Setelah berpamitan pada Kelana, aku bergegas mengambil beberapa keperluan wanita itu juga menemui Delia guna melihat kondisinya. Karena terburu-buru, aku tak sengaja manabrak seseorang yang ternyata adalah Daffa. Kami bertatapan sebentar, sebelum akhirnya dia membuka suara terlebih dahulu.
“Terima kasih sudah membawa calon istri saya ke sini.”
“Tidak perlu berterima kasih, karena biar bagaimanapun Kelana juga ibu dari anak saya, sudah menjadi tugas saya…”
“Mulai sekarang, Anda tidak perlu repot-repot melakukan itu, karena saya sendiri yang akan melakukannya!”
Tanganku terkepal, Daffa sangat sombong dan begitu angkuh. Lihat, belum menjadi suami saja dia sudah berani melarangku mendekati Kelana. Padahal, Kelana terluka begini juga karena kelalaian dan kecerobohannya.
Aku menatap Daffa tajam seraya tersenyum miring. “Anda lupa siapa yang membantu Anda dalam proses pembekukan Rachel dan Marsel?”
Kelana tertegun mendengar permohonan maaf Delia. Bocah tersebut menundukkan kepala setelah mengatakannya. Dia belum berani menatap siapa pun, sampai Kelana mengusap punggung tangannya lembut.“Bunda Lintang udah maafin Delia,” tutur Kelana.Delia mengangkat kepalanya. “Beneran?”Kelana mengangguk mantap sambil tersenyum. “Iya, sayang.”Berbeda dengan Kelana yang dengan mudah memaafkan kesalahan Delia, Lintang tidaklah demikian, sedari tadi dia masih diam, bahkan terlihat membuang muka, enggan menatap Delia.“Sayang...” Kelana memanggilnya pelan. Melalui gerakan mata, ia meminta Lintang menatap Delia, namun yang dilakukan Lintang hanya menggeleng.“Lintang…” Heru melakukan hal serupa, tapi tetap saja, tak membuat Lintang mau memandang Delia.Delia tertunduk lagi. Kelana bisa melihat gurat kecewa di wajahnya. Heru yang juga menangkap kekecewaan Delia mendekat, membisikka
Belum sempat Lintang menjawab, Risya sudah kembali dengan paperbag berukuruan cukup besar di tangannya. “Daren, Lintang kenapa? Kok mukanya merah dan tegang gitu?” Ia menatap Lintang heran sekaligus khawatir sesuatu terjadi dengan calon adiknya.“Gak apa-apa, Kak.”“Beneran gak apa-apa?”“Bener, kalau gak percaya tanya aja sama Lintangnya.”“Lintang.” Risya memanggil Lintang lembut. “Lintang gak apa-apa?”“Kak, jangan ngomong dulu, Lintang masih malu.”“Hah? Kenapa?”“Di perut Lintang banyak kupu-kupu.”Risya geleng-geleng, ia semakin tak paham dengan apa yang terjadi pada dua bocah tersebut. Tak mau ambil pusing, Risya mengajak keduanya beranjak dari tempat itu.“Ayuk kita ke ruangan Bunda lagi,” ajak Risya.“Bentar, K
Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali, berusaha melupakan ucapan Lintang dengan melakukan banyak kegiatan. Jujur, aku merasa terusik. Bagaimana tidak, anakku mengatakan pernah mendengar calon ayahnya bicara dengan wanita lain di telepon. Siapa wanita itu? Mengapa Daffa tak pernah mengatakan hal tersebut padaku? Apa perlu aku bertemu Daffa dan menanyakannya secara langsung?Huft! Aku menghela napas berat. Keraguan kembali menyelimuti hatiku, padahal besok adalah hari pernikahan kami, seharusnya tak perlu ada perasaan ini, bukannya aku sendiri yang memilihnya?Sepertinya bukan pilihan yang buruk jika aku bertanya secara langsung. Ya, aku akan menemui dan bertanya padanya nanti. Itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mengusir keraguan dan kekhawatiran ini.Kring! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku mengambil benda pipih itu dan mendapati nama Daffa tertera dilayar. “Panjang umur,” batinku. Bergegas aku menjawab te
Aku membuka ruangan yang bertuliskan “Dokter Kandungan.” Di sana, kudapati Daffa bersama seorang wanita. Wanita itu tengah menjalani pemeriksaan, sementara Daffa berada di sisinya. Aku terpaku melihat pemanda ngan tersebut, keduanya tampak mesra, tangan Daffa berada di perut sang wanita. Mereka terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Terlebih Daffa, ia segera menghampiri dan menyentuh jemariku. Namun, aku menepis kasar dan berlalu begitu saja. Semua yang kulihat di depan mata sudah sangat jelas. Dia tidak lebih baik dari mantan suamiku. Daffa tak tinggal diam, ia memanggil dan memintaku berhenti. Tapi, tak kuhiraukan panggilan itu, langkahku semakin cepat, disertai rintik-rintik air yang mulai membasahi pipi. Ya, aku menangis, aku marah, dan aku kecewa. Ah! Sial! Untuk apa air mata ini? Aku sudah berjanji tak mau menangisi lelaki manapun lagi. Tapi mengapa rntiknya semakin deras? “Kelana, tunggu! Dengerin penjelasan saya.” Daffa terus mengejarku dan mengatakan kalimat tersebut
—Lima tahun kemudianAku terbangun saat jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Seperti biasa, hal pertama yang kulakukan saat bangun tidur adalah memandangi wajah Daffa, lelaki yang menikahiku lima tahun lalu. Dia masih terlelap, wajahnya begitu damai, dan aku suka. Lebih tepatnya, aku sudah jatuh cinta pada orang yang sama setiap hari, selama lima tahun ini.Sejak resmi menjadi istrinya, dia memperlakukanku dengan sangat baik. Daffa benar-benar meratukan diriku. Tak hanya itu, ia juga sering memposting kebersamaan kami di sosial media. Saat kutanya untuk apa, dia hanya menjawab, agar seluruh dunia tahu aku miliknya.Seperti kemarin, Daffa memposting foto pernikahan kami di WhatsAppnya, dengan keterangan yang membuatku senyum-senyum sendiri, tak hanya itu, dia juga menggunakan fotoku dan Lintang sebagai profil WhatsApp.Perlakuan sederhana itu membuatku merasa istimewa, juga amat dicintai. Karena sebelumnya, mantan suamiku tak pe
“Sayang, ayo masuk,” ajak Daffa yang sudah berjalan lebih dulu, hendak menutup pintu utama.Aku masih bergeming di tempat, menatap ke arah di mana mobil tadi berada seraya memikirkan siapa sosok di balik mobil tersebut, mengapa dia memandang ke rumah ini kemudian pergi setelah Lintang dan Daren berangkat?“Sayang?” panggil Daffa. Tangannya sudah melingkar di perut rataku.“Hmm?”“Kenapa?”Aku mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin, hanya perasaannku saja. Barangkali pengemudi di balik mobil tadi sedang mencari rumah kerabatnya, dan ingin memastikan tidak salah alamat.“Gak apa-apa, Daff. Ayo, aku bantu siap-siap,” balasku sembari bergelayut manja di lengannya.“Beneran? Kok kayak ada yang lagi ganggu pikiran kamu?” tanya Daffa. Suamiku ini memang tipe laki-laki yang sangat peka. Ia paham segala perubahan ekspresi di wajahku, juga tak mudah percaya dengan apa y
Aku membaca surat tersebut secara berulang, seraya memikirkan siapa orang yang paling mungkin mengirimkannya? Mengapa hanya ada namaku? Apa mereka hanya mengincarku? Atau sekadar iseng dan menakut-nakuti saja?Tak lama kemudian, aku kembali melanjutkan niat awal untuk membersihkan diri, tanpa berniat membereskan pecahan kaca yang berserakan. Nanti, aku akan ceritakan semuanya pada Daffa. Jujur, pikiran dan hatiku tidak tenang karena hal ini.“Kira-kira siapa, ya?” gumamku.Satu jam kemudian, aku sudah berada di ruangan Daffa. Saat ini aku tengah menyuapinya, sedari tadi dia tak henti memuji cita rasa masakanku, senyumnya merekah indah, membuatku ikut bahagia dan melupakan sejenak insiden yang terjadi di rumah.“Cantik.”“Hmmmm, pasti ada maunya?” tebakku.“Enggak, sayang, nethink ih,” balasnya.“Selesai makan siang, aku perlu ngomong serius sama kamu. Bisa?”D
“Daren, kamu yakin Lintang masuk toilet ini?” tanyaku pada Daren yang terlihat sama paniknya denganku. “Yakin, Om, Daren lihat sendiri.” Oh shit! Jawaban Daren membuatku frustrasi. Aku memindai sekeliling, namun tak mendapati tanda-tanda keberadaan putriku. Dengan langkah lebar, aku mendatangi satpam sekolah, guna menanyakan keberadaan Lintang. “Permisi, apa Bapak melihat anak ini keluar dari gerbang?” Aku menunjukkan ponsel padanya. Satpam berusia paruh baya itu mengamati foto Lintang dengan seksama kemudian menggeleng singkat. “Tidak, Pak. Apa ada masalah?” “Saya sedang mencari putri saya. Setelah mengikuti kelas tambahan, dia pergi ke toilet, tapi setelah saya cek toiletnya kosong,” jelasku. “Saya tidak melihat anak Bapak keluar dari gerbang.” “Kalau begitu, saya ingin bertemu guru seni yang tadi mengajar!” Aku sudah kelewat panik, hingga tanpa sadar nada bicaraku naik beberapa oktaf. “Mohon maaf, Pak, semua
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,