Tok tok tok! Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Aku yang belum sempat menjawab pertanyaan Lintang segera beranjak dari kamarnya, guna melihat siapakah orang yang bertamu sepagi ini.
“Bun?” panggil Lintang setengah merengek.
“Sebentar sayang,” ucapku sembari meneruskan langkah.
Sebelum mempersilakan masuk, aku menyempatkan diri melihat siapa sosok dibalik pintu melalui tirai. Seorang lelaki paruh baya, dan gadis remaja seusia Lintang, mereka berdiri di sana sambil menunggu pintu terbuka. Mas Heru dan Delia? Mau apa mereka? Pertanyaan tersebut muncul begitu saja saat melihat kedatangan dua manusia yang beberapa tahun ini tak pernah terdengar kabar beritanya. Bahkan, keduanya bak hilang ditelan bumi. Sekarang, tiba-tiba mereka datang di waktu sepagi ini? Bolehkah aku menaruh curiga?
“Mereka mau ngapain ya kira-kira?” gumamku. Di saat seperti ini, aku merasa harus lebih hati-hati. Meskipun Mas Heru dan De
Setelah Mas Heru dan Delia pulang, aku meminta Lintang mengisi perutnya yang sedari tadi belum diisi. “Sarapan dulu, Nak.”“Iya, Bunda, nanti habis mandi Lintang sarapan,” jawabnya.”Belum tuntas rasa khawatirku perihal informasi yang disampaikan Mas Heru, kini aku juga penasaran pada apa yang tadi dikatakan Delia.“Sayang, Bunda mau tanya deh,” ucapku menghentikan langkah Lintang yang sudah hendak masuk ke kamar mandi.“Iya, Bunda, kenapa?” Dia berbalik, menatapku penuh tanya.Aku menimbang-nimbang, sampai akhirnya memutuskan bertanya tentang maksud ucapan Delia yang tanpa sengaja kudengar tadi.“Tadi Bunda gak sengaja denger Delia kayak ngasih tahu Lintang buat hati-hati sama Daren. Memangnya kenapa sayang?” Aku bertanya dengan hati-hati, tak ingin menyinggung anakku yang berteman baik dengan Daren.Lintang tampak mengingat-ingat kemudian duduk di sampingku. &ld
PoV Author Seorang wanita berseragam SMA turun dari mobil mewahnya seraya membawa banyak paperbag yang bertuliskan brand-brand ternama suatu produk. Ia menyerahkan kumpulan paperbag itu pada asisten rumah tangga yang menyambut dirinya di depan pintu.“Bi Suri, bawa ke kamar, ya,” pintanya.“Non Risya dari mana? Tadi nyonya besar telepon nyariin Non.”Ya, gadis itu tak lain adalah Risya. Gadis yang dulu polos, rendah hati dan lembut kini menjelma menjadi remaja SMA yang terkenal dengan sifat penentang, juga suka menghambur-hamburkan uang.“Udah deh, Bi, gak usah banyak tanya!”“Tapi, Non, kalau nanti nyonya besar telepon dan nanyain Non lagi, Bibi mesti jawab apa?” Asisten rumah tangga yang dipanggil Bi Sari itu panik, karena bukan sekali dua kali Risya bersikap seperti ini.“Tinggal bilang aja gak tahu, ribet amat!” Risya naik ke l
“Lintang mana?” tanya Daffa saat tak menemukan Lintang di segala penjuru. Hari ini dia pulang lebih cepat dari biasanya. Aku yang sedang membaca novel online, segera menyambut kedatangan suamiku itu.“Di kamarnya,” jawabku.“Kenapa? Gak biasanya.” Ya, Daffa hapal betul kebiasaan Lintang yang memang jarang berada di kamar di waktu seperti ini.Aku mengedikkan bahu. “Gak tahu. Mungkin kesel sama aku.”“Memangnya kenapa?”“Tadi dia minta izin buat pergi ke mall sama Miss Nisha.”“Ke mall? Bukannya Lintang gak suka? Emangnya mau ngapain?” tanya Daffa heran. Pasalnya, sejak duduk di bangku SMP Lintang selalu menolak jika diajak ke mall.“Mau nemenin Miss Nisha sama beli kado buat Daren katanya.”“Terus?”“Ya aku izinin, dengan syarat aku juga ikut. Soalnya aku takut, kita gak boleh kan g
“Bu, saya perlu bicara.”Aku yang semula hendak pergi ke Supermarket menghentikan langkah saat tiba-tiba Miss Nisha berlari mengejarku.“Ya, Miss, ada apa?” tanyaku seraya menatapnya penuh tanya.Miss Nisha tampak ragu. Aku menunggu dengan sabar sampai wanita itu kembali bersuara. “Begini, Bu, suami saya di PHK, sampai sekarang belum dapet kerja.” Dia memulai ceritanya. “Apa boleh suami saya ikut kerja di sini? Jadi tukang kebun juga gak apa-apa.”Sebenarnya aku memang berencana mencari tukang kebun, mengingat mengerjakan semuanya sendiri cukup melelahkan juga. Namun, aku tak berniat merealisasikannya dalam waktu dekat, terlebih aku pun belum berdiskusi dengan Daffa.“Memangnya suami Miss lulusan apa?” tanyaku. Pasalnya, Miss Nisha memiliki latar belakang pendidikan yang cukup bagus, bukan tidak mungkin suaminya pun demikian.“Suami
PoV Author–Satu Minggu KemudianOma Meira sudah tiba di rumah yang ditempati Risya, ia sengaja merahasiakan kedatangannya, karena ingin melihat secara langsung bagaimana kehidupan Risya pasca kepindahan Daffa.“Nyonya besar, mari saya bantu.” Bi Suri hendak mengambil alih koper yang berukuran tak terlalu besar, namun Oma Meira menahannya. “Tidak usah, saya bisa melakukannya sendiri. Di mana Risya?”“Non Risya lagi keluar, Nya,” jawab Bi Suri seraya menundukkan kepala.“Dengan pacar berondongnya?”“Nyonya tahu?” Bi Suri memasang ekspresi terkejut. Pasalnya, tidak banyak yang tahu perihal itu, karena Risya benar-benar menyembunyikannya.“Jadi benar?”Bi Suri mengangguk sebagai jawaban. Saat itulah Oma mengeluarkan ponsel, dan menghubungi seseorang.“Bawa Risya dan pacar berondongnya ke rumah besar malam in
—PoV Author“Daffa, Kelana, duduk!” titah Oma Meira. Suaranya terdengar begitu tegas, raut wajahnya pun sangat serius. Ia menatap cucu dan menantunya tanpa kedip, kemudian mengalihkan pandangan.Tanpa pikir panjang, Kelana dan Daffa duduk di hadapan Oma. “Ada apa, Oma?” tanya Daffa memberanikan diri.Oma Meira tak menjawab. Ia mengotak-atik tablet, fokusnya tertuju pada benda itu.“Oma?” panggil Daffa. Ia sangat penasaran, sebenarnya ada apa? Mengapa Oma sampai harus datang tanpa memberitahunya? Rasanya mustahil kalau hanya sekadar rindu. Daffa yakin pasti ada sesuatu.“Lihat ini.” Oma memberikan tabletnya pada Daffa. Di sana, terdapat berita tentang buronan yang dikabarkan sudah meninggal lima tahun lalu. Namun tiba-tiba, ada dugaan jika dua buronan itu masih hidup dan saat ini sedang dalam proses pencarian.“Kalian tahu siapa buronan dalam berita itu?” tanya
PoV AuthorLintang menggeliat saat mendengar suara tawa yang begitu membahana, kemudian membuka mata perlahan. Ia melihat ke arah benda bulat yang menggantung di dinding kamar. “Baru jam sembilan ternyata,” gumamnya.Lintang mengamati sekeliling, tak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya. Ke mana Bunda, Papa, dan Miss Nisha? Kerongkongannya terasa kering, namun sayang, teko yang biasanya selalu terisi penuh, tak mengeluarkan air setetes pun. Mau tidak mau, ia beranjak dari tempat tidur, menuju dapur guna melepas dahaga.Suara tawa yang tadi membahana semakin memekakan telinga. Lintang bergeming, mencari-cari darimana sumber suara itu. “Kayaknya dari paviliun belakang,” lirihnya.Usai melepas dahaga, Lintang tak langsung kembali ke kamar, ia membuka pintu dan berjalan menuju paviliun. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal, lampu paviliun itu pun masih menyala, pertanda Miss Nisha
PoV KelanaSepanjang perjalanan, aku hanya membisu, tak berminat diajak bicara atau mengajak bicara. Pikiranku masih tertuju pada Daren, Risya, dan orang-orang di balik mereka. Rasanya, semakin ke sini semakin sulit membedakan mana yang benar-benar baik dan sekadar pura-pura baik.Aku menyayangkan diriku yang terlalu mudah percaya dan berakhir ditipu lagi dan lagi. Berawal dari Mas Heru, Rachel, Marsel, dan sekarang Daren. Nanti siapa? Daffa, Oma? Atau semuanya saja? Jangan-jangan, orang-orang di sekitarku memang bukan orang-orang baik? Kepalaku berdenyut nyeri, memikirkan hal-hal tak terduga yang terjadi hari ini.“Masih mikirin yang tadi?” tanya Daffa memecah hening.Aku melirik sekilas, kemudian kembali menatap lurus. Jujur saja, aku masih merasa kesal pada Daffa, kalau saja dia tidak mamaksaku pulang, semua permasalahan tadi akan selesai malam ini.Aku tidak suka setengah-setengah, karena hal itu akan sangat m