"Terima kasih ya, Rana. Karena kamu enggak membalas chat-ku, jadi aku enggak chat lagi. Aku takut mengganggumu dengan chat-ku. Jadi, saat aku melihat kamu, dan manajermu memasuki resto untuk dinner, aku senang sekali. Aku benar-benar ingin berbicara denganmu, Rana."Hanya senyuman yang mampir di wajah Rana. Ia tak tahu harus menimpali Tanaya dengan cara yang bagaimana. Saat melihat Tanaya sudah berdiri di dekatnya, Rana langsung menyambutnya dengan formal. Tanaya lalu meminta waktunya untuk mengobrol, dan dengan santai Latisha pun langsung memperbolehkan Rana menerima permintaan perempuan itu.Mereka pun pindah ke meja Tanaya yang telah kosong. Hanya tersisa beberapa piring, dan cangkir yang sedang dirapikan oleh pelayan. Saat semuanya beres, mereka duduk di sana. Tanaya bahkan memesankan mereka kopi."Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot, Tanaya. Maaf, karena aku tidak membalas pesanmu. Bukannya aku tidak ingin, tapi aku lupa. Beberapa hari ini ada hal berat yang harus aku lewati.
"Hai, bagaimana hasil pertemuan kalian dengan Rana? Dia percaya pada kalian, kan? Tolong, dia bicara apa sama kalian? Aku benar-benar excited pas kalian bilang baru saja berbicara sama Rana." Tak ada yang menjawab Bentala dengan wajah sumringah. Baik Tanaya, dan juga Edward sama-sama menggeleng. Membuat Bentala seketika pasrah. Pria itu sayangnya sudah berjanji, apa pun yang Rana putuskan, akan ia terima dengan lapang dada. Tanaya, dan juga Edward sama sekali tak berharap memberi kabar buruk pada Bentala. Namun bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu. Tak ada yang benar-benar bagus dari jawaban Rana, atau pun reaksinya. "Dia terlihat sangat bingung, Ben. Wajar bila dia berlaku seperti itu. Dulu pun, saya juga berlaku hal yang sama ke kalian. Dia hanya butuh waktu. Biarkan Rana sendirian sampai dia benar-benar tahu harus bersikap bagaimana. Dia mungkin sedang mencerna segalanya kini. Kita enggak perlu mengganggunya." Tanaya mengangguk, ia setuju dengan Edward. "Hal terbaik d
"Ben, draft final apartemennya Tanaya udah selesai. Dia sudah gue kirimin lewat email, dan bilang juga ok. Tinggal minta persetujuan lo nih, bagaimana? Gue enggak bisa ke kantor lo. Gue lagi nungguin Indira. Dia lagi enggak bisa banget ditinggal sendirian. Lo bisa kan, ke sini?"Suara Iskandar di telepon terasa sekali menunjukkan sebuah permohonan. Meskipun ada rasa malas di dada, tapi mau tidak mau Bentala pun mengiyakan permintaan Iskandar. Selama ini teman dekatnya itu tak pernah meminta. Iskandar selalu memiliki segalanya, dan justru yang paling gampang mengabulkan keinginan banyak orang, termasuk dirinya.Kini pria itu meminta, bagaimana mungkin Bentala tak memberi. Sekadar menjenguk Indira adalah perkara mudah baginya. Hal yang sulit adalah membayangkan rasa sakit yang Rana terima kemarin saat tahu kalau ayahnya ada main dengan sahabatnya. Mengingat tangis Rana, membuat Bentala enggan untuk bertemu tatap, atau mengasihani Indira."Bagaimana? Oke, enggak?" tanya Iskandar saat Ben
"Pak, private room di Genki Restaurant sudah saya pesan atas nama bapak. Baru kali ini bapak memesan private room secara pribadi. Tapi, saya minta maaf sebelumnya. Apa bapak lupa akan ada janji dengan Mbak Rana? Manajernya sudah setuju untuk bertemu."Gelengan kuat membuat Danish makin bingung. Baru kali ini ia dibuat tidak mengerti dengan instruksi dari bosnya. Biasanya Bentala selalu memberi instruksi yang jelas, dan tanpa perlu bertanya pun, Danish sudah paham maksudnya. Namun, kali ini seperti labirin, Danish harus memecahkan dulu untuk mengerti ujung jalannya."Kamu pasti bingung, ya?" tanya Bentala yang langsung dibalas anggukan oleh Danish. "Alasan saya memesan private room itu untuk bertemu dengan Rana. Apa kamu berpikir saya memesan private room itu untuk bertemu dengan orang lain, begitu?""Saya pikir anda akan bertemu dengan istri anda," jawab Danish jujur seraya menggaruk pelipisnya. "Anda tak biasanya bertemu dengan relasi kerja di ruangan privat. Selalu di tempat ramai,
"Biarkan saja, Ben. Mau ke mana pun dia pergi, biarkan saja. Aku enggak peduli. Aku enggak mau tahu juga. Kamu pikir mudah bagi aku menerima kalau dia berhubungan dengan ayahku? Dia bahkan mengandung calon saudara tiriku. Coba kamu bayangin itu? Kalau kamu jadi aku, apa kamu bisa memaafkan dia semudah itu?"Rana menaruh sumpitnya. Matanya berpendar, menatap Bentala dengan nanar. Ia tak habis pikir dengan Bentala. Ia pikir pria itu mengerti dirinya. Tapi, pria itu justru mendorongnya untuk bertemu dengan Indira, satu-satunya orang yang sama sekali tidak ingin Rana temui.Bentala sendiri hanya mampu terdiam. Ia tahu Rana masih patah hati. Mengetahui kalau sahabatnya ada main dengan sang ayah pasti membuat Rana kesal setengah mati. Ia pasti begitu. Ia pasti akan semarah Rana, namun ia juga tidak bisa membiarkan Indira pergi tanpa menyelesaikannya dengan Rana."Ya, aku tahu enggak semudah itu menerima Indira. Tapi, dia akan pergi. Ya, aku tahu cuma Australia. Kamu bahkan bisa bolak-balik
"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Terima kasih juga atas makan malamnya yang sangat enak. Semoga segala urusan kamu sukses ya, Ben. Aku turun dulu, ya."Ucapan tersebut mungkin tak digubris oleh Bentala, namun tangan Rana yang ditarik hingga tubuh gadis itu mendekat padanya, tentu saja sebagai jawaban kalau pria itu belum ingin berpisah. Rana pun bingung. Ia tidak bisa menafsirkan apa pun. Ekspresi Bentala tak bisa Rana lihat di kegelapan malam yang minim pencahayaan.Bentala sendiri bingung dengan suasana hatinya. Tadi, ia merasa senang. Namun saat melihat Ighfaldi, semua perasaan senang itu langsung menguap tak bersisa. Kini, hanya ada rasa kesal yang anehnya sulit ia tanggapi secara benar."Aku antar kamu ke depan pintu unit." Suara Bentala pelan, namun Rana tahu dari nadanya, pria itu sedang tak bernafsu untuk beramah tamah. Jadi, Rana pun diam. "Ayo, Rana. Jangan bantah aku kali ini. Aku mohon!""Aku sama sekali enggak berniat membantah kamu, Bentala.""Kalau begitu, ayo tu
"Apa kali ini kamu yang akan melarikan diri?" Tawa Bentala terkuak. Membuat Rana juga ikut tersenyum mendengar candaannya sendiri. Bentala menarik pinggang Rana, membuat tubuh gadis itu menempel padanya. Rana pun meraba dada Bentala yang tak terselimuti apa pun. Bentala lalu mencium kening Rana, lalu mengelus punggung gadis itu dengan lembut. Sikap Bentala yang sangat menenangkan, membuat Rana benar-benar gila. Di kepalanya, ia tak peduli siapa Bentala, statusnya, atau pun masa depannya. Ia hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama pria itu selama yang Rana mampu. "Aku enggak akan ke mana-mana," bisik Bentala. "Kecuali kalau kamu memintaku pergi, mungkin aku akan pergi." "Ah, kamu, dan semua kalimat yang keluar dari mulutmu benar-benar membuatku gila. Kamu enggak capek terus-terusan gombal begitu? Aku aja yang dengar capek tahu enggak. Berhentilah, Ben. Bicaralah kenyataannya. Jangan menggombal!" "Aku enggak bisa menggombal," sanggah Bentala yang diberi cibiran oleh Rana.
"Kalau bukan karena pekerjaan, mungkin aku akan seharian di sini memelukmu."Tak ada yang salah dari kata-kata Bentala. Rana yang biasanya bangun pagi-pagi seperti enggan bangkit dari tempat tidur. Tubuh Bentala yang tegap seperti tempat ternyaman untuk Rana menempelkan diri bagai lem kepada kertas. Ia juga tak ingin ke mana-mana, apalagi mengingat kalau Bentala akan sangat sibuk ke depannya.Namun hidup terus berjalan. Benar kata Bentala, Rana tak pernah egois. Bahkan menyangkut soal dirinya sendiri saja, ia tak pernah mau menang. Seperti sebuah aturan dalam hidupnya, Rana merasa dirinya cukup beruntung di dunia ini dibanding orang lain yang hidupnya tidak semulus dirinya."Kalau begitu pergilah, Ben!" cicit Rana dengan mata yang masih terpejam. "Kalau kamu enggak cepat-cepat pergi, akan ada yang menahanmu tetap di sini seharian lho!""Jujur, aku dengan senang hati menuruti keinginan orang itu."Rana mencibir, "Bentala, dan mulutnya yang manis."Alih-alih marah, Bentala justru tertaw