"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Terima kasih juga atas makan malamnya yang sangat enak. Semoga segala urusan kamu sukses ya, Ben. Aku turun dulu, ya."Ucapan tersebut mungkin tak digubris oleh Bentala, namun tangan Rana yang ditarik hingga tubuh gadis itu mendekat padanya, tentu saja sebagai jawaban kalau pria itu belum ingin berpisah. Rana pun bingung. Ia tidak bisa menafsirkan apa pun. Ekspresi Bentala tak bisa Rana lihat di kegelapan malam yang minim pencahayaan.Bentala sendiri bingung dengan suasana hatinya. Tadi, ia merasa senang. Namun saat melihat Ighfaldi, semua perasaan senang itu langsung menguap tak bersisa. Kini, hanya ada rasa kesal yang anehnya sulit ia tanggapi secara benar."Aku antar kamu ke depan pintu unit." Suara Bentala pelan, namun Rana tahu dari nadanya, pria itu sedang tak bernafsu untuk beramah tamah. Jadi, Rana pun diam. "Ayo, Rana. Jangan bantah aku kali ini. Aku mohon!""Aku sama sekali enggak berniat membantah kamu, Bentala.""Kalau begitu, ayo tu
"Apa kali ini kamu yang akan melarikan diri?" Tawa Bentala terkuak. Membuat Rana juga ikut tersenyum mendengar candaannya sendiri. Bentala menarik pinggang Rana, membuat tubuh gadis itu menempel padanya. Rana pun meraba dada Bentala yang tak terselimuti apa pun. Bentala lalu mencium kening Rana, lalu mengelus punggung gadis itu dengan lembut. Sikap Bentala yang sangat menenangkan, membuat Rana benar-benar gila. Di kepalanya, ia tak peduli siapa Bentala, statusnya, atau pun masa depannya. Ia hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama pria itu selama yang Rana mampu. "Aku enggak akan ke mana-mana," bisik Bentala. "Kecuali kalau kamu memintaku pergi, mungkin aku akan pergi." "Ah, kamu, dan semua kalimat yang keluar dari mulutmu benar-benar membuatku gila. Kamu enggak capek terus-terusan gombal begitu? Aku aja yang dengar capek tahu enggak. Berhentilah, Ben. Bicaralah kenyataannya. Jangan menggombal!" "Aku enggak bisa menggombal," sanggah Bentala yang diberi cibiran oleh Rana.
"Kalau bukan karena pekerjaan, mungkin aku akan seharian di sini memelukmu."Tak ada yang salah dari kata-kata Bentala. Rana yang biasanya bangun pagi-pagi seperti enggan bangkit dari tempat tidur. Tubuh Bentala yang tegap seperti tempat ternyaman untuk Rana menempelkan diri bagai lem kepada kertas. Ia juga tak ingin ke mana-mana, apalagi mengingat kalau Bentala akan sangat sibuk ke depannya.Namun hidup terus berjalan. Benar kata Bentala, Rana tak pernah egois. Bahkan menyangkut soal dirinya sendiri saja, ia tak pernah mau menang. Seperti sebuah aturan dalam hidupnya, Rana merasa dirinya cukup beruntung di dunia ini dibanding orang lain yang hidupnya tidak semulus dirinya."Kalau begitu pergilah, Ben!" cicit Rana dengan mata yang masih terpejam. "Kalau kamu enggak cepat-cepat pergi, akan ada yang menahanmu tetap di sini seharian lho!""Jujur, aku dengan senang hati menuruti keinginan orang itu."Rana mencibir, "Bentala, dan mulutnya yang manis."Alih-alih marah, Bentala justru tertaw
"Tidak perlu diam-diam melirik saya. Di kepala kamu pasti banyak sekali pertanyaan kan, Fahmi? Tanyakan saja, apa yang ingin kamu tahu. Saya akan memberi tahu kamu apa pun. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak merahasiakan apa pun?"Namanya adalah Fahmi Anggara Torro. Pria berusia empat puluh tahunan yang sudah bekerja pada keluarganya sejak usia belasan. Fahmi adalah anak dari supir bapaknya, Har Torro. Meskipun Pak Har sudah pensiun, tetapi Fahmi tetap setia mengabdi pada keluarganya.Selama Bentala pergi ke Amerika, Fahmi yang menjaga bapaknya. Ia tak bisa menyembunyikan apa pun dari Fahmi, pria itu memiliki insting lebih hebat dari siapa pun yang pernah bekerja pada ayahnya. Fahmi mungkin bukan berlatar belakang militer, tapi didikan bapaknya pada pria itu membuat Fahmi memiliki keahlian yang sama luar biasanya dengan ajudan lainnya yang berasal dari militer."Perempuan itu bukannya Nona Rana Diatmika Husada?" tanya Fahmi memulai pertanyaannya."Ya, kamu benar." Bentala tak ada
"Lo gila, Na? Pak Bentala ke kamar lo? Ngapain? Numpang ke kamar kecil? Pasti enggak mungkin, kan? Apalagi kalau cuma numpang lihat-lihat doang? Itu lebih enggak mungkin!"Rana seperti anak remaja yang ketahuan ibunya, karena membawa pacarnya ke dalam kamar pribadi. Meringkuk di atas tempat tidur, dan tak berniat membantah sama sekali. Ia pun hanya mampu melihat sang manajer marah-marah dengan ekspresi mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidup Rana, ia akhirnya bisa melihat Latisha terlihat begitu kesal, dan gusar.Tadinya ia pikir tidak akan ada pembicaraan menyoal kejadian semalam. Ia ingin menyimpannya sendirian, seperti kejadian lima tahun lalu. Tapi, apa mau dikata, sebuah kejutan terkuak nyata. Memperlihatkan apa yang terjadi semalam pada sang manajer yang hidupnya sangat lempeng bak jalan tol."Lo kok, diam saja sih?""Gue nunggu lo selesai marah-marah," jawab Rana pelan. "Gue tahu hal begini tuh tabu buat lo, Tish. Tapi, apa ya, gue sudah melakukan hal seperti ini lima tahun
"Papa pikir kamu enggak akan datang. Papa senang akhirnya kamu datang menemui Papa. Papa juga senang saat kamu memanggil Mbak Ronah kemarin untuk membereskan apartemen kamu. Bagaimana kabar kamu, Nak? Kamu sehat, kan?"Tidak ada kata luluh dalam kamus Rana saat ia sedang dalam keadaan marah pada seseorang. Termasuk sang Papa, tentunya. Sayangnya keteguhan itu harus runtuh saat mendengar sang Papa pingsan di rumah sakit akibat kelelahan. Rana yang memang pada dasarnya susah untuk egois, langsung berlari dengan cemas untuk melihat keadaan sang Papa yang ternyata benar-benar terbaring tak berdaya di kamar rawat rumah sakit Husada.Tak ada yang menemani Emir Dikara Husada saat Rana sampai. Hal tersebut sebenarnya sudah ia prediksi sebelumnya. Kakak pertamanya sedang di luar negeri, dan kakak keduanya pasti sedang sibuk dengan bisnisnya. Mereka berdua laki-laki, dan sangat sulit diharapkan kehadirannya."Makanya sadar diri. Papa tuh tahun depan sudah kepala enam lho," cibir Rana pada sang
"Tolong, jaga Papa ya, Mbak Ronah. Aku ada syuting di Bali selama seminggu, dan harus berangkat sore ini. Kalau ada apa-apa, Mbak Ronah telepon aku aja. Aku sudah kirim pulsa ke nomor Mbak Ronah juga.""Baik, Mbak. Mbak Rana enggak perlu khawatir."Rana memang tidak pernah khawatir selama ada Mbak Ronah di hidupnya. Perempuan itu sudah seperti kakak untuknya. Dari umur belasan, Mbak Ronah yang menjaga, dan membantu Rana. Ia menghabiskan hidupnya untuk bekerja bersama keluarganya yang sangat berantakan.Rana pun memeluk Mbak Ronah, mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada perempuan tersebut. Ia mengelus punggung ibu anak satu tersebut dengan sayang, mengirimkan sebuah rasa yang ia harap tersampaikan dengan baik kepada Mbak Ronah. Mbak Ronah pun membalas pelukan Rana dengan sama sayangnya."Mbak Rana jangan lupa makan, ya. Jaga kesehatan. Syuting-syuting kan, bikin Mbak suka lupa waktu. Nanti saya ingatkan Mbak Tisha deh," pesan Mbak Ronah yang dibarengi tawa kecil oleh Rana. Ia pun
"Kami berharap apa yang Pak Pranata sampaikan di debat kali ini bisa menjawab sebagian pertanyaan masyarakat. Persis seperti yang Pak Pranata, dan Mas Gandhi sampaikan pada saat deklarasi, bahwa visi misi kami sama dengan apa yang sudah dilakukan Presiden saat ini. Kami akan memperbaiki, dan memperbagus yang ada. Jadi, bila ada yang berasumsi bahwa kami melakukan hal sebaliknya, maka itu bukan dari tim kami. Terima kasih ya, Mas, Mbak." Pernyataan Bentala nampaknya tak cukup membuat para wartawan puas. Mereka masih saja melemparkan pertanyaan-pertanyaan baru yang hanya ditanggapi senyuman oleh Bentala. Bahkan hingga ia masuk ke dalam mobil, para wartawan itu masih saja sibuk menginginkan jawabannya. Fahmi yang cepat tanggap tentu saja langsung menjalankan mobilnya meninggalkan gedung KPU, yakni lokasi debat perdana calon presiden. Terlepas dari segala hiruk pikuk kontestasi pemilu, Bentala benar-benar bersemangat. Ia sangat menyukai pekerjaan ini, meskipun rasanya lelah yang ia tangg