“Astaghfirullah!” pekikku histeris melihat pemandangan di depan pintu rumahku.Semua orang sedang berkumpul di sana, tapi yang membuatku syok adalah Mas Agus bersama Yuni yang berada di tengah kerumunan. Mereka jongkok dengan posisi berlutut yang dipegangi beberapa orang dan beberapa orang yang lain mulai bekerja membotaki kepala keduanya. Sementara dua orang yang menjadi korban itu terlihat pasrah dengan perlakuan yang mereka terima.“Ada apa ini? Siapa yang menyuruh membotaki kepala mereka?” tanyaku lantang. Bukan aku ingin membela mereka, tapi rasanya tidak manusiawi memperlakukan mereka seperti ini. “Mereka memang pantas mendapatkan itu. Jangan berhenti! Cukur semua rambutnya sampai habis, setelah itu kita arak dua manusia bejat ini keliling kampung, kapan perlu sampai ke kampung sebelah kita seret. Biar semua orang tahu dengan perbuatan buruk mereka!” Terdengar seorang bapak-bapak menimpali ucapanku dari tengah kerumunan, tapi aku tidak tahu siapa orangnya.Kulihat Mas Agus sed
“Kurang ajar! Jangan seenaknya bicara, dia itu istriku!” seru Mas Agus lebih garang.Kini aku bisa melihat wajah Mas Agus karena Salman mengubah posisi kami. Terlihat Mas Agus berusaha berontak dalam dekapan beberapa orang yang memegangnya.“Lepaskan aku!” teriaknya.“Dekap terus Mbak Selvi-nya Mas Wartawan. Jangan berikan ke tangan Agus. Suami tidak tahu diri seperti dia tidak pantas untuk Mbak Selvi!” Terdengar seseorang ikut meningkahi, dekat sekali denganku.Oh, ternyata Tika yang berdiri di sampingku ikut bersuara. Sepertinya sudah habis kesabarannya menahan-nahan geram sejak tadi. Sesaat setelahnya kurasakan tubuh Salman semakin merapat ke arahku, bukan Salman yang bergerak, melainkan ada seseorang yang mendorong tubuhnya dari belakang. Pijakan Salman bahkan sempat goyah karena dorongan tersebut, tubuh kami yang bersidekap sempat terhuyung. Beruntung tenaga Salman cukup kuat sehingga dia mampu menahan tubuh kami supaya tidak terjatuh.“Hei, jangan dorong-dorong dong. Kalian tena
Tak pelak ucapan Salman membuat aku melongo. Bukan begitu maksudku, aku tidak membela siapa pun atau memanasi siapa pun. Hanya berucap begitu saja karena terpancing emosi oleh omongan mereka.“Siapa bilang aku membelamu? Aku hanya nggak terima mereka memakiku,” ucapku membela diri. Tapi tatapan tajam Mas Agus seolah membenarkan ucapan Salman.Mas Agus terlihat aneh dengan kepalanya yang botak, begitu pun dengan Yuni yang sedari tadi hanya diam saja sambil terus menunduk. Aku penasaran apa yang dia pikirkan saat ini, menyesal kah dia telah menikah dengan Mas Agus?“Keduanya telah selesai dibotaki. Apa kita arak sekarang? Masalahnya malam kian menjelang,” ujar bapak-bapak yang berdiri di samping Mas Agus, dia baru saja selesai melakukan ritual pembotakan kepala Mas Agus dengan alat cukur di tangannya.“Sudah kepalang tanggung. Kita arak saja, biar semua orang pada tahu,” timpal bapak-bapak yang lain penuh semangat. Aku yakin, mereka yang berucap itu adalah rekan kerja Mas Agus. Heran
“Mas!” bentakku.“Ini adalah rumahku. Aku tidak mengizinkan dia masuk ke rumah ini, apalagi sampai tinggal di sini.” Aku kira Mas Agus akan menghargai niat baikku telah menyelamatkan mereka. Ternyata malah menjadi bumerang untukku.“Rumahmu? Hei, sadar diri dong! Selama ini aku yang bekerja banting tulang. Kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah, mau mengakui ini rumahmu? Jangan ngimpi!” Keras suaraku, lebih keras lagi suara Mas Agus membentakku.Memang rumah ini dibuat atas nama Mas Agus karena semua biayanya dia yang tanggung. Sebagai istri yang tidak bekerja, aku tentu sadar diri tidak ingin egois dengan mencantumkan namaku di sertifikatnya. Pikirku dulu, Mas Agus akan tetap sama, mencintaiku dan anak-anak selamanya.Sikap Mas Agus berubah 180° dibanding saat dikerubungi masa tadi. Kini Mas Agus berani mengeluarkan taringnya di depanku. Dia hanya berani padaku saja, masih kuingat betul wajah memelasnya tadi meminta tolong padaku ketika beberapa orang memegang tubuhnya.“Kamu l
Sumpah itu bukan aku yang bicara. Mana berani aku mengancam Mas Agus seperti itu. Biar bagai mana pun, rasa hormatku masih besar untuk pria yang bergelar suami ini.Aku dan Mas Agus serentak menoleh pada sumber suara dari arah pintu depan, pada seseorang yang baru saja ikut berbicara. Salman. Ya, bodyguard-ku sudah kembali.Tanpa sadar sudut bibirku langsung tertarik ke atas, membentuk senyuman ceria. Salman memang selalu datang di saat aku membutuhkannya. Dia pria terbaik, eeh.“Salman ... mana mereka?” ujarku langsung menanyakan anak-anak yang tidak datang bersama pria berusia matang ini.“Sudah tidur di rumah Mbak pemilik warung. Katanya biar anak-anak tidur di sana aja. Kasian kalau dibangunin,” balas Salman sambil berjalan mendekat.Benar dugaanku, anak-anak sudah diselamatkan Mbak Jum. Ini kali pertama mereka tidur di rumah orang lain tanpa aku, semoga saja kedua putriku tidak rewel sehingga tidak menyusahkan Mbak Jum.“Hei, pria asing! Jangan seenaknya nyelonong masuk ke rumah
Kutarik lengan baju Salman supaya mendekat, kemudian berbisik padanya, “Hei, bercanda boleh saja, tapi jangan kelewatan.” Aku tak sanggup menghadapi cercaan Yuni, mulutnya super lancang menghina orang lain. Kadang Salman ini tidak berpikir juga sebelum bicara.“Siapa yang bercanda. Memang kenyataannya seperti itu kok.” Salman berujar masih dengan sikap percaya diri.Bagai mana ceritanya aku bisa menjadi atasan Yuni, sementara latar pekerjaan kami bertolak belakang.“Mimpi itu jangan kelamaan, jadi susah ‘kan bedain mana yang kenyataan sama alam mimpi. Tidak akan pernah terjadi dalam sejarah mana pun aku yang seorang sarjana ini menjadi bawahan dia yang hanya seorang ibu rumah tangga tanpa kemampuan itu,” timpal Yuni pongah. Tanpa dia bilang seperti itu pun aku sudah sadar diri duluan.Ingin kugeprek juga nih si Salman. Membuatku hilang muka saja, berbicara tanpa pertanggung jawaban begitu.“Sombong lah sepuasmu, kalau dia
Tanpa melihat orangnya, kami sudah tahu itu suara siapa. Kulirik Tika langsung menegang di tempatnya, sementara aku pun tak kalah takut. Rasanya benar celanaku sudah basah karena cairan berbau pesing itu sudah meluncur keluar.Diam-diam Mbak Jum yang semula duduk di depan kami kabur masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang warung. Sementara aku dan Tika tidak bisa ke mana-mana karena terperangkap di bangku panjang. Dan, Yuni sudah berdiri di depan pintu warung. “Tika! Kamu kan yang melaporkan tidak-tidak pada bapak-bapak itu? Sampai aku dan suamiku menjadi korban amukan mereka.” Suara Yuni terdengar seperti halilintar yang menggelegar di telingaku. Meski kemarahannya bukan ditunjukkan padaku, tapi nyaliku tetap saja menciut mendengarnya.“Me–melaporkan apa? Aku tidak melakukan apa-apa,” balas Tika dengan suara bergetar. Aku tahu dia takut, tapi masih berani melawan. Anaknya yang duduk di atas meja dia pegang dengan kuat.“Halah, nggak usa
Apa? Menjadi CEO di perusahaan Mas Agus bekerja?“Salman ... sepertinya kali ini aku setuju dengan Yu–ni.” Berat kutelan saliva ketika menyebut nama istri kedua Mas Agus itu. Tapi, ucapannya ada benarnya.“Setuju apa?”“Kalau kamu itu mimpinya kelamaan. Barusan udah cuci muka belum?” ujarku sambil menelisik wajahnya yang selalu cerah itu. Sulit membedakan antara bangun tidur atau baru selesai mandi.“Iya nih, kayaknya Mas wartawan ngelintur deh. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah datang ke pabrik menjadi atasan paling tinggi di sana, ngadi-ngadi aja,” celetuk Tika ikut tidak percaya dengan ucapan Salman. Sepertinya dia tahu arti CEO.Aku manggut setuju, selama tinggal di sini memang belum pernah aku menginjakkan kaki ke perusahaan pengelolaan kelapa sawit itu. Dan, sekarang Salman justru mengatakan kalau aku akan menjadi pimpinan tertinggi di sana? Sudah jelas itu mimpi di siang bolong.“Kenapa? Kamu tidak percaya dengan papamu sendiri?” Salman justru berbalik menuduhku.“Gimana