Kelana tertegun mendengar permohonan maaf Delia. Bocah tersebut menundukkan kepala setelah mengatakannya. Dia belum berani menatap siapa pun, sampai Kelana mengusap punggung tangannya lembut.
“Bunda Lintang udah maafin Delia,” tutur Kelana.
Delia mengangkat kepalanya. “Beneran?”
Kelana mengangguk mantap sambil tersenyum. “Iya, sayang.”
Berbeda dengan Kelana yang dengan mudah memaafkan kesalahan Delia, Lintang tidaklah demikian, sedari tadi dia masih diam, bahkan terlihat membuang muka, enggan menatap Delia.
“Sayang...” Kelana memanggilnya pelan. Melalui gerakan mata, ia meminta Lintang menatap Delia, namun yang dilakukan Lintang hanya menggeleng.
“Lintang…” Heru melakukan hal serupa, tapi tetap saja, tak membuat Lintang mau memandang Delia.
Delia tertunduk lagi. Kelana bisa melihat gurat kecewa di wajahnya. Heru yang juga menangkap kekecewaan Delia mendekat, membisikka
Belum sempat Lintang menjawab, Risya sudah kembali dengan paperbag berukuruan cukup besar di tangannya. “Daren, Lintang kenapa? Kok mukanya merah dan tegang gitu?” Ia menatap Lintang heran sekaligus khawatir sesuatu terjadi dengan calon adiknya.“Gak apa-apa, Kak.”“Beneran gak apa-apa?”“Bener, kalau gak percaya tanya aja sama Lintangnya.”“Lintang.” Risya memanggil Lintang lembut. “Lintang gak apa-apa?”“Kak, jangan ngomong dulu, Lintang masih malu.”“Hah? Kenapa?”“Di perut Lintang banyak kupu-kupu.”Risya geleng-geleng, ia semakin tak paham dengan apa yang terjadi pada dua bocah tersebut. Tak mau ambil pusing, Risya mengajak keduanya beranjak dari tempat itu.“Ayuk kita ke ruangan Bunda lagi,” ajak Risya.“Bentar, K
Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali, berusaha melupakan ucapan Lintang dengan melakukan banyak kegiatan. Jujur, aku merasa terusik. Bagaimana tidak, anakku mengatakan pernah mendengar calon ayahnya bicara dengan wanita lain di telepon. Siapa wanita itu? Mengapa Daffa tak pernah mengatakan hal tersebut padaku? Apa perlu aku bertemu Daffa dan menanyakannya secara langsung?Huft! Aku menghela napas berat. Keraguan kembali menyelimuti hatiku, padahal besok adalah hari pernikahan kami, seharusnya tak perlu ada perasaan ini, bukannya aku sendiri yang memilihnya?Sepertinya bukan pilihan yang buruk jika aku bertanya secara langsung. Ya, aku akan menemui dan bertanya padanya nanti. Itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mengusir keraguan dan kekhawatiran ini.Kring! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku mengambil benda pipih itu dan mendapati nama Daffa tertera dilayar. “Panjang umur,” batinku. Bergegas aku menjawab te
Aku membuka ruangan yang bertuliskan “Dokter Kandungan.” Di sana, kudapati Daffa bersama seorang wanita. Wanita itu tengah menjalani pemeriksaan, sementara Daffa berada di sisinya. Aku terpaku melihat pemanda ngan tersebut, keduanya tampak mesra, tangan Daffa berada di perut sang wanita. Mereka terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Terlebih Daffa, ia segera menghampiri dan menyentuh jemariku. Namun, aku menepis kasar dan berlalu begitu saja. Semua yang kulihat di depan mata sudah sangat jelas. Dia tidak lebih baik dari mantan suamiku. Daffa tak tinggal diam, ia memanggil dan memintaku berhenti. Tapi, tak kuhiraukan panggilan itu, langkahku semakin cepat, disertai rintik-rintik air yang mulai membasahi pipi. Ya, aku menangis, aku marah, dan aku kecewa. Ah! Sial! Untuk apa air mata ini? Aku sudah berjanji tak mau menangisi lelaki manapun lagi. Tapi mengapa rntiknya semakin deras? “Kelana, tunggu! Dengerin penjelasan saya.” Daffa terus mengejarku dan mengatakan kalimat tersebut
—Lima tahun kemudianAku terbangun saat jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Seperti biasa, hal pertama yang kulakukan saat bangun tidur adalah memandangi wajah Daffa, lelaki yang menikahiku lima tahun lalu. Dia masih terlelap, wajahnya begitu damai, dan aku suka. Lebih tepatnya, aku sudah jatuh cinta pada orang yang sama setiap hari, selama lima tahun ini.Sejak resmi menjadi istrinya, dia memperlakukanku dengan sangat baik. Daffa benar-benar meratukan diriku. Tak hanya itu, ia juga sering memposting kebersamaan kami di sosial media. Saat kutanya untuk apa, dia hanya menjawab, agar seluruh dunia tahu aku miliknya.Seperti kemarin, Daffa memposting foto pernikahan kami di WhatsAppnya, dengan keterangan yang membuatku senyum-senyum sendiri, tak hanya itu, dia juga menggunakan fotoku dan Lintang sebagai profil WhatsApp.Perlakuan sederhana itu membuatku merasa istimewa, juga amat dicintai. Karena sebelumnya, mantan suamiku tak pe
“Sayang, ayo masuk,” ajak Daffa yang sudah berjalan lebih dulu, hendak menutup pintu utama.Aku masih bergeming di tempat, menatap ke arah di mana mobil tadi berada seraya memikirkan siapa sosok di balik mobil tersebut, mengapa dia memandang ke rumah ini kemudian pergi setelah Lintang dan Daren berangkat?“Sayang?” panggil Daffa. Tangannya sudah melingkar di perut rataku.“Hmm?”“Kenapa?”Aku mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin, hanya perasaannku saja. Barangkali pengemudi di balik mobil tadi sedang mencari rumah kerabatnya, dan ingin memastikan tidak salah alamat.“Gak apa-apa, Daff. Ayo, aku bantu siap-siap,” balasku sembari bergelayut manja di lengannya.“Beneran? Kok kayak ada yang lagi ganggu pikiran kamu?” tanya Daffa. Suamiku ini memang tipe laki-laki yang sangat peka. Ia paham segala perubahan ekspresi di wajahku, juga tak mudah percaya dengan apa y
Aku membaca surat tersebut secara berulang, seraya memikirkan siapa orang yang paling mungkin mengirimkannya? Mengapa hanya ada namaku? Apa mereka hanya mengincarku? Atau sekadar iseng dan menakut-nakuti saja?Tak lama kemudian, aku kembali melanjutkan niat awal untuk membersihkan diri, tanpa berniat membereskan pecahan kaca yang berserakan. Nanti, aku akan ceritakan semuanya pada Daffa. Jujur, pikiran dan hatiku tidak tenang karena hal ini.“Kira-kira siapa, ya?” gumamku.Satu jam kemudian, aku sudah berada di ruangan Daffa. Saat ini aku tengah menyuapinya, sedari tadi dia tak henti memuji cita rasa masakanku, senyumnya merekah indah, membuatku ikut bahagia dan melupakan sejenak insiden yang terjadi di rumah.“Cantik.”“Hmmmm, pasti ada maunya?” tebakku.“Enggak, sayang, nethink ih,” balasnya.“Selesai makan siang, aku perlu ngomong serius sama kamu. Bisa?”D
“Daren, kamu yakin Lintang masuk toilet ini?” tanyaku pada Daren yang terlihat sama paniknya denganku. “Yakin, Om, Daren lihat sendiri.” Oh shit! Jawaban Daren membuatku frustrasi. Aku memindai sekeliling, namun tak mendapati tanda-tanda keberadaan putriku. Dengan langkah lebar, aku mendatangi satpam sekolah, guna menanyakan keberadaan Lintang. “Permisi, apa Bapak melihat anak ini keluar dari gerbang?” Aku menunjukkan ponsel padanya. Satpam berusia paruh baya itu mengamati foto Lintang dengan seksama kemudian menggeleng singkat. “Tidak, Pak. Apa ada masalah?” “Saya sedang mencari putri saya. Setelah mengikuti kelas tambahan, dia pergi ke toilet, tapi setelah saya cek toiletnya kosong,” jelasku. “Saya tidak melihat anak Bapak keluar dari gerbang.” “Kalau begitu, saya ingin bertemu guru seni yang tadi mengajar!” Aku sudah kelewat panik, hingga tanpa sadar nada bicaraku naik beberapa oktaf. “Mohon maaf, Pak, semua
Flashback On“Daren, Lintang boleh pinjem HP Daren lagi gak? Lintang mau ngabarin papa kalau hari ini ikut kelas tambahan sama Daren,” ujar Lintang sesaat setelah selsai berbicara dan minta izin pada Kelana.“Yah… kuota Daren habis Lintang, Daren juga lagi gak ada pulsa, ini baru mau isi,” balas Daren dengan ekspresi tidak enaknya. Dia menunjukkan pesan yang berisi pemberitahuan paket internetnya telah habis.“Oh gitu ya, yaudah deh, lagian Lintang juga udah izin sama Bunda. Gak papa kan ya? Pasti Bunda juga bakal sampein ke Papa, bener kan Daren?” tanya Lintang. Jujur, ada rasa tidak yakin dalam dirinya, ia takut Daffa marah.“Pasti Lintang, pasti Tante Kelana sampein ke Om Daffa. Lintang tenang ya, Om Daffa gak bakal marah.” Daren menenangkan. “Yaudah yok, masuk, tuh missnya udah di dalam,” ajaknya.“Ayok.”Keduanya memasuki kelas yang hanya be