan bersalah menyergap di hatiku. Seperti sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah. Seakan aku menjadi pengganggu dalam hubungan mereka.Bukankah mereka sudah berpisah? Kenapa aku harus merasa bersalah?"Seperti yang kamu lihat, aku sehat wal afiat." Bingkainya yang cantik itu tak henti menyunggingkan senyum ramah. Sonia adalah gambaran nyata seorang wanita yang sempurna.Hening tercipta diantara kami, tidak ada lagi yang bersuara. Son
Sedikit terkesiap, langsung kuubah raut wajah kemudian menoleh pada Rafni yang ternyata sudah berdiri di belakangku, aku tidak mendengar jejak langkahnya yang datang mendekat. “Aah, en-nggak, Nak. Mama hanya mikirin keadaan kita aja,” ujarku berkilah, tapi aku juga tidak sedang memikirkan papa mereka seperti yang dia tuduhkan.Kuambil kesempatan melamun sejenak ketika menemani mereka membersihkan diri sebelum beranjak tidur. Meski belum puas memainkan mainan yang mereka beli tadi, kupaksa mereka untuk tidur pada jam sembilan karena besok Rafni harus ke sekolah dan aku ingin menerapkan kebiasaan pada mereka untuk tidur cepat."Sudahlah, Ma. Nggak usah dipikirin lagi orang yang udah nggak ingat sama kita lagi," balas Rafni mulai menasehatiku, dia jelas tidak percaya dengan ucapanku."Beneran Mama nggak lagi mikirin papa kok, Nak. ngapain juga ingat sama orang yang udah lupa sama kita," imbuhku meniru ucapannya, tak lupa dengan gestur yang dibuat terlalu semangat."Tapi wajah Mama terl