Aku mengerjap untuk menjernihkan pandangan yang buram akibat genangan air mata yang belum sampai menetes. Netraku tidak bisa membaca deretan huruf yang tercetak pada kartu yang dipegang Salman untuk meyakinkan jika ATM tersebut memang benar punyaku.Tapi, aku tidak pernah mempunyai ATM selama ini. Bagai mana ceritanya jika kartu ajaib itu milikku?Setengah detik memperhatikan, netraku akhirnya berhasil membaca nama yang tercetak di sana, memang namaku, Selvi Yunira. “Itu ... itu ATM lamaku,” pekikku tertahan dengan suara bergetar. Bendungan yang sejak tadi berusaha kutahan, akhirnya runtuh juga. Bukan lagi karena amarah, melainkan perasaan bersalah bercampur aduk penyesalan menyeruak memenuhi dada.Aku rasa, rasa syukur yang lebih dominan. Tidak menyangka papa akan kembali menyerahkan kartu ajaib yang dulu pernah kumiliki. Aku menyebutnya begitu karena dengan satu gesekan dari kartu itu saja aku bisa membeli apa pun yang kuinginkan. Dulu papa mengisinya dengan nominal yang lumayan b
Keningku berlipat mendengar ucapan Salman. Begitu santai dia mengatakan pada anak-anakku untuk melupakan papa mereka. Sejahatnya Mas Agus, tetap mengalir darahnya di tubuh anak-anakku.“Aku rasa ucapanmu sudah keterlaluan, Salman. Tidak baik anak-anak mendengar hal begitu,” kataku protes.Jika memang benar papa memberikan syarat seperti itu, tidak perlu dia sampaikan di depan anak-anak. Biar mereka menyimpan kenangan tentang kebaikan Mas Agus saja, meski secara garis besar mereka sudah menyaksikan beberapa tragedi yang disebabkan oleh Mas Agus dengan mata sendiri.“Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri, Selvi. Jangan kamu yang mendikte pikiran mereka,” timpal Salman menentangku.“Tetap saja aku tidak ingin memasukkan hal buruk ke pikiran mereka mengenai salah satu dari orang tuanya. Kamu mana tahu seperti apa sakitnya jauh dari orang tua, aku tidak ingin itu terjadi pada mereka.” Tetap aku bersikeras dengan pendapatku. Siapa Salman yang bisa ikut campur dengan aturan di dalam ru
Suara lembut nan mendayu itu langsung mengingatkanku pada sosoknya yang cantik bak artis ibu kota. Sonia, yaa mantan istri Salman itu berdiri di dekat pintu. Menatap kami, lebih tepatnya menatap Salman dengan senyum merekah di bibirnya yang poles lipstik berwana merah muda. Rambutnya yang sebahu diblow bagian bawah sehingga menambah kecantikannya. Aku sudah tentu jauh kalah."Eh, ada Selvi juga. Apa kabar Selvi?" sapa Sonia lembut menyadari keberadaanku di balik punggung mantan suaminya."Aku ba–baik, kamu gimana?" balasku gugup. Perasaan bersalah menyergap di hatiku. Seperti sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah. Seakan aku menjadi pengganggu dalam hubungan mereka.Bukankah mereka sudah berpisah? Kenapa aku harus merasa bersalah?"Seperti yang kamu lihat, aku sehat wal afiat." Bingkainya yang cantik itu tak henti menyunggingkan senyum ramah. Sonia adalah gambaran nyata seorang wanita yang sempurna.Hening tercipta diantara kami, tidak ada lagi yang bersuara. Son
Sedikit terkesiap, langsung kuubah raut wajah kemudian menoleh pada Rafni yang ternyata sudah berdiri di belakangku, aku tidak mendengar jejak langkahnya yang datang mendekat. “Aah, en-nggak, Nak. Mama hanya mikirin keadaan kita aja,” ujarku berkilah, tapi aku juga tidak sedang memikirkan papa mereka seperti yang dia tuduhkan.Kuambil kesempatan melamun sejenak ketika menemani mereka membersihkan diri sebelum beranjak tidur. Meski belum puas memainkan mainan yang mereka beli tadi, kupaksa mereka untuk tidur pada jam sembilan karena besok Rafni harus ke sekolah dan aku ingin menerapkan kebiasaan pada mereka untuk tidur cepat."Sudahlah, Ma. Nggak usah dipikirin lagi orang yang udah nggak ingat sama kita lagi," balas Rafni mulai menasehatiku, dia jelas tidak percaya dengan ucapanku."Beneran Mama nggak lagi mikirin papa kok, Nak. ngapain juga ingat sama orang yang udah lupa sama kita," imbuhku meniru ucapannya, tak lupa dengan gestur yang dibuat terlalu semangat."Tapi wajah Mama terl
Mataku membelalak mengingat Rafni bahkan sudah mengetahui nama mantan istri Salman. Sebenarnya apa yang telah mereka bincangkan. Dan, apa yang Salman ceritakan mengenai mantan istrinya ini pada anak-anak."Tunggu!" Percuma saja aku berteriak, Salman sudah membanting keras pintu mobil, sementara Rafni sudah duduk anteng di sebelahnya. Putri sulungku itu melambaikan tangan padaku seraya tersenyum manis."Bye, bye, Ma." Sekilas aku berhasil membaca gerak bibirnya.Tanpa menunggu aba-aba dariku, Salman langsung saja tancap gas memutar mobilnya meninggalkanku yang masih berdiri mematung di depan rumahnya.Sebenarnya sudah sejauh mana Salman bercerita pada mereka? Kenapa mereka tahu lebih banyak dibanding diriku? Jika bukan Sonia yang berterus terang kemarin padaku, mungkin aku tidak akan pernah tahu jika yang meriasku adalah mantan istri Salman. Tapi pada anak-anak, belum bertemu pun sudah dia ceritakan. Apa maksudnya seperti itu? Dia lebih nyaman cerita pada anak-anakku dibandingkan dir
POV SalmanPagi ini aku bangun dengan perasaan remuk di sekujur tubuh, begini lah akibatnya jika aku tidur dalam keadaan gelisah. Sejak semalam pikiranku tidak tenang memikirkan Selvi yang pulang lebih dulu membawa anak-anak, meninggalkanku bersama Sonia.Perasaan bersalah menyeruak di sudut hatiku membayangkan tiga beranak itu pulang tanpa aku. Entah dengan apa mereka kembali ke rumah. Melihat sifat lelet Selvi yang masih seperti dulu, aku tidak yakin dia bisa menjaga anak-anaknya dengan baik.Aku juga tak mengira akan bertemu Sonia di sana saat sedang bersama mereka. Tapi melihat raut wajah Selvi saat meninggalkanku menimbulkan rasa lain di hatiku. Aku takut dia akan salah paham dengan pertemuanku bersama Sonia."Maafkan aku soal semalam, aku tidak mengira akan bertemu Sonia di sana. Kuharap kamu tidak salah paham.""Ck, terlalu serius. Jangan gunakan kata-kata begituan.""Sel, kamu tidak marah 'kan karena kejadian semalam ..." "Aah, memangnya aku ini siapanya dia? Pasti dia akan m
Jantungku yang sudah tak terkendali degupannya menjadi semakin liar mendengar ucapan Salman. Rasanya kakiku tidak berpijak di bumi lagi.Meski tidak begitu mengerti ke mana arah ucapannya, tetap saja jantungku bereaksi lebih dulu. Seakan mengerti jika perkataannya adalah sebuah angin segar untukku.“A–aku tidak penasaran dengan hubungan kalian,” ucapku berdusta. Sebenarnya, berkali-kali kutahan hati supaya tidak keceplosan untuk menanyakan perasaan Salman terhadap Sonia. Semakin ke sini, timbul rasa untuk ingin memiliki pria yang ternyata penuh perhatian ini, jauh berbeda sekali dengan seseorang yang telah kukorbankan semuanya demi dia, tapi malah meninggalkanku.Oh, Mas Agus. Sepintas terbersit nama itu dalam penyesalan yang tak pernah usai. Dia adalah penyesalan terbesarku selama hidup. Menyesal pernah mengenalnya, menyesal rela meninggalkan mama dan papa demi dirinya serta menyesal mengorbankan diri selama bertahun-tahun ini hanya untuk mengabdi padanya sebagai istri yang dia hara
“Hmm, Sonia ... aku tidak tahu kenapa kamu selalu membawa-bawaku dalam permasalahan rumah tanggamu. Kalian menikah saja aku nggak tahu karena sudah pergi merantau ke sini. Tapi, aku minta maaf padamu jika ada membuat kesalahan yang tidak kusadari.”Aku tetap merasa bersalah meski tidak tahu di mana letak kesalahanku.Jujur, karena hal ini aku tidak nyaman berada di dekat Sonia. Sebab, jika sudah membicarakan perihal hubungan masa lalunya pasti akan selalu menyangkut pautkan dengan diriku. “Kamu gimana perasaannya pada Salman?” Pertanyaan tak terduga itu terlontar dari mulut Sonia. Apakah dia menyadari perasaanku pada mantan suaminya? Sejelas itu kah?“A–aku tak lebih menganggap Salman sebagai orang suruhan Papa, Son. Tidak perlu kamu ragu dengan keberadaanku di dekatnya, tak akan pernah aku mengambil dia darimu.” Tulus kusuarakan isi hatiku. Sebelum perasaanku pada Salman bertambah liar, lebih baik kuserahkan pria yang memiliki sikap penuh tanggung jawab itu pada seseorang yang mema