“Bu Sari,” panggilku dengan suara lirih.
“Mbak Kelana…” balas Bu Sari tak kalah lirih.
Aku terpaku melihat wanita paruh baya yang amat sangat kukenal berdiri di hadapanku. Begitupun Bu Sari yang tampak terkejut mendapati aku dalam keadaan seperti ini. Tanpa persetujuan, pria yang dipanggil Doni segera membawaku masuk, diikuti Bu Sari di belakangnya.
“Bi, tolong obati lukanya, sekalian pinjemin baju,” pinta Doni setelah mendudukkanku di kursi panjang. Aku belum paham situasi ini, apa hubungan Bu Sari dengan pria itu, dan mengapa dia memanggil Bu Sari Bibi?
“Iya, Nak. Kamu makan dulu, gih, Bibi udah masakin.”
Doni hanya mengangguk, kemudian pergi dengan Bu Sari yang mengekor di belakangnya. Tak sampai lima menit, Bu Sari sudah kembali sembari membawa teh hangat dan kotak P3K.
“Biar saya bantu bersihkan lukanya, Mbak,” ucapnya.
“Terima kasih, Bu.”
Denga
Mas Heru menangis, ia mengecup pucuk kepalaku sambil terus menyalahkan diri. “Maafin Mas, sayang, semua ini terjadi karena kebodohan Mas. Mas Bodoh, Mas tolol!” isaknya.Ya, aku berusaha menghubungi Mas Heru karena ingin memintanya melihat keadaan Lintang, karena biar bagaimanapun lelaki itu adalah ayah bilogis anakku. Siapa yang sangka jika sekarang lelaki tersebut ada di sini, mendekapku begitu erat seraya menyesali semua perbuatannya di masa lalu.“Mas, udah. Semua yang terjadi bukan salah siapa-siapa, udah takdirnya harus begini,” balasku sambil mengusap punggungnya lembut.“Enggak, Lana, ini salah Mas!” tegasnya. “Hukum Mas, Lana, hukum!”Mas Heru berderai air mata. Tampaknya, dia benar-benar menyesali apa yang sudah terjadi di antara kami. Padahal, tak ada sedikitpun niat di kepalaku untuk menyalahkannya, karena aku menganggap yang terjadi merupakan bagian dari takdir Tuhan yang telah digariskan padaku
Pagi harinya, aku terbangun dalam kondisi ruangan yang kosong. Ke mana Daffa dan Lintang? Aku memindai sekeliling dan tak mendapati keberadaan mereka. Saat itulah aku menemukan catatan kecil dengan tulisan tangan cukup rapi, diletakkan di bawah ponsel berlogo apel yang bentuknya tidak sempurna.Sayang, saya nganter Lintang ke sekolah dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungi saya, i love you.Aku tersenyum tipis membaca tulisan tersebut. Tanganku tergerak mengambil ponsel boba yang masih tergeletak di atas meja.“Ya ampun, Daff, ini pasti mahal banget,” gumamku. Aku meringis menatap benda keluaran terbaru yang saat ini berada di genggamanku.Ternyata, ponsel tersebut sudah aktif dan siap pakai, di dalamnya hanya ada nomor Daffa, Lintang, Risya, juga Oma. Aku memasukkan beberapa nomor yang kuingat, salah satunya Mas Heru. Ngomong-ngoming soal Mas Heru, ke mana lelaki itu?Tak lama kemudian, seorang dokter dan beberapa perawat masuk guna memeriksa kondisiku. Aku memanfaatkan momen tersebut unt
Tanpa menunggu jawaban Kelana, Daffa segera menggendongnya ala bridal style. Sungguh, Kelana sangat malu saat ini, terlebih beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Anehnya, Daffa seperti tak terusik sama sekali, ia berjalan lurus, mengabaikan tatapan-tatapan tersebut.Sesampai di kamar, Daffa membaringkan pujaan hatinya dengan gerakan lembut. Ia menatap lekat wajah Kelana yang selalu terlihat cantik di matanya.“Cantik,” puji Daffa menyuarakan isi hatinya.“Gombal.” Kelana memalingkan wajahnya yang tersipu, membuat Daffa gemas dan berakhir mencubit pipi Kelana lembut. “Ih, jangan cubit-cubit, sakit tahu!”“Hehe, maaf sayang, saya gak tahan, habisnya kamu gemesin,” tutur Daffa. Ia berbaring di samping Kelana, memeluk erat perut rata wanita itu dan menghirup ceruk lehernya dalam-dalam. Kelana merasakan geli sekaligus nyaman disaat bersamaan.“Geser ih, sempit,” us
Setelah berpamitan pada Kelana, aku bergegas mengambil beberapa keperluan wanita itu juga menemui Delia guna melihat kondisinya. Karena terburu-buru, aku tak sengaja manabrak seseorang yang ternyata adalah Daffa. Kami bertatapan sebentar, sebelum akhirnya dia membuka suara terlebih dahulu.“Terima kasih sudah membawa calon istri saya ke sini.”“Tidak perlu berterima kasih, karena biar bagaimanapun Kelana juga ibu dari anak saya, sudah menjadi tugas saya…”“Mulai sekarang, Anda tidak perlu repot-repot melakukan itu, karena saya sendiri yang akan melakukannya!”Tanganku terkepal, Daffa sangat sombong dan begitu angkuh. Lihat, belum menjadi suami saja dia sudah berani melarangku mendekati Kelana. Padahal, Kelana terluka begini juga karena kelalaian dan kecerobohannya.Aku menatap Daffa tajam seraya tersenyum miring. “Anda lupa siapa yang membantu Anda dalam proses pembekukan Rachel dan Marsel?”
Kelana tertegun mendengar permohonan maaf Delia. Bocah tersebut menundukkan kepala setelah mengatakannya. Dia belum berani menatap siapa pun, sampai Kelana mengusap punggung tangannya lembut.“Bunda Lintang udah maafin Delia,” tutur Kelana.Delia mengangkat kepalanya. “Beneran?”Kelana mengangguk mantap sambil tersenyum. “Iya, sayang.”Berbeda dengan Kelana yang dengan mudah memaafkan kesalahan Delia, Lintang tidaklah demikian, sedari tadi dia masih diam, bahkan terlihat membuang muka, enggan menatap Delia.“Sayang...” Kelana memanggilnya pelan. Melalui gerakan mata, ia meminta Lintang menatap Delia, namun yang dilakukan Lintang hanya menggeleng.“Lintang…” Heru melakukan hal serupa, tapi tetap saja, tak membuat Lintang mau memandang Delia.Delia tertunduk lagi. Kelana bisa melihat gurat kecewa di wajahnya. Heru yang juga menangkap kekecewaan Delia mendekat, membisikka
Belum sempat Lintang menjawab, Risya sudah kembali dengan paperbag berukuruan cukup besar di tangannya. “Daren, Lintang kenapa? Kok mukanya merah dan tegang gitu?” Ia menatap Lintang heran sekaligus khawatir sesuatu terjadi dengan calon adiknya.“Gak apa-apa, Kak.”“Beneran gak apa-apa?”“Bener, kalau gak percaya tanya aja sama Lintangnya.”“Lintang.” Risya memanggil Lintang lembut. “Lintang gak apa-apa?”“Kak, jangan ngomong dulu, Lintang masih malu.”“Hah? Kenapa?”“Di perut Lintang banyak kupu-kupu.”Risya geleng-geleng, ia semakin tak paham dengan apa yang terjadi pada dua bocah tersebut. Tak mau ambil pusing, Risya mengajak keduanya beranjak dari tempat itu.“Ayuk kita ke ruangan Bunda lagi,” ajak Risya.“Bentar, K
Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali, berusaha melupakan ucapan Lintang dengan melakukan banyak kegiatan. Jujur, aku merasa terusik. Bagaimana tidak, anakku mengatakan pernah mendengar calon ayahnya bicara dengan wanita lain di telepon. Siapa wanita itu? Mengapa Daffa tak pernah mengatakan hal tersebut padaku? Apa perlu aku bertemu Daffa dan menanyakannya secara langsung?Huft! Aku menghela napas berat. Keraguan kembali menyelimuti hatiku, padahal besok adalah hari pernikahan kami, seharusnya tak perlu ada perasaan ini, bukannya aku sendiri yang memilihnya?Sepertinya bukan pilihan yang buruk jika aku bertanya secara langsung. Ya, aku akan menemui dan bertanya padanya nanti. Itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mengusir keraguan dan kekhawatiran ini.Kring! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku mengambil benda pipih itu dan mendapati nama Daffa tertera dilayar. “Panjang umur,” batinku. Bergegas aku menjawab te
Aku membuka ruangan yang bertuliskan “Dokter Kandungan.” Di sana, kudapati Daffa bersama seorang wanita. Wanita itu tengah menjalani pemeriksaan, sementara Daffa berada di sisinya. Aku terpaku melihat pemanda ngan tersebut, keduanya tampak mesra, tangan Daffa berada di perut sang wanita. Mereka terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Terlebih Daffa, ia segera menghampiri dan menyentuh jemariku. Namun, aku menepis kasar dan berlalu begitu saja. Semua yang kulihat di depan mata sudah sangat jelas. Dia tidak lebih baik dari mantan suamiku. Daffa tak tinggal diam, ia memanggil dan memintaku berhenti. Tapi, tak kuhiraukan panggilan itu, langkahku semakin cepat, disertai rintik-rintik air yang mulai membasahi pipi. Ya, aku menangis, aku marah, dan aku kecewa. Ah! Sial! Untuk apa air mata ini? Aku sudah berjanji tak mau menangisi lelaki manapun lagi. Tapi mengapa rntiknya semakin deras? “Kelana, tunggu! Dengerin penjelasan saya.” Daffa terus mengejarku dan mengatakan kalimat tersebut