Berbagi Rumah

“Mas!” bentakku.

“Ini adalah rumahku. Aku tidak mengizinkan dia masuk ke rumah ini, apalagi sampai tinggal di sini.” Aku kira Mas Agus akan menghargai niat baikku telah menyelamatkan mereka. Ternyata malah menjadi bumerang untukku.

“Rumahmu? Hei, sadar diri dong! Selama ini aku yang bekerja banting tulang. Kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah, mau mengakui ini rumahmu? Jangan ngimpi!” Keras suaraku, lebih keras lagi suara Mas Agus membentakku.

Memang rumah ini dibuat atas nama Mas Agus karena semua biayanya dia yang tanggung. Sebagai istri yang tidak bekerja, aku tentu sadar diri tidak ingin egois dengan mencantumkan namaku di sertifikatnya. Pikirku dulu, Mas Agus akan tetap sama, mencintaiku dan anak-anak selamanya.

Sikap Mas Agus berubah 180° dibanding saat dikerubungi masa tadi. Kini Mas Agus berani mengeluarkan taringnya di depanku. Dia hanya berani padaku saja, masih kuingat betul wajah memelasnya tadi meminta tolong padaku ketika beberapa orang memegang tubuhnya.

“Kamu lupa, siapa yang barusan menyelamatkanmu, Mas? Mau kupanggilkan semua warga lagi supaya mengarakmu dan istri tercintamu ini sekeliling kampung?” ujarku mencoba mengancam.

Kutegakkan badan dengan kepala sedikit mendongak supaya terlihat meyakinkan. Padahal nyaliku sudah menciut mendapati tatapan tak bersahabat dari mereka.

“Panggil saja. Memangnya mereka mau melakukan perintahmu, setelah kamu larang?” Yuni yang menanggapi. Gayanya lebih pongah melebihi diriku.

Tubuhku langsung bereaksi beringsut ke belakang mendengar ucapannya. Perempuan ini memang ular, dari geriknya saja sudah mengancam.

“Tidak boleh! Pokoknya kalian tidak boleh tinggal di sini. Apalagi perempuan ular ini tidak boleh tinggal di sini!” Telunjukku mengarah tepat ke wajah Yuni. Aku berusaha supaya terlihat tegar dan tidak terintimidasi oleh mereka.

Disaat begini, aku membutuhkan Salman sebagai pelindungku. Kenapa bodyguard-ku itu tak kunjung kembali? Apa dia tidak berhasil menemukan anak-anakku?

Aku yakin seseorang pasti telah menyelamatkan mereka berdua, hatiku tidak begitu cemas dengan keberadaan mereka. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah mempertahankan rumah ini. Mau tinggal di mana aku jika Mas Agus mengambil alih kediamanku.

“Minggir! Kami mau masuk.” Mas Agus mendorong tubuhku menjauhi pintu. Dia melenggang masuk membawa istri barunya.

Tak mau kalah, aku pun mengekor di belakang mereka. Demi anak-anak akan kupertahankan rumah ini. Walaupun tidak ada uangku dalam pembangunannya, tapi peranku cukup besar di dalamnya. Jika aku tidak pandai-pandai mengelola uang pemberian Mas Agus, mungkin rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kami.

“Ini kamar kita, Sayang. Kamu mandi dulu sana. Bersihkan sisa-sisa rambut yang menempel di tubuh dan pakaianmu itu,” ucap Mas Agus lembut pada Yuni. Terlihat tatapannya begitu sayang pada perempuan yang kini sudah plotos itu, bahkan kepalanya sudah licin tanpa rambut.

“Aku mandi dulu ya, Mas,” balas genit Yuni. Istri mudanya itu pun manut dan langsung berjalan lenggak-lenggok menuju kamar mandi di dekat dapur, seolah ini adalah rumahnya. Membuat aku muak saja melihat pinggulnya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan saat berjalan itu, seperti sengaja dia melakukan hal itu untuk menarik perhatian Mas Agus.

Mas Agus menunjuk kamar utama sebagai kamar mereka. Tidak akan kubiarkan, itu adalah kamarku.

“Itu kamarku, Mas. Kamar kita!” cicitku disela emosi yang tertahan.

“Dulu memang kamar kita. Tapi sekarang tidak lagi setelah aku mempunyai penggantimu. Kamu kalau mau tetap tinggal di sini silakan tidur bersama anak-anak. Oh iya, bukannya tadi kamu sudah mempunyai pria penggantiku? Silakan tinggal bersamanya. Dia pasti senang menampungmu, apalagi bisa mendapatkan servis gratis darimu.” Gelak tawa Mas Agus membahana.

“Leluconmu terlalu berlebihan, Mas. Aku bukan perempuan hina seperti istrimu itu,” desisku tak terima dengan tuduhannya.

Sepertinya Mas Agus terpancing emosi mendengarku membawa-bawa istri barunya.

“Yuni bukan perempuan hina! Dia tidak pernah berpelukan dengan pria lain di depan suaminya. Sementara kamu! Gaya sok alim tapi berani berpelukan di tengah ramai dengan pria lain.” Garang Mas Agus membentakku. Dia kembali mengungkit kejadian aku dipeluk Salman tadi. Ternyata dia jadikan itu sebagai alat untuk menyerangku.

“Memang benar dia tidak berpelukan dengan pria lain, tapi dia merebut suami orang dan merusak rumah tangga orang lain,” gumamku lirih, lebih ke berbicara sendiri.

Namun, ternyata Mas Agus mendengarnya. Dia kembali membela Yuni.

"Yuni itu berkali-kali lipat lebih baik darimu. Dia seorang pekerja keras, sarjana pula. Sementara kamu apa? Ijazah SMA aja yang punya, kerja cuma tau pekerjaan rumah saja," ejek Mas Agus dengan gaya pongahnya. Dia mungkin lupa karena saking lamanya aku mengabdi sebagai orang yang tidak mempunyai apa-apa padanya bahwa aku adalah anak tunggal dari seorang pengusaha restoran terkenal.

"Oh, cuma itu kelebihan Yuni yang kamu banggakan di depanku, Mas? kehebatan dia merebut suami orang nggak kamu banggakan sekalian?" sindirku.

"Jaga mulut kamu, Selvi! Jangan jadi istri durhaka. Aku ini kepala rumah tangga yang patut kamu hormati!" bentak Mas Agus kian murka. Wajahnya pun merah padam, ditambah kepalanya yang kini botak, menambah kesangaran wajahnya.

Melihat gerik Mas Agus yang mulai membahayakan, perlahan aku beringsut menjauh darinya. Aku tidak mau mati konyol di sini, anak-anak masih membutuhkanku.

"Baik lah, kamu dan istri mudamu itu boleh tinggal di sini. Tapi, Mas harus memenuhi satu syarat," ujarku mulai melunak.

"Halah, ribet pake syarat-syarat segala. Aku yang menjadi penentu di sini. Mau ngapain aja aku di rumah ini, atau membawa siapa saja ke sini, terserahku. Kamu itu hanya numpang. Ingat itu, kamu itu NUMPANG!"

Kutarik napas dalam untuk membuang kesal di dada. Percuma membuat kesepakatan dengan Mas Agus dalam keadaannya yang masih dibalut emosi begitu. Tidak akan didengarnya. Lebih baik aku mengalah dulu, pasti lambat atau cepat dia akan mendapat ganjaran atas kesombongannya ini.

"Silakan kamu caci maki perempuan yang sudah rela mengorbankan dirinya untuk menemani selama susahmu ini. Caci sepuasmu, hingga sebentar lagi cacianmu itu akan membuatmu berlutut padanya."