—PoV Author
“Daffa, Kelana, duduk!” titah Oma Meira. Suaranya terdengar begitu tegas, raut wajahnya pun sangat serius. Ia menatap cucu dan menantunya tanpa kedip, kemudian mengalihkan pandangan.
Tanpa pikir panjang, Kelana dan Daffa duduk di hadapan Oma. “Ada apa, Oma?” tanya Daffa memberanikan diri.
Oma Meira tak menjawab. Ia mengotak-atik tablet, fokusnya tertuju pada benda itu.
“Oma?” panggil Daffa. Ia sangat penasaran, sebenarnya ada apa? Mengapa Oma sampai harus datang tanpa memberitahunya? Rasanya mustahil kalau hanya sekadar rindu. Daffa yakin pasti ada sesuatu.
“Lihat ini.” Oma memberikan tabletnya pada Daffa. Di sana, terdapat berita tentang buronan yang dikabarkan sudah meninggal lima tahun lalu. Namun tiba-tiba, ada dugaan jika dua buronan itu masih hidup dan saat ini sedang dalam proses pencarian.
“Kalian tahu siapa buronan dalam berita itu?” tanya
PoV AuthorLintang menggeliat saat mendengar suara tawa yang begitu membahana, kemudian membuka mata perlahan. Ia melihat ke arah benda bulat yang menggantung di dinding kamar. “Baru jam sembilan ternyata,” gumamnya.Lintang mengamati sekeliling, tak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya. Ke mana Bunda, Papa, dan Miss Nisha? Kerongkongannya terasa kering, namun sayang, teko yang biasanya selalu terisi penuh, tak mengeluarkan air setetes pun. Mau tidak mau, ia beranjak dari tempat tidur, menuju dapur guna melepas dahaga.Suara tawa yang tadi membahana semakin memekakan telinga. Lintang bergeming, mencari-cari darimana sumber suara itu. “Kayaknya dari paviliun belakang,” lirihnya.Usai melepas dahaga, Lintang tak langsung kembali ke kamar, ia membuka pintu dan berjalan menuju paviliun. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal, lampu paviliun itu pun masih menyala, pertanda Miss Nisha
PoV KelanaSepanjang perjalanan, aku hanya membisu, tak berminat diajak bicara atau mengajak bicara. Pikiranku masih tertuju pada Daren, Risya, dan orang-orang di balik mereka. Rasanya, semakin ke sini semakin sulit membedakan mana yang benar-benar baik dan sekadar pura-pura baik.Aku menyayangkan diriku yang terlalu mudah percaya dan berakhir ditipu lagi dan lagi. Berawal dari Mas Heru, Rachel, Marsel, dan sekarang Daren. Nanti siapa? Daffa, Oma? Atau semuanya saja? Jangan-jangan, orang-orang di sekitarku memang bukan orang-orang baik? Kepalaku berdenyut nyeri, memikirkan hal-hal tak terduga yang terjadi hari ini.“Masih mikirin yang tadi?” tanya Daffa memecah hening.Aku melirik sekilas, kemudian kembali menatap lurus. Jujur saja, aku masih merasa kesal pada Daffa, kalau saja dia tidak mamaksaku pulang, semua permasalahan tadi akan selesai malam ini.Aku tidak suka setengah-setengah, karena hal itu akan sangat m
PoV Kelana“Bisa. Saya bisa melakukan apa pun, termasuk membawa Lintang pergi dari sini!”“Bukannya pembicaraan soal ini sudah selesai? Kenapa sekarang dibahas lagi?” tanyaku.“Selama ini Mas diem, karena Mas pikir Lana bisa menjaga Lintang dengan baik. Tapi ternyata enggak, Lana terlalu asyik sama Daffa, sampai-sampai mengabaikan keselamatan anak sendiri. Kalau tadi Mas gak dateng, Lintang udah celaka. Lana gak tahu, kan?!”Aku mengangkat sebelah alisku. Rupanya, Mas Heru sedang berlagak menjadi si paling segalanya. Terlalu berlebihan, dan sangat menyebalkan. Dia mengatakan aku terlalu asyik dengan Daffa, hanya karena kami meninggalkan Lintang di rumah. Padahal, apa yang dia pikirkan sangatlah tidak benar.“Gak usah sok paling tahu segalanya,” balasku tajam. “Memangnya kebaikan apa yang udah Mas lakuin, hmm? Mas gak inget gimana hancur
PoV KelanaSepanjang perjalanan, Daffa tak mengajakku bicara. Dia hanya menjawab pertanyaan dan berbincang dengan Lintang. Tentu saja itu membuatku resah, karena selama mengenal Daffa, ini kali pertama dia mengabaikan diriku. Aku tahu betul, dia cemburu, tapi bukannya mendengar penjelasan juga penting? Bisa aja apa yang dilihat oleh mata, tak sesuai realita.Bukan hanya itu, aku juga sangat kesal pada Nisha dan Saga, bisa-bisanya mereka pulang kampung tanpa memberitahu aku ataupun Daffa lebih dulu.“Daff, jangan diemin aku gini dong,” lirihku saat Lintang sedang asyik dengan ponselnya.“Sayang, mau beli sesuatu gak? Di depan banyak jajanan pasar. Mau berhenti dulu?” Lagi, Daffa menghindari interaksi denganku. Aku menghela napas pelan, saat Lintang mengangguk antusias.“Mau. Tapi, Papa temenin Lintang keliling-keliling, ya.”“Iya sayang, Papa temenin. Apa sih yang enggak buat anak can
PoV AuthorUsai menerima telepon, Daffa bergegas kembali ke tempat semula, ia khawatir Lintang mencarinya karena pergi terlalu lama. Saat itulah netranya menangkap sosok Kelana dengan langkah tergopoh-gopoh. Sepertinya wanita itu mencari dirinya dan Lintang, entah apa yang terjadi hingga membuat raut wajah Kelana sangat tidak santai seperti sekarang ini.Karena kabar yang dibawa sang penelepon tadi, suasana hati Daffa berubah menjadi sangat baik, ia segera menghampiri Kelana yang masih terlihat celingak-celinguk, memindai sekeliling seraya menggigit bibir bawahnya.“Kelana,” panggil Daffa sambil menepuk pundak wanita itu.Kelana berbalik, ia mendapati Daffa berada di belakangnya. “Daff, Lintang mana?” tanya Kelana to the point.“Lagi ke toilet, tadi saya tinggal bentar buat angkat telepon,” jawab Daffa. “Sayang, ada kabar baik,” samb
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk