“Kamu bilang apa tadi, Mas?” tanyaku memastikan seraya menyerahkan kantong plastik yang berisi nasi bungkus dari warung Mbak Jum. Aku yakin mendengar dia menyinggung masalah CEO ketika aku keluar tadi.“Nggak bilang apa-apa, telinga kamu tuh yang terlalu sensitif,” jawab Mas Agus sekenanya dengan mulut yang sudah terisi penuh.Hanya beberapa suap, nasi yang dibungkus daun pisang itu sudah berpindah ke lambungnya.“Minta tambah nasi!” titahnya.Belum ada kesempatanku untuk menjauh darinya, mulutnya sudah mengeluarkan perintah untukku.Mau tak mau aku tetap mengambil tambahan nasi yang dia pinta.“Nih.”Kuletakkan piring berisi nasi di depannya sedikit kasar. Setelahnya gegas aku menjauh dari sana. Dalam hati tak henti aku merutuki diri yang masih saja kalah.Sial. Padahal aku ini sekarang adalah seorang CEO. Aku yang seharusnya memberi perintah.**“Kamu ngapain, Mas?” Aku tersentak mendapati kasur di sebelahku bergerak.Ternyata Mas Agus sudah berbaring di sana. “Ya tidur lah, meman
“Mama dan Kakak sama aja! Kalian yang membuat papa pergi.” Ayuni berteriak histeris.Dia berlari keluar. Sempat kulihat dia mengusap sudut matanya ketika melewatiku.Aku masih mencoba untuk memahami dia yang belum mengerti dengan kondisi saat ini. Usianya baru mendekati 5 tahun. Tapi kubiarkan dia pergi meluapkan emosinya.Dia tidak akan pergi jauh, palingan ke rumah Mbak Jum atau ke rumah sebelah, mengadu pada Salman.Putri bungsuku itu memang lebih cepat berbaur dengan orang lain, selain pada Mas Agus, dia juga berhasil mengambil hati Salman.Sedikit menyesal rasanya ketika aku ikut-ikutan memojokkan dia. Putri bungsuku itu memang belum bisa menerima kejelekan papanya karena selama ini dia cukup dekat dengan Mas Agus.“Dia yang bandel malah menuduh orang lain membuat masalah,” dengkus Rafni cemberut.“Jangan hiraukan adikmu, dia belum paham dengan keadaan yang terjadi.” Kuelus kepala Rafni lembut, berharap kerutan di wajahnya menghilang. Masih terlalu pagi untuk merusak hari ini.“A
“Kok diusir tengah malam sih suaminya, Bu Selvi? Status kalian masih suami istri kan? Semakin berani ya semenjak menjadi bos,” celetuk Mbak Atik membuyarkan lamunanku.Pikiranku yang berkelana memikirkan kepergian Mas Agus pada tengah malam tadi seakan dipaksa untuk kembali pada kenyataan. Aku juga baru tahu ternyata dia perginya dini hari setelah mendengar dari Mbak Atik karena memang setelah aku pergi ke kamar anak-anak, aku tidak lagi peduli dengan apa yang dia lakukan.Pas bangun subuh tadi aku juga tidak curiga jika dia sudah pergi. Pikirku dia masih tidur di kamar sebelah.“Kenapa membawa-bawa jabatan, Mbak. Nggak ada hubungannya kali, lagian Mas Agus sendiri kok yang memilih pergi.” Tersinggung juga mendengarnya, tapi aku berusaha menjawab dengan nada yang dipaksa lembut.Dari semenjak aku menjadi pimpinan di perusahaan tempat suaminya bekerja, Mbak Atik sudah memperlihatkan raut tidak suka padaku. Padahal, dengan keberadaanku di perusahaan tidak mengubah status suaminya yang
Aku berseru girang melihat pintu rumah Salman yang dibuka dari dalam. Seakan dia yang hendak keluar itu Tuhan datangkan sebagai jawaban atas gundah di dadaku. Memang Salman yang bisa menjawab penasaranku ini.Kupercepat langkah menuju depan rumahnya. Harapku bisa langsung berhadapan dengannya ketika dia melangkah keluar. Namun ....“Loh, Pak Tomo? Kenapa keluar dari rumah Salman? Dia mana?” Ternyata bukan penghuni rumah yang hendak keluar. Perasaanku seketika berubah kecewa menyadari orang di depanku bukan dia yang sedang kucari.Aku baru ingat tadi Salman kembali pergi setelah mengantar Rafni pulang. Dan, memang benar mobil yang dia bawa tidak ada di sana, hanya ada motor matic hitam terparkir tepat di depan rumahnya yang aku yakin milik Tomo.“Eh, Bu CEO. Pak Salman di kantor, Bu. Saya ke sini karena disuruh menjemput sesuatu.” Tomo menjelaskan alasannya keluar dari rumah Salman. Netraku pun langsung beralih ke tangan kanan Tomo yang sedang memegang sebuah map berwarna coklat.“Oh,
“Anak gadis dua mau makan apa? Kita makan dulu ya, setelah itu nanti baru pergi membeli mainan.” Suara berat Salman memecah keheningan yang tercipta. Ternyata mobil yang dia kendarai sudah menepi di pinggir jalan, aku bahkan tidak sadar kapan dia berhenti menginjak gas. Aku terlalu sibuk berperang dengan pikiran sendiri, aku merasa jalanan yang akan aku lalui ke depannya akan semakin berliku, terlebih melihat kedua putriku yang begitu girang di ajak jalan-jalan oleh Salman. Sanggup kah nanti aku membahagiakan mereka seperti yang dilakukan Salman ini? Sementara keadaanku tak kunjung berubah meski status CEO sudah bertengger di pundak. “Ayuni mau makan ayam goreng seperti Upin Ipin itu Om. Ayuni suka ayam goreng,” jawab Ayuni penuh semangat dari bangku belakang. Dia bangkit dari duduknya kemudian berdiri di belakang sandaran kursi Salman, wajahnya tentu saja bersinar penuh girang. “Oke! Kita cari tempat makan yang jual ayam goreng,” jawab Salman ikut bersemangat. “Kalau kakak Rafni
Aku mengerjap untuk menjernihkan pandangan yang buram akibat genangan air mata yang belum sampai menetes. Netraku tidak bisa membaca deretan huruf yang tercetak pada kartu yang dipegang Salman untuk meyakinkan jika ATM tersebut memang benar punyaku.Tapi, aku tidak pernah mempunyai ATM selama ini. Bagai mana ceritanya jika kartu ajaib itu milikku?Setengah detik memperhatikan, netraku akhirnya berhasil membaca nama yang tercetak di sana, memang namaku, Selvi Yunira. “Itu ... itu ATM lamaku,” pekikku tertahan dengan suara bergetar. Bendungan yang sejak tadi berusaha kutahan, akhirnya runtuh juga. Bukan lagi karena amarah, melainkan perasaan bersalah bercampur aduk penyesalan menyeruak memenuhi dada.Aku rasa, rasa syukur yang lebih dominan. Tidak menyangka papa akan kembali menyerahkan kartu ajaib yang dulu pernah kumiliki. Aku menyebutnya begitu karena dengan satu gesekan dari kartu itu saja aku bisa membeli apa pun yang kuinginkan. Dulu papa mengisinya dengan nominal yang lumayan b
Keningku berlipat mendengar ucapan Salman. Begitu santai dia mengatakan pada anak-anakku untuk melupakan papa mereka. Sejahatnya Mas Agus, tetap mengalir darahnya di tubuh anak-anakku.“Aku rasa ucapanmu sudah keterlaluan, Salman. Tidak baik anak-anak mendengar hal begitu,” kataku protes.Jika memang benar papa memberikan syarat seperti itu, tidak perlu dia sampaikan di depan anak-anak. Biar mereka menyimpan kenangan tentang kebaikan Mas Agus saja, meski secara garis besar mereka sudah menyaksikan beberapa tragedi yang disebabkan oleh Mas Agus dengan mata sendiri.“Biarkan mereka mengambil keputusan sendiri, Selvi. Jangan kamu yang mendikte pikiran mereka,” timpal Salman menentangku.“Tetap saja aku tidak ingin memasukkan hal buruk ke pikiran mereka mengenai salah satu dari orang tuanya. Kamu mana tahu seperti apa sakitnya jauh dari orang tua, aku tidak ingin itu terjadi pada mereka.” Tetap aku bersikeras dengan pendapatku. Siapa Salman yang bisa ikut campur dengan aturan di dalam ru
Suara lembut nan mendayu itu langsung mengingatkanku pada sosoknya yang cantik bak artis ibu kota. Sonia, yaa mantan istri Salman itu berdiri di dekat pintu. Menatap kami, lebih tepatnya menatap Salman dengan senyum merekah di bibirnya yang poles lipstik berwana merah muda. Rambutnya yang sebahu diblow bagian bawah sehingga menambah kecantikannya. Aku sudah tentu jauh kalah."Eh, ada Selvi juga. Apa kabar Selvi?" sapa Sonia lembut menyadari keberadaanku di balik punggung mantan suaminya."Aku ba–baik, kamu gimana?" balasku gugup. Perasaan bersalah menyergap di hatiku. Seperti sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah. Seakan aku menjadi pengganggu dalam hubungan mereka.Bukankah mereka sudah berpisah? Kenapa aku harus merasa bersalah?"Seperti yang kamu lihat, aku sehat wal afiat." Bingkainya yang cantik itu tak henti menyunggingkan senyum ramah. Sonia adalah gambaran nyata seorang wanita yang sempurna.Hening tercipta diantara kami, tidak ada lagi yang bersuara. Son
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan