“Yuni!” pekikku tertahan mendapati seseorang yang berdiri di balik pintu. Aku mendengar suaranya yang begitu keras menyuruhku keluar.“Ngapain dia ke sini? Apa dia tahu aku yang ada di dalam mobil ini?” tanyaku heran melihat wajah Yuni yang sudah menempel di kaca, memperhatikan kami yang ada di dalam.Ternyata dia masih bekerja. Aku kira karena kejadian kemarin dia akan dipecat dari pekerjaannya. Selain itu, dia sudah kembali terlihat cantik dengan rambut panjang menutupi kepalanya. “Dia pake rambut palsu nggak sih? Cepat banget tumbuh rambutnya,” gumamku lebih ke berbicara sendiri.“Begitulah penjilatnya si ular itu,” ujar Salman ternyata juga ikut melirik pada Yuni. Entah pertanyaanku yang mana yang dijawabnya.“Apa dia tahu kita yang ada di dalam sini?” Heran juga melihat Yuni yang langsung menyambutku jika dia sudah mengetahui bahwa aku yang menjadi pimpinan barunya.Aku saja sejak tadi sudah berkeringat dingin mengingat akan bertemu dia di sini, berharap-harap dia sudah tidak bek
“Apa?” Netra Yuni membulat sempurna.Sudah kuduga dia akan bereaksi seperti itu. Masih untung dia tidak pingsan mendengarnya. Beberapa detik Yuni terpaku di tempatnya, kemudian berhasil mengembalikan kesadaran.“Mana mungkin perempuan udik ini menjadi CEO di sini?” Tentu saja Yuna akan menyangkal. Dari segi mana pun, aku tidak mempunyai latar belakang yang bisa menjadikanku sebagai CEO. Apalagi semua orang mengetahui aku di sini seorang yang sebatang kara. Aku yakin Yuni akan tetap berpegang teguh dengan ceritaku yang seperti itu. Meski kemarin Salman sudah memberi bayangan padanya jika aku ini akan menjadi atasannya.“Tapi memang begitu kenyataannya, Buk. Hari ini dijanjikan beliau datang untuk memperkenalkan diri,” timpal Tomo sopan. Semenjak semula pria berwajah mulus ini memang terlihat tenang menghadapi Yuni, tidak terpancing dengan suara Yuni yang meninggi.“Hah? Bagaimana mungkin ini terjadi?” Terdengar Yuni masih saja menyangkal. Tapi kali ini suaranya sudah melunak, bahka
“Ada apa?” Dalam satu gerakan cepat, Salman sudah menghambur ke dekatku.Dia berjinjit mendekati kursi kerja yang aku tunjuk. Di atasnya terdapat kotak, di dalamnya terlihat sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.“Apa itu? Kenapa berlumuran darah begitu?” tanyaku penasaran. Meski takut, tapi aku tetap mengintip dari balik punggung Salman.“Ini ... bangkai tikus yang di lumuri darah.” Salman mengangkat sesuatu yang mengerikan itu, darahnya menetes ketika Salman mengangkat buntang tersebut. Tapi dia tidak terlihat jijik ataupun takut.“Astaghfirullahal'azim! Siapa yang tega menarohnya di sana?” pekikku syok. Jelas ini sebuah bentuk kejahatan.“Sudah pasti seseorang yang tidak menyukai kamu sebagai CEO baru,” gumam Salman sembari mengamati isi dari kotak di atas kursi itu. Mana tahu ada surat ancaman atau semacamnya.“Cepat buang sana! Ngeri kali ih.” Aku bergidik melihat Salman mengaduk-aduk kotak yang dilumuri darah itu.Pikiranku langsung teringat pada Yuni atau Mas Agus yang me
“Gini aja, biarkan saja Sel ... eh, Bu CEO ikut bareng kita.” Salman mengubah panggilan yang biasa dia gunakan menjadi panggilan formal di depan Tomo.Aneh juga mendengarnya jika dia tetap memanggilku dengan sebutan nama, sementara aku adalah atasannya di perusahaan ini. Apa lagi dia memanggilnya di depan karyawan lain.“Lebih aman sepertinya begitu. Dari pada Bu CEO sendirian di sini, atau salah satu dari kita tinggal di sini,” sambung Salman akhirnya membuat keputusan.“Hmm. Iya, dari pada Bu CEO ketakutan sendirian di sini. Lebih baik ikut saja.” Tomo menyetujui.Kami pun akhirnya bergerak menuju ruang kendali CCTV yang terletak di lantai satu.Benar dugaan Tomo, keberadaanku yang berjalan bersama mereka menarik perhatian karyawan lain yang memang sudah menunggu kedatangan pimpinan baru mereka.Beberapa karyawan bahkan ada yang datang menghampiri kami untuk sekadar menyapa.“Selamat datang, Bu CEO,” sapa mereka ketika kami lewat di dekat mereka.Aku mengangguk sopan menanggapi sapa
“Coba diperbesar gambarnya lagi!” perintah Tomo.Rekan kerja Rudi itu kembali menuruti, jemarinya begitu lincah bergerak di atas kursor.Beberapa saat kami fokus mengamati pria yang tertangkap kamera sedang mengendap-endap masuk ke ruangan CEO sambil membawa sesuatu di tangannya. Meski tidak terlalu jelas di kamera, tapi aku yakin yang dibawanya itu adalah kotak berisi tikus berlumuran darah yang tadi kami temukan.“Itu ‘kan ....” Suara Salman tertahan.Kemudian dalam satu gerakan kompak, kami menoleh pada Rudi yang ternyata sudah berdiri gelisah di belakang kami.Pantas Rudi bersikeras tidak mau memperlihatkan rekamannya, itu karena dia ingin menutupi kejahatannya. Masih untung rekan kerjanya tidak bersekongkol dengannya.Posisiku yang paling dekat dengannya, kegelisahannya terlihat nyata di mataku.“Kenapa kamu lakukan itu, Rudi?” tanyaku.“Bu–bukan saya, Buk. Sumpah sa–saya hanya disuruh mengantar bingkisan ke ruangan Ibuk. Sa–saya tidak tahu apa isi di dalamnya.” Rudi menjawab g
“Baca ini.” Salman melempar sebuah buku yang cukup tebal ke atas meja di depanku. Aku lihat dia mengeluarkannya dari dalam tas kerja yang tadi dibawanya.Mungkin dia menyadari aku yang mulai bosan. Tidak ada yang bisa kulakukan di sini, kecuali menunggu instruksi dari dia. Aku mana tahu tata kerja di sini, datang aja baru pertama ini.Para karyawan yang tadi berkerumun sudah kembali ke meja masing-masing. Tidak ada lagi yang bisa kuperhatikan, pegel juga kaki berdiri lama-lama di depan jendela. Maka kuputuskan untuk duduk, meski agak takut mengingat bingkisan berisi bangkai tikus tadi terletak di atas kursi yang sekarang aku duduki.“Buku panduan?” cicitku mengernyit. Dia kira aku seorang yang tersesat? Sampai harus membaca buku panduan yang lebih tebal dari buku pelajaran Rafni ini?Aku kira dia akan memberikan semacam laporan keuangan begitu yang harus aku pelajari. “Itu buku tentang perusahaan. Semuanya ada di sana, sebaiknya kamu pahami semua yang ada di dalamnya,” ujarnya datar.
“Perkenalannya diundur dulu. Keadaan masih belum kondusif. Kita belum mengetahui siapa orang di belakang Rudi, bisa berbahaya,” ujar Salman dingin. Sepertinya dia belum mendapatkan informasi dari kepolisian. Padahal sejak tadi ponsel tidak terlepas dari genggamannya, sesekali pun dia terlihat menerima panggilan telepon.Harapanku tampil mempesona di depan semua karyawan pupus sudah. Keputusan Salman tidak bisa diganggu gugat.Sebenarnya siapa sih yang menjadi CEO? Aku atau dia?Tapi memang saat ini aku ibarat boneka yang dia kendalikan. Apa pun yang dia perintahkan, harus kulakukan. Itu karena aku belum mengetahui apa-apa tentang perusahaan ini, kecuali informasi yang aku baca dari buku panduan barusan.“Padahal Sonia sudah capek-capek mendandaniku cantik begini. Sayang sekali kalau tidak jadi perkenalan,” sungutku berbicara sendiri.Kuelus pipi yang terasa lembut karena tumpukan bedak ini. Produk mahal memang beda, aku mulai merindukan masa-masaku dulu yang selalu di kelilingi baran
Ceklek!Terdengar suara pintu di sampingku dibuka, aku sudah kepalang tanggung memejamkan mata saat melihat wajahnya yang kian mendekat.Otakku sudah traveling ke mana-mana, apalagi tatapannya itu begitu lekat kurasakan sedang menatapku. Tapi yang dia lakukan setelahnya sungguh membuat wajahku terasa kebas, seakan semua aliran darah menumpuk di sana.“Silakan keluar.” Suaranya terdengar datar dan sudah menjauh dariku.Aku tak sanggup membuka mata, malu sekali rasanya.Entah apa yang ada di kepalaku barusan sehingga mengira akan melakukan sesuatu padaku.Oh, sial. Aku malu sekali.“Kenapa diam saja? Kamu kecewa karena aku tidak melakukan apa yang kamu pikirkan?” Salman seperti bisa membaca isi kepalaku, atau terlihat jelas dari wajahku yang mungkin sudah semerah tomat ranum.“Me–memangnya apa yang aku pikirkan? Jangan sok tahu deh,” kilahku terdengar gugup.Jantung yang berdebar dua kali lebih cepat membuat napasku memburu, memperjelas jika jawabanku bertolak belakang dengan sikapku.“
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan