Halo, terima kasih buat kalian yang sudah membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak. :)
—Lima tahun kemudianAku terbangun saat jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Seperti biasa, hal pertama yang kulakukan saat bangun tidur adalah memandangi wajah Daffa, lelaki yang menikahiku lima tahun lalu. Dia masih terlelap, wajahnya begitu damai, dan aku suka. Lebih tepatnya, aku sudah jatuh cinta pada orang yang sama setiap hari, selama lima tahun ini.Sejak resmi menjadi istrinya, dia memperlakukanku dengan sangat baik. Daffa benar-benar meratukan diriku. Tak hanya itu, ia juga sering memposting kebersamaan kami di sosial media. Saat kutanya untuk apa, dia hanya menjawab, agar seluruh dunia tahu aku miliknya.Seperti kemarin, Daffa memposting foto pernikahan kami di WhatsAppnya, dengan keterangan yang membuatku senyum-senyum sendiri, tak hanya itu, dia juga menggunakan fotoku dan Lintang sebagai profil WhatsApp.Perlakuan sederhana itu membuatku merasa istimewa, juga amat dicintai. Karena sebelumnya, mantan suamiku tak pe
“Sayang, ayo masuk,” ajak Daffa yang sudah berjalan lebih dulu, hendak menutup pintu utama.Aku masih bergeming di tempat, menatap ke arah di mana mobil tadi berada seraya memikirkan siapa sosok di balik mobil tersebut, mengapa dia memandang ke rumah ini kemudian pergi setelah Lintang dan Daren berangkat?“Sayang?” panggil Daffa. Tangannya sudah melingkar di perut rataku.“Hmm?”“Kenapa?”Aku mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin, hanya perasaannku saja. Barangkali pengemudi di balik mobil tadi sedang mencari rumah kerabatnya, dan ingin memastikan tidak salah alamat.“Gak apa-apa, Daff. Ayo, aku bantu siap-siap,” balasku sembari bergelayut manja di lengannya.“Beneran? Kok kayak ada yang lagi ganggu pikiran kamu?” tanya Daffa. Suamiku ini memang tipe laki-laki yang sangat peka. Ia paham segala perubahan ekspresi di wajahku, juga tak mudah percaya dengan apa y
Aku membaca surat tersebut secara berulang, seraya memikirkan siapa orang yang paling mungkin mengirimkannya? Mengapa hanya ada namaku? Apa mereka hanya mengincarku? Atau sekadar iseng dan menakut-nakuti saja?Tak lama kemudian, aku kembali melanjutkan niat awal untuk membersihkan diri, tanpa berniat membereskan pecahan kaca yang berserakan. Nanti, aku akan ceritakan semuanya pada Daffa. Jujur, pikiran dan hatiku tidak tenang karena hal ini.“Kira-kira siapa, ya?” gumamku.Satu jam kemudian, aku sudah berada di ruangan Daffa. Saat ini aku tengah menyuapinya, sedari tadi dia tak henti memuji cita rasa masakanku, senyumnya merekah indah, membuatku ikut bahagia dan melupakan sejenak insiden yang terjadi di rumah.“Cantik.”“Hmmmm, pasti ada maunya?” tebakku.“Enggak, sayang, nethink ih,” balasnya.“Selesai makan siang, aku perlu ngomong serius sama kamu. Bisa?”D
“Daren, kamu yakin Lintang masuk toilet ini?” tanyaku pada Daren yang terlihat sama paniknya denganku. “Yakin, Om, Daren lihat sendiri.” Oh shit! Jawaban Daren membuatku frustrasi. Aku memindai sekeliling, namun tak mendapati tanda-tanda keberadaan putriku. Dengan langkah lebar, aku mendatangi satpam sekolah, guna menanyakan keberadaan Lintang. “Permisi, apa Bapak melihat anak ini keluar dari gerbang?” Aku menunjukkan ponsel padanya. Satpam berusia paruh baya itu mengamati foto Lintang dengan seksama kemudian menggeleng singkat. “Tidak, Pak. Apa ada masalah?” “Saya sedang mencari putri saya. Setelah mengikuti kelas tambahan, dia pergi ke toilet, tapi setelah saya cek toiletnya kosong,” jelasku. “Saya tidak melihat anak Bapak keluar dari gerbang.” “Kalau begitu, saya ingin bertemu guru seni yang tadi mengajar!” Aku sudah kelewat panik, hingga tanpa sadar nada bicaraku naik beberapa oktaf. “Mohon maaf, Pak, semua
Flashback On“Daren, Lintang boleh pinjem HP Daren lagi gak? Lintang mau ngabarin papa kalau hari ini ikut kelas tambahan sama Daren,” ujar Lintang sesaat setelah selsai berbicara dan minta izin pada Kelana.“Yah… kuota Daren habis Lintang, Daren juga lagi gak ada pulsa, ini baru mau isi,” balas Daren dengan ekspresi tidak enaknya. Dia menunjukkan pesan yang berisi pemberitahuan paket internetnya telah habis.“Oh gitu ya, yaudah deh, lagian Lintang juga udah izin sama Bunda. Gak papa kan ya? Pasti Bunda juga bakal sampein ke Papa, bener kan Daren?” tanya Lintang. Jujur, ada rasa tidak yakin dalam dirinya, ia takut Daffa marah.“Pasti Lintang, pasti Tante Kelana sampein ke Om Daffa. Lintang tenang ya, Om Daffa gak bakal marah.” Daren menenangkan. “Yaudah yok, masuk, tuh missnya udah di dalam,” ajaknya.“Ayok.”Keduanya memasuki kelas yang hanya be
Flasshback OnLintang membuka matanya perlahan, tak lama kemudian ia terbatuk karena tebalnya debu yang berada di ruangan tersebut.Uhuk uhuk! “Lintang di mana?” batinnya seraya menatap sekeliling. Hal pertama yang dilihatnya adalah alat-alat kebersihan, juga tumpukan peralatan olahraga yang sudah tidak terpakai.Lintang ingat betul, jika tadi ada seseorang yang menutup mata dan membuat dirinya tak sadarkan diri. Di mana orang itu, dan siapa dia?Ia seorang diri di tempat tersebut sambil menggigit bibir bawahnya, matanya mulai mengembun. Sungguh, Lintang sangat takut sendirian, apalagi di tempat seperti ini—pengap dan sesak.“Daren, tolongin Lintang,” lirihnya. Bertepatan dengan itu, suara derap langkah mendekat, seseorang muncul seiring pintu yang terbuka lebar.Lintang beringsut mundur, tak berani untuk sekadar bertanya. Ia tidak bisa mengenali sosok di balik penutup wa
Tok tok tok! Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Aku yang belum sempat menjawab pertanyaan Lintang segera beranjak dari kamarnya, guna melihat siapakah orang yang bertamu sepagi ini.“Bun?” panggil Lintang setengah merengek.“Sebentar sayang,” ucapku sembari meneruskan langkah.Sebelum mempersilakan masuk, aku menyempatkan diri melihat siapa sosok dibalik pintu melalui tirai. Seorang lelaki paruh baya, dan gadis remaja seusia Lintang, mereka berdiri di sana sambil menunggu pintu terbuka. Mas Heru dan Delia? Mau apa mereka? Pertanyaan tersebut muncul begitu saja saat melihat kedatangan dua manusia yang beberapa tahun ini tak pernah terdengar kabar beritanya. Bahkan, keduanya bak hilang ditelan bumi. Sekarang, tiba-tiba mereka datang di waktu sepagi ini? Bolehkah aku menaruh curiga?“Mereka mau ngapain ya kira-kira?” gumamku. Di saat seperti ini, aku merasa harus lebih hati-hati. Meskipun Mas Heru dan De
Setelah Mas Heru dan Delia pulang, aku meminta Lintang mengisi perutnya yang sedari tadi belum diisi. “Sarapan dulu, Nak.”“Iya, Bunda, nanti habis mandi Lintang sarapan,” jawabnya.”Belum tuntas rasa khawatirku perihal informasi yang disampaikan Mas Heru, kini aku juga penasaran pada apa yang tadi dikatakan Delia.“Sayang, Bunda mau tanya deh,” ucapku menghentikan langkah Lintang yang sudah hendak masuk ke kamar mandi.“Iya, Bunda, kenapa?” Dia berbalik, menatapku penuh tanya.Aku menimbang-nimbang, sampai akhirnya memutuskan bertanya tentang maksud ucapan Delia yang tanpa sengaja kudengar tadi.“Tadi Bunda gak sengaja denger Delia kayak ngasih tahu Lintang buat hati-hati sama Daren. Memangnya kenapa sayang?” Aku bertanya dengan hati-hati, tak ingin menyinggung anakku yang berteman baik dengan Daren.Lintang tampak mengingat-ingat kemudian duduk di sampingku. &ld