“Lintang mana?” tanya Daffa saat tak menemukan Lintang di segala penjuru. Hari ini dia pulang lebih cepat dari biasanya. Aku yang sedang membaca novel online, segera menyambut kedatangan suamiku itu.
“Di kamarnya,” jawabku.
“Kenapa? Gak biasanya.” Ya, Daffa hapal betul kebiasaan Lintang yang memang jarang berada di kamar di waktu seperti ini.
Aku mengedikkan bahu. “Gak tahu. Mungkin kesel sama aku.”
“Memangnya kenapa?”
“Tadi dia minta izin buat pergi ke mall sama Miss Nisha.”
“Ke mall? Bukannya Lintang gak suka? Emangnya mau ngapain?” tanya Daffa heran. Pasalnya, sejak duduk di bangku SMP Lintang selalu menolak jika diajak ke mall.
“Mau nemenin Miss Nisha sama beli kado buat Daren katanya.”
“Terus?”
“Ya aku izinin, dengan syarat aku juga ikut. Soalnya aku takut, kita gak boleh kan g
“Bu, saya perlu bicara.”Aku yang semula hendak pergi ke Supermarket menghentikan langkah saat tiba-tiba Miss Nisha berlari mengejarku.“Ya, Miss, ada apa?” tanyaku seraya menatapnya penuh tanya.Miss Nisha tampak ragu. Aku menunggu dengan sabar sampai wanita itu kembali bersuara. “Begini, Bu, suami saya di PHK, sampai sekarang belum dapet kerja.” Dia memulai ceritanya. “Apa boleh suami saya ikut kerja di sini? Jadi tukang kebun juga gak apa-apa.”Sebenarnya aku memang berencana mencari tukang kebun, mengingat mengerjakan semuanya sendiri cukup melelahkan juga. Namun, aku tak berniat merealisasikannya dalam waktu dekat, terlebih aku pun belum berdiskusi dengan Daffa.“Memangnya suami Miss lulusan apa?” tanyaku. Pasalnya, Miss Nisha memiliki latar belakang pendidikan yang cukup bagus, bukan tidak mungkin suaminya pun demikian.“Suami
PoV Author–Satu Minggu KemudianOma Meira sudah tiba di rumah yang ditempati Risya, ia sengaja merahasiakan kedatangannya, karena ingin melihat secara langsung bagaimana kehidupan Risya pasca kepindahan Daffa.“Nyonya besar, mari saya bantu.” Bi Suri hendak mengambil alih koper yang berukuran tak terlalu besar, namun Oma Meira menahannya. “Tidak usah, saya bisa melakukannya sendiri. Di mana Risya?”“Non Risya lagi keluar, Nya,” jawab Bi Suri seraya menundukkan kepala.“Dengan pacar berondongnya?”“Nyonya tahu?” Bi Suri memasang ekspresi terkejut. Pasalnya, tidak banyak yang tahu perihal itu, karena Risya benar-benar menyembunyikannya.“Jadi benar?”Bi Suri mengangguk sebagai jawaban. Saat itulah Oma mengeluarkan ponsel, dan menghubungi seseorang.“Bawa Risya dan pacar berondongnya ke rumah besar malam in
—PoV Author“Daffa, Kelana, duduk!” titah Oma Meira. Suaranya terdengar begitu tegas, raut wajahnya pun sangat serius. Ia menatap cucu dan menantunya tanpa kedip, kemudian mengalihkan pandangan.Tanpa pikir panjang, Kelana dan Daffa duduk di hadapan Oma. “Ada apa, Oma?” tanya Daffa memberanikan diri.Oma Meira tak menjawab. Ia mengotak-atik tablet, fokusnya tertuju pada benda itu.“Oma?” panggil Daffa. Ia sangat penasaran, sebenarnya ada apa? Mengapa Oma sampai harus datang tanpa memberitahunya? Rasanya mustahil kalau hanya sekadar rindu. Daffa yakin pasti ada sesuatu.“Lihat ini.” Oma memberikan tabletnya pada Daffa. Di sana, terdapat berita tentang buronan yang dikabarkan sudah meninggal lima tahun lalu. Namun tiba-tiba, ada dugaan jika dua buronan itu masih hidup dan saat ini sedang dalam proses pencarian.“Kalian tahu siapa buronan dalam berita itu?” tanya
PoV AuthorLintang menggeliat saat mendengar suara tawa yang begitu membahana, kemudian membuka mata perlahan. Ia melihat ke arah benda bulat yang menggantung di dinding kamar. “Baru jam sembilan ternyata,” gumamnya.Lintang mengamati sekeliling, tak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya. Ke mana Bunda, Papa, dan Miss Nisha? Kerongkongannya terasa kering, namun sayang, teko yang biasanya selalu terisi penuh, tak mengeluarkan air setetes pun. Mau tidak mau, ia beranjak dari tempat tidur, menuju dapur guna melepas dahaga.Suara tawa yang tadi membahana semakin memekakan telinga. Lintang bergeming, mencari-cari darimana sumber suara itu. “Kayaknya dari paviliun belakang,” lirihnya.Usai melepas dahaga, Lintang tak langsung kembali ke kamar, ia membuka pintu dan berjalan menuju paviliun. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal, lampu paviliun itu pun masih menyala, pertanda Miss Nisha
PoV KelanaSepanjang perjalanan, aku hanya membisu, tak berminat diajak bicara atau mengajak bicara. Pikiranku masih tertuju pada Daren, Risya, dan orang-orang di balik mereka. Rasanya, semakin ke sini semakin sulit membedakan mana yang benar-benar baik dan sekadar pura-pura baik.Aku menyayangkan diriku yang terlalu mudah percaya dan berakhir ditipu lagi dan lagi. Berawal dari Mas Heru, Rachel, Marsel, dan sekarang Daren. Nanti siapa? Daffa, Oma? Atau semuanya saja? Jangan-jangan, orang-orang di sekitarku memang bukan orang-orang baik? Kepalaku berdenyut nyeri, memikirkan hal-hal tak terduga yang terjadi hari ini.“Masih mikirin yang tadi?” tanya Daffa memecah hening.Aku melirik sekilas, kemudian kembali menatap lurus. Jujur saja, aku masih merasa kesal pada Daffa, kalau saja dia tidak mamaksaku pulang, semua permasalahan tadi akan selesai malam ini.Aku tidak suka setengah-setengah, karena hal itu akan sangat m
PoV Kelana“Bisa. Saya bisa melakukan apa pun, termasuk membawa Lintang pergi dari sini!”“Bukannya pembicaraan soal ini sudah selesai? Kenapa sekarang dibahas lagi?” tanyaku.“Selama ini Mas diem, karena Mas pikir Lana bisa menjaga Lintang dengan baik. Tapi ternyata enggak, Lana terlalu asyik sama Daffa, sampai-sampai mengabaikan keselamatan anak sendiri. Kalau tadi Mas gak dateng, Lintang udah celaka. Lana gak tahu, kan?!”Aku mengangkat sebelah alisku. Rupanya, Mas Heru sedang berlagak menjadi si paling segalanya. Terlalu berlebihan, dan sangat menyebalkan. Dia mengatakan aku terlalu asyik dengan Daffa, hanya karena kami meninggalkan Lintang di rumah. Padahal, apa yang dia pikirkan sangatlah tidak benar.“Gak usah sok paling tahu segalanya,” balasku tajam. “Memangnya kebaikan apa yang udah Mas lakuin, hmm? Mas gak inget gimana hancur
PoV KelanaSepanjang perjalanan, Daffa tak mengajakku bicara. Dia hanya menjawab pertanyaan dan berbincang dengan Lintang. Tentu saja itu membuatku resah, karena selama mengenal Daffa, ini kali pertama dia mengabaikan diriku. Aku tahu betul, dia cemburu, tapi bukannya mendengar penjelasan juga penting? Bisa aja apa yang dilihat oleh mata, tak sesuai realita.Bukan hanya itu, aku juga sangat kesal pada Nisha dan Saga, bisa-bisanya mereka pulang kampung tanpa memberitahu aku ataupun Daffa lebih dulu.“Daff, jangan diemin aku gini dong,” lirihku saat Lintang sedang asyik dengan ponselnya.“Sayang, mau beli sesuatu gak? Di depan banyak jajanan pasar. Mau berhenti dulu?” Lagi, Daffa menghindari interaksi denganku. Aku menghela napas pelan, saat Lintang mengangguk antusias.“Mau. Tapi, Papa temenin Lintang keliling-keliling, ya.”“Iya sayang, Papa temenin. Apa sih yang enggak buat anak can
PoV AuthorUsai menerima telepon, Daffa bergegas kembali ke tempat semula, ia khawatir Lintang mencarinya karena pergi terlalu lama. Saat itulah netranya menangkap sosok Kelana dengan langkah tergopoh-gopoh. Sepertinya wanita itu mencari dirinya dan Lintang, entah apa yang terjadi hingga membuat raut wajah Kelana sangat tidak santai seperti sekarang ini.Karena kabar yang dibawa sang penelepon tadi, suasana hati Daffa berubah menjadi sangat baik, ia segera menghampiri Kelana yang masih terlihat celingak-celinguk, memindai sekeliling seraya menggigit bibir bawahnya.“Kelana,” panggil Daffa sambil menepuk pundak wanita itu.Kelana berbalik, ia mendapati Daffa berada di belakangnya. “Daff, Lintang mana?” tanya Kelana to the point.“Lagi ke toilet, tadi saya tinggal bentar buat angkat telepon,” jawab Daffa. “Sayang, ada kabar baik,” samb